Ekoteologi dan Puasa Ramadan
loading...
A
A
A
Bahkan, orang yang karena keletihan di perjalanan maupun kelemahan karena sakit diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Islam bahkan memperbolehkan umat Muslim mengkonsumsi sesuatu yang dalam keadaan normal diharamkan, jika itu dilakukan dalam keadaan darurat untuk menjaga kehidupan.
Puasa adalah kewajiban dalam rangka pertumbuhan spiritual, disiplin diri, dan empati terhadap mereka yang berada dalam ketakberuntungan. Karena itu, puasa Ramadan bukan semata-mata tentang haus dan dahaga, tapi lebih sebagai upaya untuk mendisiplinkan diri dari berbagai perilaku negatif dan menumbuhkan rasa spiritualitas yang dalam. Puasa Ramadan juga berimplikasi langsung pada pemeliharaan lingkungan.
Berbagai kerusakan alam semesta ini sebagian besar diakibatkan oleh kerakusan manusia dalam mengonsumsi sumber daya alam. Peningkatan pemanasan global, menyempitnya area hutan, pencemaran air dan udara, melelehnya es di kutub, punahnya jutaan spesies tanaman dan binatang, serta berbagai data kerusakan alam lain diakibatkan oleh keserakahan manusia dalam mengonsumsi sumber daya alam.
Ensiklik Paus Fransiskus “Laudato Si” yang berjudul “On Care for Our Common Home” yang kuat menyoroti bagaimana paradigma konsumerisme yang tak mengenal batas mengakibatkan kerusakan bumi yang menjadi rumah tinggal bersama.
Kerakusan tentu saja berbeda dengan kebutuhan. Kita memiliki takaran objektif atas sebuah kebutuhan, bahkan jika kebutuhan itu berbeda setiap orang. Tapi tidak akan ada batas untuk sebuah kerakusan. Kerakusan ibarat lubang hitam raksasa yang menyedot apa saja. Kebutuhan mungkin bisa dipenuhi dengan hitungan gaji, tapi kerakusan tak akan bisa dipenuhi sekalipun seluruh semesta dimasukkan ke dalam mulutnya.
Puasa menyadarkan kepada kita untuk membedakan antara kebutuhan dan kerakusan. Ketika kita menunda makan dan minum, ternyata kita tidak sakit atau mati. Itu artinya bahwa di situlah sebetulnya kadar kebutuhan makan dan minum kita.
Saat siang hari, kita membayangkan makan dan minum apa saja saat maghrib, bahkan kita mengumpulkan berbagai makanan yang akan kita santap saat berbuka, tapai saat berbuka tiba, kita disadarkan oleh tubuh kita sendiri seberapa batas lambung manusia dalam menampung makanan dan minuman.
Jika pun puasa tak sanggup membangun kesadaran spiritual yang mendalam, perilaku puasa itu sendiri memberi dampak positif langsung terhadap alam. Jejak-jejak baik perilaku puasa yang dilakukan umat Muslim akan dengan sendirinya mampu memberi kontribusi terhadap pelestarian alam.
Reduksi makan dan minum selama Ramadan secara langsung memiliki implikasi terhadap lingkungan. Puasa dengan sendirinya mereduksi penggunaan sumber daya alam yang berlebihan yang seringkali tak diperlukan dan pada akhirnya hanya menjadi sampah.
Puasa juga membangun perasaan komunilitas dan tanggung jawab sosial yang kuat. Perasaan lapar dan dahaga melahirkan perasaan empati kepada mereka yang selama ini hidup dalam kekurangan. Perlu diingat bahwa kemiskinan tidak hanya disebabkan oleh kemalasan dan rendahnya etos kerja, tapi tidak jarang dikarenankan ketidakadilan struktural, di mana sekelompok kecil manusia mengeruk dan menikmati terlalu banyak sumber daya.
Puasa adalah kewajiban dalam rangka pertumbuhan spiritual, disiplin diri, dan empati terhadap mereka yang berada dalam ketakberuntungan. Karena itu, puasa Ramadan bukan semata-mata tentang haus dan dahaga, tapi lebih sebagai upaya untuk mendisiplinkan diri dari berbagai perilaku negatif dan menumbuhkan rasa spiritualitas yang dalam. Puasa Ramadan juga berimplikasi langsung pada pemeliharaan lingkungan.
Berbagai kerusakan alam semesta ini sebagian besar diakibatkan oleh kerakusan manusia dalam mengonsumsi sumber daya alam. Peningkatan pemanasan global, menyempitnya area hutan, pencemaran air dan udara, melelehnya es di kutub, punahnya jutaan spesies tanaman dan binatang, serta berbagai data kerusakan alam lain diakibatkan oleh keserakahan manusia dalam mengonsumsi sumber daya alam.
Ensiklik Paus Fransiskus “Laudato Si” yang berjudul “On Care for Our Common Home” yang kuat menyoroti bagaimana paradigma konsumerisme yang tak mengenal batas mengakibatkan kerusakan bumi yang menjadi rumah tinggal bersama.
Kerakusan tentu saja berbeda dengan kebutuhan. Kita memiliki takaran objektif atas sebuah kebutuhan, bahkan jika kebutuhan itu berbeda setiap orang. Tapi tidak akan ada batas untuk sebuah kerakusan. Kerakusan ibarat lubang hitam raksasa yang menyedot apa saja. Kebutuhan mungkin bisa dipenuhi dengan hitungan gaji, tapi kerakusan tak akan bisa dipenuhi sekalipun seluruh semesta dimasukkan ke dalam mulutnya.
Puasa menyadarkan kepada kita untuk membedakan antara kebutuhan dan kerakusan. Ketika kita menunda makan dan minum, ternyata kita tidak sakit atau mati. Itu artinya bahwa di situlah sebetulnya kadar kebutuhan makan dan minum kita.
Saat siang hari, kita membayangkan makan dan minum apa saja saat maghrib, bahkan kita mengumpulkan berbagai makanan yang akan kita santap saat berbuka, tapai saat berbuka tiba, kita disadarkan oleh tubuh kita sendiri seberapa batas lambung manusia dalam menampung makanan dan minuman.
Jika pun puasa tak sanggup membangun kesadaran spiritual yang mendalam, perilaku puasa itu sendiri memberi dampak positif langsung terhadap alam. Jejak-jejak baik perilaku puasa yang dilakukan umat Muslim akan dengan sendirinya mampu memberi kontribusi terhadap pelestarian alam.
Reduksi makan dan minum selama Ramadan secara langsung memiliki implikasi terhadap lingkungan. Puasa dengan sendirinya mereduksi penggunaan sumber daya alam yang berlebihan yang seringkali tak diperlukan dan pada akhirnya hanya menjadi sampah.
Puasa juga membangun perasaan komunilitas dan tanggung jawab sosial yang kuat. Perasaan lapar dan dahaga melahirkan perasaan empati kepada mereka yang selama ini hidup dalam kekurangan. Perlu diingat bahwa kemiskinan tidak hanya disebabkan oleh kemalasan dan rendahnya etos kerja, tapi tidak jarang dikarenankan ketidakadilan struktural, di mana sekelompok kecil manusia mengeruk dan menikmati terlalu banyak sumber daya.
Lihat Juga :