Berpotensi Abaikan Masyarakat Adat, DPR Didesak Rombak RUU Cipta Kerja

Rabu, 26 Februari 2020 - 13:05 WIB
Berpotensi Abaikan Masyarakat Adat, DPR Didesak Rombak RUU Cipta Kerja
Berpotensi Abaikan Masyarakat Adat, DPR Didesak Rombak RUU Cipta Kerja
A A A
JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat menilai substansi Omnibus Law (OL) RUU Cipta Kerja saat ini menempatkan masyarakat adat pada posisi yang sangat buruk. Jika RRU ini diundangkan, masyarakat adat bakal menjadi subjek yang paling rentan dikriminalisasi.

Pendapat tersebut disampaikan dalam diskusi bertajuk “Kontribusi Masyarakat Adat untuk Indonesia” yang berlangsung di Kantor Kemitraan, Jl. Taman Margasatwa, Ragunan, Jakarta, Selasa (25/02/2020) kemarin.

Manajer Advokasi Rimbawan Muda Indonesia (RMI) Wahyubinatara Fernandez mengatakan, RUU Cipta Kerja gagal mengenali dan melindungi keberadaan masyarakat adat sebagai subjek yang paling rentan terdampak investasi. RUU tersebut juga gagal melihat peran masyarakat adat dalam pembangunan perekonomian daerah dan penjagaan kelestarian lingkungan hidup. Misalnya, dia menjelaskan, soal pengadaan lahan untuk kegiatan usaha, paling banyak diatur dalam RUU Cipta Kerja dan itu mengancam masyarakat adat.

"Pengadaan lahan ini akan diamanatkan melalui Bank Tanah yang masuk menjadi bagian RUU ini tanpa berdasar pada kajian khusus dalam Naskah Akademiknya. Salah satu wewenang Bank Tanah yang diatur dalam Pasal 171 adalah mengakuisisi asset berupa ‘hak, izin, atau konsesi atas tanah dan/atau kawasan’ yang ditelantarkan lebih dari dua tahun; Bank Tanah bisa mengakuisisi lahan apapun yang dinilai terlantar," beber Wahyubinatara.

Selain itu, lanjutnya, Bank Tanah juga dapat memberikan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai selama 90 tahun. “Karena itu, potensi konflik lahan karena perampasan tanah di wilayah-wilayah adat akan meningkat jika RUU Cipta Kerja tidak menempatkan Masyarakat Adat sebagai subyek,” imbuh Wahyubinatara.

RUU Masyarakat Adat dan RUU Cipta Kerja saat ini masuk dalam Prolegnas Prioritas 2020. Artinya, kedua RUU ini akan dibahas dalam kurun waktu yang sama oleh DPR dan Pemerintah. Karena itu Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat meminta DPR RI melakukan revisi total RUU Cipta Kerja dengan memperhatikan substansi RUU Masyarakat Adat.

Kontribusi Masyarakat Adat

Tidak terbantahkan bahwa Masyarakat Adat merupakan aktor utama penjaga kelestarian lingkungan hidup. Juga telah banyak terbukti bagaimana perekonomian mikro menjadi fondasi bagi stabilitas ekonomi nasional ketika terjadi krisis ekonomi global tahun 2008.

“Riset yang dilakukan AMAN (2018) menunjukan bahwa nilai ekonomi pengelolaan sumber daya alam (SDA) di enam wilayah adat menghasilkan Rp 159,21 miliar per tahun, dan nilai jasa lingkungan mencapai Rp 170,77 miliar per tahun, dan ini dapat mendorong perekonomian di daerahnya,” ujar Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM PB AMAN.

Alexander Mering, Comm Program Peduli Kemitraan mengatakan, salah satu bentuk sumbangan nyata Masyarakat Adat di bidang ekonomi, bisa dilihat pada Koperasi Simpan Pinjam yang disebut Credit Union (CU) yang kini berkembang pesat di Kalimatan.

“CU justru berkembang setelah mengalami proses inkulturasi budaya dengan Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Barat pada tahun 80-an. CU kemudian tumbuh besar menjadi gerakan ekonomi rakyat, tak hanya untuk dan di wilayah Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat tetapi meluas hampir sebagian besar pulau Kalimantan, Papua, NTT, dan Pulau Jawa," kata Mering.

Tahun 2018, lanjutnya, CU di Kalbar memiliki aset sebesar Rp 6,5 trilun, sementara di tahun yang sama, APBD Provinsi Kalimantan Barat hanya Rp 5,9 triliun. Namun sayangnya, pencapaian Masyarakat Adat tidak mendapat penghargaan pemerintah, bahkan oleh masyarakat umum.

"Masyarakat masih memandang Masyarakat Adat secara sepotong-sepotong, mengakui tari-tariannya, tetapi merendahkan kepercayaan dan pengetahuannya," tambahnya.

Pemerintah terlalu sering mengabaikan eksistensi Masyarakat Adat. Padahal konstitusi sudah jelas mengakui dan melindungi Masyarakat Adat yang diatur di dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945, dan Satuan Pemerintahan yang bersifat khusus atau bersifat istimewa diatur di dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.

Hingga saat ini, kriminalisasi terhadap masyarakat adat masih terus berlangsung. Data AMAN menyebutkan 125 masyarakat adat di 10 wilayah menjadi korban kriminalisasi di kawasan hutan. Mereka tersebar di Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur.

Tindak pidana yang kerap ditujukan pada masyarakat di antaranya memasuki tanah PTPN tanpa izin, pengrusakan, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin, penganiayaan, melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dan menguasai tanah tanpa izin.

"Selain itu, dalam beberapa kasus yang spesifik, masyarakat dituduh merintangi kemerdekaan orang untuk bergerak di jalan umum, pengancaman, melakukan perbuatan tidak menyenangkan, dan menghentikan aktivitas alat berat”, ujar Era Purnama Sari, Wakil Ketua Advokasi YLBHI.

Terhadap kondisi ini, maka Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat merekomendasikan UU Masyarakat Adat perlu segera hadir, agar ada pengaturan yang tegas dan perlindungan secara komprehensif bagi Masyarakat Adat.

UU Masyarakat Adat, setidaknya, harus memuat delapan penting. Pertama, merujuk kepada satu istilah, yaitu Masyarakat Adat. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Adat maupun Masyarakat Tradisional dapat digunakan bergantian dengan merujuk kepada satu istilah, yaitu Masyarakat Adat.

Kedua, berbasis HAM serta Memasukan prinsip-prinsip HAM. Ketiga, Memuat aturan tentang pemulihan hak. Jenis pemulihan hak yang wajib diatur dalam RUU adalah Grasi, Amnesti, Abolisi, Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi.

Keempat, mengakui Hak atas identitas budaya. Kelima, Pengaturan penyelesaian konflik. Keenam pengakuan dan perlindungan atas kekayaan intelektual. Ketujuh, pengakuan tentang hak anak, pemuda dan perempuan adat.

Kedelapan, perlu adanya pasal-pasal mengenai tindakan khusus sementara bagi Masyarakat Adat pada umumnya, seperti pendidikian bagi kelompok mainstream agar mengenali dan menghormati eksistensi masyarakat adat.

Sebanyak 26 organisasi bergabgung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat. Di antaranya Jurnal Perempuan, debtWATCH Indonesia (dWI), Forum Masyarakat Adat Pesisir, Kalyanamitra, Kemitraan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Lakpesdam NU, Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN), RMI, Sawit Watch, Satu Nama, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), HuMA, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Walhi, MerDesa Institute, dan Lokataru.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4781 seconds (0.1#10.140)