Raker dengan Mendikti Saintek, Verrell Minta Anggaran Tukin Dosen Tak Dipotong
loading...

Anggota Komisi X DPR, Verrell Bramasta menghadiri rapat kerja bersama Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek). FOTO/IST
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi X DPR, Verrell Bramasta menghadiri rapat kerja bersama Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek). Verrell mengapresiasi cara kementerian dalam menghadapi pemangkasan anggaran.
Ia mengaku memahami adanya kesulitan yang dihadapi Mendikti Saintek terkait pemangkasan anggaran. Namun, persoalan tunjangan kinerja (tukin) dosen perlu diperhatikan agar tidak terkena dampak efisiensi anggaran.
"Saya memahami adanya kesulitan Mendikti Saintek terhadap pemangkasan anggaran. Namun, saya kira persoalan hal-hal yang terkait dengan program perlu disikapi dengan bijak. Saya mengapresiasi upaya efisiensi yang dilakukan, tetapi jangan sampai kebijakan ini justru berdampak langsung pada dosen, terutama terkait tunjangan yang sudah lama tertunda. Hak mereka harus tetap menjadi prioritas," kata Verrell, Kamis (13/2/2025).
Anggaran tunjangan dosen masih belum cukup melunasi tunggakan tukin. Jika terkena efisiensi, maka penyelesaiannya akan semakin sulit.
"Tunjangan dosen non-PNS yang terlampir hanya Rp2,70 triliun, sedangkan dosen PNS itu Rp2,50 triliun. Saya berharap ini jangan kena efisiensi. Rp2,7 triliun aja belum cukup untuk menyelesaikan tunggakan tukin dosen selama ini, apalagi kalau dikurangi. Jadi tolong, jangan potong anggaran tukin dosen," kata Verrell.
Verrell menegaskan, hak dosen, baik PNS maupun non-PNS, telah diamanatkan dalam undang-undang dan tidak boleh terkena efisiensi anggaran.
"Tukin dosen itu sudah ada di amanat UU Nomor 5 Tahun 2014 Pasal 80 Tentang ASN, yang menyatakan bahwa PNS berhak mendapatkan tunjangan kinerja. Selain itu, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen juga menegaskan bahwa dosen, baik PNS maupun swasta, berhak atas tunjangan profesi atau sertifikat dosen sebesar satu kali gaji pokok PNS. Namun, realitanya tunjangan ini tidak pernah dibayarkan sejak 2020," tegasnya.
Verrell menegaskan, tunjangan dosen bukan hanya sekedar angka dalam APBN, tetapi juga bentuk apresiasi atas dedikasi mereka dalam mencerdaskan bangsa.
"Kita harus melihat ini bukan hanya dari sisi anggaran, tetapi juga sebagai bentuk penghargaan terhadap kinerja dosen yang telah berkontribusi besar bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, saya rasa perlu adanya perbaikan mekanisme dan diskusi lebih lanjut antara Kemendiktisaintek dan DJA agar masalah ini bisa segera diselesaikan. Ini yang kita dorong, jangan sampai anggaran pendidikan kurang dari 20% APBN, seperti yang telah tercantum dalam UUD 1945," ucapnya.
Ia mengaku memahami adanya kesulitan yang dihadapi Mendikti Saintek terkait pemangkasan anggaran. Namun, persoalan tunjangan kinerja (tukin) dosen perlu diperhatikan agar tidak terkena dampak efisiensi anggaran.
"Saya memahami adanya kesulitan Mendikti Saintek terhadap pemangkasan anggaran. Namun, saya kira persoalan hal-hal yang terkait dengan program perlu disikapi dengan bijak. Saya mengapresiasi upaya efisiensi yang dilakukan, tetapi jangan sampai kebijakan ini justru berdampak langsung pada dosen, terutama terkait tunjangan yang sudah lama tertunda. Hak mereka harus tetap menjadi prioritas," kata Verrell, Kamis (13/2/2025).
Anggaran tunjangan dosen masih belum cukup melunasi tunggakan tukin. Jika terkena efisiensi, maka penyelesaiannya akan semakin sulit.
"Tunjangan dosen non-PNS yang terlampir hanya Rp2,70 triliun, sedangkan dosen PNS itu Rp2,50 triliun. Saya berharap ini jangan kena efisiensi. Rp2,7 triliun aja belum cukup untuk menyelesaikan tunggakan tukin dosen selama ini, apalagi kalau dikurangi. Jadi tolong, jangan potong anggaran tukin dosen," kata Verrell.
Verrell menegaskan, hak dosen, baik PNS maupun non-PNS, telah diamanatkan dalam undang-undang dan tidak boleh terkena efisiensi anggaran.
"Tukin dosen itu sudah ada di amanat UU Nomor 5 Tahun 2014 Pasal 80 Tentang ASN, yang menyatakan bahwa PNS berhak mendapatkan tunjangan kinerja. Selain itu, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen juga menegaskan bahwa dosen, baik PNS maupun swasta, berhak atas tunjangan profesi atau sertifikat dosen sebesar satu kali gaji pokok PNS. Namun, realitanya tunjangan ini tidak pernah dibayarkan sejak 2020," tegasnya.
Verrell menegaskan, tunjangan dosen bukan hanya sekedar angka dalam APBN, tetapi juga bentuk apresiasi atas dedikasi mereka dalam mencerdaskan bangsa.
"Kita harus melihat ini bukan hanya dari sisi anggaran, tetapi juga sebagai bentuk penghargaan terhadap kinerja dosen yang telah berkontribusi besar bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, saya rasa perlu adanya perbaikan mekanisme dan diskusi lebih lanjut antara Kemendiktisaintek dan DJA agar masalah ini bisa segera diselesaikan. Ini yang kita dorong, jangan sampai anggaran pendidikan kurang dari 20% APBN, seperti yang telah tercantum dalam UUD 1945," ucapnya.
(abd)
Lihat Juga :