Kebutuhan Infrastruktur: Pembiayaan Alternatif?

Senin, 23 Desember 2024 - 10:40 WIB
loading...
Kebutuhan Infrastruktur:...
Candra Fajri Ananda, Staf Khusus Menteri Keuangan RI. Foto/SINDOnews
A A A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI

INFRASTRUKTUR memegang peranan penting dalam menciptakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan merata. Fasilitas seperti jalan tol, pelabuhan, bandara, air bersih, listrik, dan jalur kereta api memiliki peran strategis dalam mendukung kelancaran distribusi barang dan jasa, ekosistem sektor industri, yang berujung pada peningkatan efisiensi kegiatan ekonomi.

Melalui pembangunan yang baik, terintegrasi, akan mampu menekan biaya logistik dan berujung pada penguatan daya saing produk. Selain itu, berkurangnya ketimpangan ekonomi antarwilayah, akses yang lebih luas pada pasar baru, dan munculnya pusat pertumbuhan ekonomi baru, semakin mudah diraih dengan makin terintegrasinya pembangunan infrastruktur.

Pada sepuluh tahun terakhir – di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo – pembangunan infrastruktur menjadi salah satu prioritas utama pemerintah. Sejak awal masa kepemimpinannya pada tahun 2014, Presiden Joko Widodo telah menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas utama.

Hingga 2024, pemerintah terus mengalokasikan anggaran besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur strategis. Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan 2023, tercatat bahwa anggaran infrastruktur meningkat signifikan dari Rp290 triliun pada 2015 menjadi Rp400 triliun pada 2023.

Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong konektivitas antarwilayah serta meningkatkan efisiensi logistik nasional. Melalui alokasi anggaran besar dari APBN dan APBD, berbagai proyek strategis diluncurkan untuk menghubungkan wilayah-wilayah penting di Indonesia.

Di samping itu, demi mendukung pembiayaan proyek-proyek besar, pemerintah juga mengadopsi berbagai skema pembiayaan inovatif. Berbagai inovasi pembiayaan seperti penerbitan obligasi dan skema kerja sama dengan sektor swasta turut diimplementasikan guna mempercepat pembangunan.

Data Kementerian Keuangan 2023 mencatat bahwa penerbitan obligasi infrastruktur mencapai Rp45 triliun, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, skema kerja sama dengan pihak swasta atau Public-Private Partnership (PPP) juga berhasil menarik investasi senilai Rp348 triliun sejak 2014, yang digunakan untuk mendanai berbagai proyek strategis di seluruh Indonesia.

Hasilnya, beberapa proyek besar yang diinisiasi selama sepuluh tahun terakhir meliputi pembangunan Jalan Tol Trans Jawa dan Trans Sumatera, telah mulai memiliki dampak signifikan terhadap pengurangan waktu tempuh dan biaya transportasi. Artinya, hasil dari pembangunan infrastruktur yang masif ini telah mulai dirasakan oleh masyarakat dan dunia usaha.

Berdasarkan laporan Bank Indonesia tahun 2024, infrastruktur berkontribusi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 1,5% per tahun. Selain itu, proyek-proyek strategis tersebut juga menciptakan lebih dari 1,2 juta lapangan kerja di berbagai sektor. Manfaat lainnya adalah peningkatan konektivitas yang mempercepat pertumbuhan kawasan industri baru, terutama di wilayah luar Jawa.

Infrastruktur dan Biaya Logistik Indonesia


Perlu diakui bahwa dalam beberapa tahun terakhir, kondisi infrastruktur di Indonesia telah mengalami peningkatan signifikan. Berbagai proyek strategis nasional seperti pembangunan jalan tol, pelabuhan, dan bandara telah selesai dan memberikan dampak nyata terhadap konektivitas antardaerah. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan bahwa total panjang jalan tol di Indonesia telah mencapai lebih dari 2.800 km, meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun 2014.

Hal ini memungkinkan distribusi barang dan jasa menjadi lebih efisien dan mendorong pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah. Peningkatan infrastruktur telah memberikan dampak positif pada biaya logistik nasional. Berdasarkan laporan Bank Dunia 2023, biaya logistik di Indonesia berhasil turun dari 25% PDB pada 2014 menjadi sekitar 14,29% pada 2023.

Meskipun angka ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju yang rata-rata hanya 8-12%, capaian penurunan biaya logistik di Indonesia menunjukkan kemajuan yang signifikan. Faktor utama yang mendorong penurunan biaya logistik adalah meningkatnya kualitas jalan raya dan jaringan pelabuhan yang lebih terintegrasi.

Di sisi lain, meski konektivitas telah memberikan dampak nyata pada penurunan biaya logistik nasional, namun sistem pelacakan barang secara digital belum terintegrasi dengan baik yang berakibat pada kurangnya efisiensi. Artinya, tantangan utama saat ini adalah kurangnya sistem digital yang terintegrasi untuk pelacakan barang.

Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) tahun 2024, sekitar 45% perusahaan logistik masih menggunakan metode manual untuk pelacakan barang. Hal ini menyebabkan ketidakefisienan dan meningkatkan risiko kesalahan. Digitalisasi dalam pelacakan barang akan menjadi langkah penting untuk mengoptimalkan infrastruktur yang sudah ada.

Kurangnya sistem digital yang terintegrasi pada sektor logistik menghambat optimalisasi jaringan infrastruktur yang telah dibangun. Sistem pelacakan barang yang modern dapat memberikan transparansi, akurasi, dan kecepatan dalam proses distribusi. Hal ini tidak hanya meningkatkan efisiensi tetapi juga menurunkan biaya operasional bagi perusahaan logistik.

Melalui implementasi teknologi seperti Internet of Things (IoT) dan blockchain, sektor logistik Indonesia dapat menjadi lebih kompetitif di pasar global. Langkah ini juga akan mengurangi ketergantungan pada proses manual yang memakan waktu dan rentan terhadap kesalahan. Sayangnya, untuk mewujudkan digitalisasi dan membangun infrastruktur yang lebih baik, dibutuhkan pembiayaan yang sangat besar.

Alternatif Pembiayaan Infrastruktur


Besarnya biaya yang diperlukan dalam pendanaan proyek infrastruktur mutlak menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melainkan juga perlu mencari pembiayaan alternatif. Salah satu metode yang umum digunakan adalah Build-Operate-Transfer (BOT), di mana pihak swasta membangun dan mengoperasikan infrastruktur untuk jangka waktu tertentu sebelum menyerahkannya kepada pemerintah.

Selain itu, Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) juga dapat menjadi solusi utama dalam pembiayaan infrastruktur. Skema BOT memungkinkan pihak swasta untuk mendapatkan keuntungan dalam jangka waktu tertentu sebelum aset dikembalikan kepada pemerintah. Sementara itu, KPBU memberikan ruang lebih besar bagi swasta untuk terlibat dalam tahap perencanaan hingga pengelolaan.

Di sisi lain, perlu menjadi catatan bersama bahwa meskipun skema pembiayaan seperti BOT dan KPBU memiliki banyak keunggulan, namun skema pembiayaan tersebut juga memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan utama adalah kurangnya pemahaman yang mendalam dari beberapa pemangku kepentingan terhadap regulasi yang mengatur pengelolaan aset dan keuangan.

Berdasarkan laporan Bappenas 2023, hambatan lainnya meliputi kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) dan komitmen antara pihak pemerintah dan swasta untuk menjalankan kesepakatan sesuai kontrak. Kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi isu krusial, terutama dalam memahami mekanisme teknis dan hukum yang mengatur kerjasama pembiayaan. Tak hanya itu, regulasi yang dianggap terlalu rumit juga menjadi hambatan besar dalam pelaksanaan skema pembiayaan alternatif.

Proses administrasi yang panjang seringkali menyebabkan penundaan proyek. Data dari Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) 2023 menunjukkan bahwa rata-rata waktu pengurusan izin logistik di Indonesia adalah 5-7 hari, lebih lama dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura yang hanya membutuhkan 1-2 hari.

Sejatinya, dengan infrastruktur fisik yang semakin baik, Indonesia memiliki fondasi yang kuat untuk menjadi pusat logistik di Asia Tenggara. Akan tetapi, untuk mencapai potensi penuh, berbagai tantangan digitalisasi, regulasi, dan SDM perlu segera diatasi. Penyiapan SDM termasuk reformasi birokrasi yang terus menerus akan semakin memperlancar kerja sama pembiayaan antara pemerintah dan swasta.

Penulis yakin, di masa mendatang ukuran birokraasi semakin ramping dan kualitas SDM semakin baik, sehingga APBN/D betul-betul fokus pada pembiayaan infrastruktur dasar di wilayah tertinggal, kemiskinan dan pengangguran, sementara infrastruktur lain (di wilayah maju) dibiayai dengan kerjasama dengan swasta maupun masyarakat. Langkah-langkah tersebut akan mendorong keberlanjutan pembangunan di seluruh wilayah di Indonesia, dan Indonesia akan semakin kompetitif dan meningkat daya saingnya. Semoga.
(rca)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1673 seconds (0.1#10.140)