Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Percepat Proses Sertifikasi Halal
A
A
A
JAKARTA - Undang-Undang (UU) No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) termasuk yang dibahas dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Beberapa pasal di dalamnya, terdampak dalam pembahasan penyusunan RUU tersebut.
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Mastuki mengaku pihaknya ikut terlibat dalam pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja. Pembahasan yang melibatkan pihak Kemenko Perekonomian, Kemenkeu, dan Kementerian/Lembaga terkait ini sudah berlangsung hingga pertengahan Januari 2020.
Menurut Mastuki, dalam serangkaian pembahasan yang telah dilakukan, Omnibus Law dalam konteks jaminan produk halal ditekankan pada empat hal. Pertama, penyederhanaan proses sertifikasi halal. "RUU Omnibus Law ini semangatnya pada percepatan waktu proses sertifikasi halal, baik di BPJPH, MUI, maupun Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Jadi harus ada kepastian waktu," jelas Mastuki, dikutip dari laman Kemenag, Selasa (21/1/2020).
Kedua, pembebasan biaya bagi usaha mikro dan kecil (UMK) saat akan mengurus sertifikasi halal. "Istilah yang muncul dalam pembahasan adalah di nol-rupiahkan. Di UU JPH sebelumnya menggunakan istilah 'fasilitasi bagi UMK'."
Ketiga, mengoptimalkan peran dan fungsi LPH, auditor halal, dan penyelia halal untuk mendukung pelaksanaan sertifikasi halal. "Sejumlah persyaratan, prosedur, dan mekanismenya akan disesuaikan", tambahnya.
Keempat, sanksi administratif dan sanksi pidana. "Arahnya bagaimana mendorong pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal. Jadi pendekatan yang dikedepankan adalah persuasif dan edukatif. Karena itu, dalam pembahasan kami menghindari sanksi pidana, hanya sanksi administratif," ujarnya.
Mastuki mengaku ada banyak pasal dalam UU 33 Tahun 2014 yang dibahas dan akan mengalami penyesuaian. Beberapa pasal dimaksud antara lain: pasal 1, 7, 10, 13, 14, 22, 27-33, 42, 44, 48, 55, 56, dan 58. "Pasal 4 tentang kewajiban sertifikasi halal bagi produk, tidak jadi pembahasan," tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) keberatan dengan draf Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja yang menghapus ketentuan produk bersertifikat halal dan perda syariah.
Diketahui, berdasarkan Pasal 552 RUU Cipta Lapangan Kerja yang beredar, sejumlah pasal di Undang-Undang Jaminan Produk Halal akan dihapus yaitu Pasal 4, Pasal 29, Pasal 42, Pasal 44. Adapun Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal mewajibkan semua produk yang beredar di Indonesia wajib bersertifikat halal. (Baca Juga: PPP Keberatan Ketentuan Produk Bersertifikat Halal Bakal Dihapus).
Sementara, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Rieke Diah Pitaloka mengatakan, DPR RI belum menerima draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Sebab, pemerintah belum menyerahkan draf tersebut. (Baca Juga: Rieke Mengaku DPR Belum Terima Draf RUU Cipta Lapangan Kerja).
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Mastuki mengaku pihaknya ikut terlibat dalam pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja. Pembahasan yang melibatkan pihak Kemenko Perekonomian, Kemenkeu, dan Kementerian/Lembaga terkait ini sudah berlangsung hingga pertengahan Januari 2020.
Menurut Mastuki, dalam serangkaian pembahasan yang telah dilakukan, Omnibus Law dalam konteks jaminan produk halal ditekankan pada empat hal. Pertama, penyederhanaan proses sertifikasi halal. "RUU Omnibus Law ini semangatnya pada percepatan waktu proses sertifikasi halal, baik di BPJPH, MUI, maupun Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Jadi harus ada kepastian waktu," jelas Mastuki, dikutip dari laman Kemenag, Selasa (21/1/2020).
Kedua, pembebasan biaya bagi usaha mikro dan kecil (UMK) saat akan mengurus sertifikasi halal. "Istilah yang muncul dalam pembahasan adalah di nol-rupiahkan. Di UU JPH sebelumnya menggunakan istilah 'fasilitasi bagi UMK'."
Ketiga, mengoptimalkan peran dan fungsi LPH, auditor halal, dan penyelia halal untuk mendukung pelaksanaan sertifikasi halal. "Sejumlah persyaratan, prosedur, dan mekanismenya akan disesuaikan", tambahnya.
Keempat, sanksi administratif dan sanksi pidana. "Arahnya bagaimana mendorong pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal. Jadi pendekatan yang dikedepankan adalah persuasif dan edukatif. Karena itu, dalam pembahasan kami menghindari sanksi pidana, hanya sanksi administratif," ujarnya.
Mastuki mengaku ada banyak pasal dalam UU 33 Tahun 2014 yang dibahas dan akan mengalami penyesuaian. Beberapa pasal dimaksud antara lain: pasal 1, 7, 10, 13, 14, 22, 27-33, 42, 44, 48, 55, 56, dan 58. "Pasal 4 tentang kewajiban sertifikasi halal bagi produk, tidak jadi pembahasan," tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) keberatan dengan draf Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja yang menghapus ketentuan produk bersertifikat halal dan perda syariah.
Diketahui, berdasarkan Pasal 552 RUU Cipta Lapangan Kerja yang beredar, sejumlah pasal di Undang-Undang Jaminan Produk Halal akan dihapus yaitu Pasal 4, Pasal 29, Pasal 42, Pasal 44. Adapun Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal mewajibkan semua produk yang beredar di Indonesia wajib bersertifikat halal. (Baca Juga: PPP Keberatan Ketentuan Produk Bersertifikat Halal Bakal Dihapus).
Sementara, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Rieke Diah Pitaloka mengatakan, DPR RI belum menerima draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Sebab, pemerintah belum menyerahkan draf tersebut. (Baca Juga: Rieke Mengaku DPR Belum Terima Draf RUU Cipta Lapangan Kerja).
(zik)