Uji Materiil UU Pekerja Migran, Komnas Perempuan Sebut Syarat Perizinan P3MI Harga Mati
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebutkan syarat untuk Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) memperoleh surat izin sebagaimana dalam UU PPMI, sudah tepat untuk melindungi pekerja migran.
Hal ini disampaikan Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani saat memberikan keterangan sebagai ahli pihak terkait yakni Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) untuk perkata nomor: 83/PUU-XVII/2019, di hadapan hakim konstitusi, di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (31/8/2020).
Selain Andy Yentriyani, SBMI sebagai pihak terkait juga menghadirkan dua ahli lainnya yakni pakar hukum Universitas Indonesia (UI) Avyanthi Azis dan Senior Advisor Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia Henry Thomas Simarmata. (Baca juga: Himsataki: Pekerja Migran Indonesia Harus Cerdas dan Merdeka)
Secara spesifik, uji materiil perkara ini terkait dengan Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b serta Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) terhadap UUD 1945. Pemohon perkara ini adalah Asosiasi Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (ASPATAKI).
Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b UU PPMI mengatur bahwa untuk memperoleh Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) maka P3MI harus memenuhi persyaratan memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan paiing sedikit Rp5 miliar. Lalu menyetor uang kepada bank pemerintah dalam bentuk deposito paling sedikit Rp1,5 miliar yang sewaktu-waktu dapat dicairkan sebagai jaminan untuk memenuhi kewajiban dalam pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Sedangkan Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a, mengatur tentang pidana penjara dan denda bagi orang yang dengan sengaja menempatkan calon PMI pada jabatan dan jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja sehingga merugikan calon PMI dan orang yang menempatkan PMI pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati dan ditandatangani PMI. (Baca juga: Messi Tinggalkan Barca, Azarenka: Akan Menjadi Hari yang Menyedihkan)
Andy Yentriyani menyatakan, Pasal 54 ayat (1) huruf a dan b UU PPMI juga dapat dilihat dengan mengacu pada Rekomendasi Umum Komite CEDAW Nomor 26, yang berbunyi "Negara asal maupun negara penerima berkewajiban mengatur dan mengawasi keterlibatan pihak swasta untuk memastikan bahwa ada fasilitasi akses yang bekerja di luar negeri mempromosikan migrasi aman dan melindungi hak-hak perempuan migran."
Upaya untuk tata kelola migrasi ini, kata Yentriyani, juga tidak dapat dilepaskan dari rencana aksi nasional hak asasi manusia (HAM) tentang bisnis dan HAM yang telah dicatatkan di dalam lembar negara yang menggunakan kerangka perlindungan, penghormatan, dan pemulihan. Ketiganya, tutur dia, adalah tiga pilar utama bisnis dan hak asasi manusia.
"Pada prinsip perlindungan, ada kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia. Di mana pemerintah harus melindungi individu dari pelanggaran HAM oleh pihak ketiga, termasuk bisnis, melalui kebijakan-kebijakan, peraturan, dan pengadilan yang memadai," tegas Yentriyani saat memberikan keterangan sebagai ahli pihak terkait.
Dia menjelaskan, prinsip penghormatan yaitu tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM, yang berarti tidak melanggar HAM yang telah diakui secara internasional. Dengan cara, uang Yentriyani, menghindari, mengurangi, atau mencegah dampak negatif dari operasional perusahaan. Serta prinsip, tutur dia, pemulihan korban untuk perluasan akses bagi korban mendapatkan pemulihan yang efektif, baik melalui mekanisme yudisial maupun nonyudisial.
Hal ini disampaikan Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani saat memberikan keterangan sebagai ahli pihak terkait yakni Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) untuk perkata nomor: 83/PUU-XVII/2019, di hadapan hakim konstitusi, di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (31/8/2020).
Selain Andy Yentriyani, SBMI sebagai pihak terkait juga menghadirkan dua ahli lainnya yakni pakar hukum Universitas Indonesia (UI) Avyanthi Azis dan Senior Advisor Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia Henry Thomas Simarmata. (Baca juga: Himsataki: Pekerja Migran Indonesia Harus Cerdas dan Merdeka)
Secara spesifik, uji materiil perkara ini terkait dengan Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b serta Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) terhadap UUD 1945. Pemohon perkara ini adalah Asosiasi Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (ASPATAKI).
Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b UU PPMI mengatur bahwa untuk memperoleh Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) maka P3MI harus memenuhi persyaratan memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan paiing sedikit Rp5 miliar. Lalu menyetor uang kepada bank pemerintah dalam bentuk deposito paling sedikit Rp1,5 miliar yang sewaktu-waktu dapat dicairkan sebagai jaminan untuk memenuhi kewajiban dalam pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Sedangkan Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a, mengatur tentang pidana penjara dan denda bagi orang yang dengan sengaja menempatkan calon PMI pada jabatan dan jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja sehingga merugikan calon PMI dan orang yang menempatkan PMI pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati dan ditandatangani PMI. (Baca juga: Messi Tinggalkan Barca, Azarenka: Akan Menjadi Hari yang Menyedihkan)
Andy Yentriyani menyatakan, Pasal 54 ayat (1) huruf a dan b UU PPMI juga dapat dilihat dengan mengacu pada Rekomendasi Umum Komite CEDAW Nomor 26, yang berbunyi "Negara asal maupun negara penerima berkewajiban mengatur dan mengawasi keterlibatan pihak swasta untuk memastikan bahwa ada fasilitasi akses yang bekerja di luar negeri mempromosikan migrasi aman dan melindungi hak-hak perempuan migran."
Upaya untuk tata kelola migrasi ini, kata Yentriyani, juga tidak dapat dilepaskan dari rencana aksi nasional hak asasi manusia (HAM) tentang bisnis dan HAM yang telah dicatatkan di dalam lembar negara yang menggunakan kerangka perlindungan, penghormatan, dan pemulihan. Ketiganya, tutur dia, adalah tiga pilar utama bisnis dan hak asasi manusia.
"Pada prinsip perlindungan, ada kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia. Di mana pemerintah harus melindungi individu dari pelanggaran HAM oleh pihak ketiga, termasuk bisnis, melalui kebijakan-kebijakan, peraturan, dan pengadilan yang memadai," tegas Yentriyani saat memberikan keterangan sebagai ahli pihak terkait.
Dia menjelaskan, prinsip penghormatan yaitu tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM, yang berarti tidak melanggar HAM yang telah diakui secara internasional. Dengan cara, uang Yentriyani, menghindari, mengurangi, atau mencegah dampak negatif dari operasional perusahaan. Serta prinsip, tutur dia, pemulihan korban untuk perluasan akses bagi korban mendapatkan pemulihan yang efektif, baik melalui mekanisme yudisial maupun nonyudisial.