Draf RUU Perkoperasian Dibahas Forkopi Bareng Pemerintah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Poin-poin dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian dibahas Forum Koperasi Indonesia (Forkopi) bareng pemerintah. Acara Focus Group Discussion (FGD) membahas draf RUU tersebut digelar Forkopi di Hotel Aston Priority Simatupang, Jakarta Selatan, Selasa (10/12/2024).
Acara ini dihadiri langsung oleh Sekretaris Kementerian Koperasi Ahmad Zabadi, Ketua Presidium Forkopi Andy Arslan Djunaid, Kartiko Adi Wibowo, dan perwakilan dari komunitas koperasi seperti Dekopin dan perwakilan pegiat di seluruh Indonesia.
Panitia Pelaksana Kartiko Adi Wibowo menjelaskan, FGD ini dilakukan untuk fokus membahas RUU Perubahan Ketiga atas UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Sebab, usia undang-undang tersebut sudah lebih dari 32 tahun.
"Ini menurut kelaziman dalam satu regulasi sudah seharusnya dilakukan penyesuaian dengan perkembangan, baik itu perkembangan manusianya maupun perkembangan alam, termasuk teknologi, dan sebagainya. Dan ini harapannya bisa mendukung percepatan perkembangan perkoperasian di Indonesia," ujarnya.
Dia mengungkapkan, Presiden Prabowo Subianto sangat fokus pada perkembangan ekonomi kerakyatan, salah satunya perkoperasian yang juga akan dikembangkan. "Maka kami dari gerakan Forkopi yang punya kesempatan untuk berkonsentrasi mendukung dari sisi pemerintah maupun dari sisi legislatif dari DPR, agar Undang-Undang Koperasi ini bisa segera dibahas dan disahkan DPR," tuturnya.
Forkopi tidak ingin Undang-Undang Koperasi hanya menjadi sekadar formalitas semata. Namun, benar-benar menjadi payung hukum dan bisa melindungi dari semua gerakan koperasi di Indonesia. "Agar secara legal ini menjadi bagian dan direstui negara melalui undang-undang. Harapannya undang-undang ini bisa menjadi pelindung koperasi ke depan," ungkapnya.
Hal senada juga dikatakan oleh Ketua Presidium Forkopi Andy Arslan Djunaid. Dalam FGD itu, pihaknya mendorong sejumlah perubahan dalam RUU Perkoperasian.
"Karena Undang-Undang Koperasi yang lama itu umurnya sudah 32 tahun, sehingga tidak mengakomodir kepentingan koperasi pada saat ini. Nah itulah kami memberi masukan supaya pemerintah tidak pakai kaca mata kuda, apa maunya pemerintah saja tanpa mengindahkan situasi di lapangan. Situasi di lapangan tentu kami-kami di koperasi ini yang tahu dan yang mengalami, yang nantinya akan menjalankan," jelasnya.
Pihaknya dari Forkopi hanya meminta sekitar enam poin krusial dalam revisi undang-undang tersebut untuk bisa diakomodir. "Pertama, digitalisasi koperasi. Karena kalau tidak, koperasi dengan (penggunaan) M-Banking-nya itu dianggap melanggar Undang-Undang Perbankan. Kalau di Undang-Undang Koperasi yang baru nanti diakomodir, kami punya undang-undang yang setara," imbuhnya.
Poin kedua terkait masa jabatan pengurus. Menurutnya, dalam draf RUU yang diajukan pemerintah membatasi dua kali periode bagi pengurus. Menurutnya, hal itu sedikit bertentangan karena pemilihan pengurus dilakukan oleh rapat anggota tahunan.
"Itu adalah forum tertinggi koperasi untuk menentukan apapun di situ, nah sudah banyak contoh bahwa koperasi ini punya tokoh sentral, kemudian diganti karena satu dan lain hal, sehingga kepercayaan itu hilang. Nah kami berharap kalaupun itu masih belum sama pemikirannya, ayo kita bicara di meja diskusi dengan argumentasi masing-masing," ucapnya.
Ketiga, pihaknya berharap agar koperasi boleh memiliki aset yang statusnya adalah hak milik. Sebab, selama ini koperasi hanya boleh memiliki aset Hak Guna Bangunan (HGB).
"Kami agak sulit ketika mau membeli aset atau kemudian statusnya HGB, yang secara umum bisa menurunkan nilai hak milik. Kita punya kantor hak milik, dengan HGB itu nilainya bisa berbeda," jelasnya.
Kemudian selanjutnya adalah tentang pidana. Pihaknya setuju dengan pemidanaan yang diusulkan pemerintah karena menyadari ada koperasi yang nakal. Kendati demikian, harus dibedakan antara fraud (penipuan) dengan salah kebijakan.
Menurut dia, kalau kasusnya fraud secara regulasi sudah diatur dalam KUHP. Dia mencontohkan kalau ada karyawan yang nakal atau pengurus nakal mengambil uang koperasi, maka akan dilakukan pidana melalui KUHP.
"Tapi kalau salah pengelolaan atau salah kebijakan, contoh sebelum Covid-19 koperasi itu beli aset. Tapi setelah Covid-19 tanah dan lain sebagainya nilainya turun semua mengakibatkan koperasi itu rugi, ya jangan dipidana dong,” tegasnya.
“Karena itu salah kebijakan, itu yang kami maksud kalau ada pidana jangan terlalu berat. Intinya proporsional seperti apa penekanan pidana itu karena sudah ada KUHP," sambungnya.
Dia berharap pemerintah benar-benar mendengarkan aspirasi dari para pelaku koperasi, sehingga RUU tersebut mengakomodir semua kepentingan untuk kebaikan bangsa dan negara. Dalam upaya menyampaikan aspirasi ini, Forkopi telah melakukan audiensi dengan beberapa fraksi di DPR antara lain Fraksi Golkar dan Fraksi PKS.
Setelah masa reses pihaknya akan audiensi dengan fraksi lain di DPR. "Artinya Forkopi tidak hanya sekadar usul, tapi langkah untuk mendukung itu terwujud juga kami lakukan," kata dia.
Sementara itu, Sekretaris Kementerian Koperasi Ahmad Zabadi menegaskan komitmen pemerintah dalam mendukung RUU Perkoperasian. Bahkan, pada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)- Ma'ruf Amin sudah diterbitkan surat presiden (surpres) kepada DPR pada 19 September 2023.
Kemudian pada pemerintahan Prabowo-Gibran pun ada keseriusannya dengan memerintahkan Menteri Koperasi untuk segera menyelesaikan RUU tersebut. "Dan karenanya kami melakukan koordinasi instensif dengan pimpinan DPR khususnya Komisi VI dan Insya Allah segera dijadwalkan pembahasan," katanya.
Dia mengungkapkan, RUU tersebut akan dibahas pada masa sidang pertama 2025 setelah masa reses DPR. "Sehingga mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlalu lama RUU ini sdh dapat disepakati dan ditetapkan serta disahkan pemerintahan melalui presiden disahkan sebagai UU Perkoperasian yang baru," jelasnya.
Dirinya setuju UU Perkoperasian yang ada saat ini sudah usang, sehingga perlu direvisi. Terlebih ada perintah dari putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 adalah undang-undang yang sifatnya sementara.
Pada pemerintah ditugaskan untuk segera membentuk undang-undang yang baru. "Tapi ternyata sejak putusan MK yang membatalkan UU Nomor 17 Tahun 2012 sampai sekarang, sudah berjalan 10 tahun lebih kita tahu tidak dapat ditetapkan undang-undang yang baru," pungkasnya.
Acara ini dihadiri langsung oleh Sekretaris Kementerian Koperasi Ahmad Zabadi, Ketua Presidium Forkopi Andy Arslan Djunaid, Kartiko Adi Wibowo, dan perwakilan dari komunitas koperasi seperti Dekopin dan perwakilan pegiat di seluruh Indonesia.
Panitia Pelaksana Kartiko Adi Wibowo menjelaskan, FGD ini dilakukan untuk fokus membahas RUU Perubahan Ketiga atas UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Sebab, usia undang-undang tersebut sudah lebih dari 32 tahun.
"Ini menurut kelaziman dalam satu regulasi sudah seharusnya dilakukan penyesuaian dengan perkembangan, baik itu perkembangan manusianya maupun perkembangan alam, termasuk teknologi, dan sebagainya. Dan ini harapannya bisa mendukung percepatan perkembangan perkoperasian di Indonesia," ujarnya.
Dia mengungkapkan, Presiden Prabowo Subianto sangat fokus pada perkembangan ekonomi kerakyatan, salah satunya perkoperasian yang juga akan dikembangkan. "Maka kami dari gerakan Forkopi yang punya kesempatan untuk berkonsentrasi mendukung dari sisi pemerintah maupun dari sisi legislatif dari DPR, agar Undang-Undang Koperasi ini bisa segera dibahas dan disahkan DPR," tuturnya.
Forkopi tidak ingin Undang-Undang Koperasi hanya menjadi sekadar formalitas semata. Namun, benar-benar menjadi payung hukum dan bisa melindungi dari semua gerakan koperasi di Indonesia. "Agar secara legal ini menjadi bagian dan direstui negara melalui undang-undang. Harapannya undang-undang ini bisa menjadi pelindung koperasi ke depan," ungkapnya.
Hal senada juga dikatakan oleh Ketua Presidium Forkopi Andy Arslan Djunaid. Dalam FGD itu, pihaknya mendorong sejumlah perubahan dalam RUU Perkoperasian.
"Karena Undang-Undang Koperasi yang lama itu umurnya sudah 32 tahun, sehingga tidak mengakomodir kepentingan koperasi pada saat ini. Nah itulah kami memberi masukan supaya pemerintah tidak pakai kaca mata kuda, apa maunya pemerintah saja tanpa mengindahkan situasi di lapangan. Situasi di lapangan tentu kami-kami di koperasi ini yang tahu dan yang mengalami, yang nantinya akan menjalankan," jelasnya.
Pihaknya dari Forkopi hanya meminta sekitar enam poin krusial dalam revisi undang-undang tersebut untuk bisa diakomodir. "Pertama, digitalisasi koperasi. Karena kalau tidak, koperasi dengan (penggunaan) M-Banking-nya itu dianggap melanggar Undang-Undang Perbankan. Kalau di Undang-Undang Koperasi yang baru nanti diakomodir, kami punya undang-undang yang setara," imbuhnya.
Poin kedua terkait masa jabatan pengurus. Menurutnya, dalam draf RUU yang diajukan pemerintah membatasi dua kali periode bagi pengurus. Menurutnya, hal itu sedikit bertentangan karena pemilihan pengurus dilakukan oleh rapat anggota tahunan.
"Itu adalah forum tertinggi koperasi untuk menentukan apapun di situ, nah sudah banyak contoh bahwa koperasi ini punya tokoh sentral, kemudian diganti karena satu dan lain hal, sehingga kepercayaan itu hilang. Nah kami berharap kalaupun itu masih belum sama pemikirannya, ayo kita bicara di meja diskusi dengan argumentasi masing-masing," ucapnya.
Ketiga, pihaknya berharap agar koperasi boleh memiliki aset yang statusnya adalah hak milik. Sebab, selama ini koperasi hanya boleh memiliki aset Hak Guna Bangunan (HGB).
"Kami agak sulit ketika mau membeli aset atau kemudian statusnya HGB, yang secara umum bisa menurunkan nilai hak milik. Kita punya kantor hak milik, dengan HGB itu nilainya bisa berbeda," jelasnya.
Kemudian selanjutnya adalah tentang pidana. Pihaknya setuju dengan pemidanaan yang diusulkan pemerintah karena menyadari ada koperasi yang nakal. Kendati demikian, harus dibedakan antara fraud (penipuan) dengan salah kebijakan.
Menurut dia, kalau kasusnya fraud secara regulasi sudah diatur dalam KUHP. Dia mencontohkan kalau ada karyawan yang nakal atau pengurus nakal mengambil uang koperasi, maka akan dilakukan pidana melalui KUHP.
"Tapi kalau salah pengelolaan atau salah kebijakan, contoh sebelum Covid-19 koperasi itu beli aset. Tapi setelah Covid-19 tanah dan lain sebagainya nilainya turun semua mengakibatkan koperasi itu rugi, ya jangan dipidana dong,” tegasnya.
“Karena itu salah kebijakan, itu yang kami maksud kalau ada pidana jangan terlalu berat. Intinya proporsional seperti apa penekanan pidana itu karena sudah ada KUHP," sambungnya.
Dia berharap pemerintah benar-benar mendengarkan aspirasi dari para pelaku koperasi, sehingga RUU tersebut mengakomodir semua kepentingan untuk kebaikan bangsa dan negara. Dalam upaya menyampaikan aspirasi ini, Forkopi telah melakukan audiensi dengan beberapa fraksi di DPR antara lain Fraksi Golkar dan Fraksi PKS.
Setelah masa reses pihaknya akan audiensi dengan fraksi lain di DPR. "Artinya Forkopi tidak hanya sekadar usul, tapi langkah untuk mendukung itu terwujud juga kami lakukan," kata dia.
Sementara itu, Sekretaris Kementerian Koperasi Ahmad Zabadi menegaskan komitmen pemerintah dalam mendukung RUU Perkoperasian. Bahkan, pada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)- Ma'ruf Amin sudah diterbitkan surat presiden (surpres) kepada DPR pada 19 September 2023.
Kemudian pada pemerintahan Prabowo-Gibran pun ada keseriusannya dengan memerintahkan Menteri Koperasi untuk segera menyelesaikan RUU tersebut. "Dan karenanya kami melakukan koordinasi instensif dengan pimpinan DPR khususnya Komisi VI dan Insya Allah segera dijadwalkan pembahasan," katanya.
Dia mengungkapkan, RUU tersebut akan dibahas pada masa sidang pertama 2025 setelah masa reses DPR. "Sehingga mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlalu lama RUU ini sdh dapat disepakati dan ditetapkan serta disahkan pemerintahan melalui presiden disahkan sebagai UU Perkoperasian yang baru," jelasnya.
Dirinya setuju UU Perkoperasian yang ada saat ini sudah usang, sehingga perlu direvisi. Terlebih ada perintah dari putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 adalah undang-undang yang sifatnya sementara.
Pada pemerintah ditugaskan untuk segera membentuk undang-undang yang baru. "Tapi ternyata sejak putusan MK yang membatalkan UU Nomor 17 Tahun 2012 sampai sekarang, sudah berjalan 10 tahun lebih kita tahu tidak dapat ditetapkan undang-undang yang baru," pungkasnya.
(rca)