Manusia-Satwa Liar Hidup Berdampingan secara Harmonis, Mungkinkah?
loading...
A
A
A
Contoh lain, sekelompok perusahaan pulp dan kertas yang beroperasi di Indonesia, selama lebih dari 10 tahun terakhir telah menerapkan berbagai upaya dan pendekatan untuk mencegah dan meminimalkan konflik manusia-satwa liar, termasuk dengan mengelola kawasan lindung dan HCV, serta melindungi kawasan dengan Stok Karbon Tinggi/SKT (atau HCS/High Carbon Stock)-nya.
Selain itu, mereka juga melakukan penyisiran jerat dan perangkap satwa secara berkala, menjaga keutuhan hutan alam melalui pencegahan pembalakan liar dan perambahan, menjamin ketersediaan sumber pakan satwa termasuk mangsa karnivora, pemantauan berkala keberadaan satwa liar, melakukan penyadartahuan dan edukasi secara berkala, membentuk dan mengoperasikan tim mitigasi konflik satwa liar, serta melaksanakan program pemberdayaan masyarakat untuk mencegah konflik manusia-satwa liar.
Semua kegiatan ini dikoordinasikan dengan institusi pemerintah terkait, serta mendapatkan dukungan dari forum-forum konservasi satwa liar dan LSM dalam mendorong kerja sama dengan para pihak di lapangan pada tingkat lanskap. Berbagai upaya telah dilakukan, namun konflik manusia-satwa liar di konsesi hutannya masih juga terjadi.
Mitigasi konflik manusia-satwa liar memang memerlukan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, baik yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung. Meski masih banyak yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk bisa hidup berdampingan, setidaknya saat ini seluruh konsesi perusahaan pemasok kayunya masih menyediakan habitat tambahan bagi banyak spesies dan individu satwa liar.
Memang, tidak mudah untuk mengoptimalkan implementasi BMP konservasi satwa liar yang memerlukan kolaborasi dan dukungan pemangku kepentingan di berbagai tingkatan dalam lanskap yang sama (Priatna 2019). Masyarakat perlu menyadari bahwa mereka menggunakan ruang yang sama dengan satwa liar. Oleh karena itu, memahami perilaku satwa liar merupakan modal utama untuk menghindari konflik.
Masyarakat lokal merupakan salah satu pemangku kepentingan utama untuk mencapai hidup berdampingan, namun manfaat ekonomi bagi masyarakat dari keberadaan satwa liar di sekitar mereka perlu dikembangkan. Perlu adanya keberpihakan pemerintah pusat dan daerah dalam konservasi satwa langka dalam pengambilan kebijakan, pengaturan tata ruang daerah, serta pelaksanaan pembangunan infrastrukturnya.
Pemerintah pusat dan daerah juga harus lebih serius dalam menjaga kawasan konservasi dan hutan lindung yang menjadi tanggung jawabnya, serta melakukan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kejahatan kehutanan dan satwa liar. Meski sifatnya sukarela, penting untuk melakukan penilaian areal-areal HCV dan HCS sebelum perusahaan berbasis lahan beroperasi, untuk mengetahui kawasan indikatif yang digunakan sebagai habitat satwa liar di dalam konsesi.
Jika kawasan tersebut disisihkan secara permanen dan dikelola dengan baik, maka kawasan tersebut dapat berfungsi sebagai koridor satwa liar sekaligus habitat tambahan bagi satwa liar yang berhabitat di luar kawasan konservasi, dimana hal ini akan menjadi kontribusi yang sangat signifikan dari industri berbasis lahan terhadap konservasi satwa liar (Priatna, 2019).
Konsep penggabungan BMP dan pendekatan bentang alam nampaknya sangat cocok untuk menjawab permasalahan pelestarian satwa liar saat ini, yang mana habitat mereka saat ini berada pada dan bertumpang-tindih dengan berbagai penggunaan lahan lainnya.
Jika dapat terwujud, maka konsep pengelolaan satwa liar dengan pendekatan lanskap ini juga dapat menjadi solusi pembangunan berkelanjutan, yang dapat menciptakan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan infrastruktur, dengan kepentingan sosial, serta pelestarian lingkungan, khususnya satwa liar yang terancam punah.
Selain itu, mereka juga melakukan penyisiran jerat dan perangkap satwa secara berkala, menjaga keutuhan hutan alam melalui pencegahan pembalakan liar dan perambahan, menjamin ketersediaan sumber pakan satwa termasuk mangsa karnivora, pemantauan berkala keberadaan satwa liar, melakukan penyadartahuan dan edukasi secara berkala, membentuk dan mengoperasikan tim mitigasi konflik satwa liar, serta melaksanakan program pemberdayaan masyarakat untuk mencegah konflik manusia-satwa liar.
Semua kegiatan ini dikoordinasikan dengan institusi pemerintah terkait, serta mendapatkan dukungan dari forum-forum konservasi satwa liar dan LSM dalam mendorong kerja sama dengan para pihak di lapangan pada tingkat lanskap. Berbagai upaya telah dilakukan, namun konflik manusia-satwa liar di konsesi hutannya masih juga terjadi.
Mitigasi konflik manusia-satwa liar memang memerlukan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, baik yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung. Meski masih banyak yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk bisa hidup berdampingan, setidaknya saat ini seluruh konsesi perusahaan pemasok kayunya masih menyediakan habitat tambahan bagi banyak spesies dan individu satwa liar.
Memang, tidak mudah untuk mengoptimalkan implementasi BMP konservasi satwa liar yang memerlukan kolaborasi dan dukungan pemangku kepentingan di berbagai tingkatan dalam lanskap yang sama (Priatna 2019). Masyarakat perlu menyadari bahwa mereka menggunakan ruang yang sama dengan satwa liar. Oleh karena itu, memahami perilaku satwa liar merupakan modal utama untuk menghindari konflik.
Masyarakat lokal merupakan salah satu pemangku kepentingan utama untuk mencapai hidup berdampingan, namun manfaat ekonomi bagi masyarakat dari keberadaan satwa liar di sekitar mereka perlu dikembangkan. Perlu adanya keberpihakan pemerintah pusat dan daerah dalam konservasi satwa langka dalam pengambilan kebijakan, pengaturan tata ruang daerah, serta pelaksanaan pembangunan infrastrukturnya.
Pemerintah pusat dan daerah juga harus lebih serius dalam menjaga kawasan konservasi dan hutan lindung yang menjadi tanggung jawabnya, serta melakukan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kejahatan kehutanan dan satwa liar. Meski sifatnya sukarela, penting untuk melakukan penilaian areal-areal HCV dan HCS sebelum perusahaan berbasis lahan beroperasi, untuk mengetahui kawasan indikatif yang digunakan sebagai habitat satwa liar di dalam konsesi.
Jika kawasan tersebut disisihkan secara permanen dan dikelola dengan baik, maka kawasan tersebut dapat berfungsi sebagai koridor satwa liar sekaligus habitat tambahan bagi satwa liar yang berhabitat di luar kawasan konservasi, dimana hal ini akan menjadi kontribusi yang sangat signifikan dari industri berbasis lahan terhadap konservasi satwa liar (Priatna, 2019).
Konsep penggabungan BMP dan pendekatan bentang alam nampaknya sangat cocok untuk menjawab permasalahan pelestarian satwa liar saat ini, yang mana habitat mereka saat ini berada pada dan bertumpang-tindih dengan berbagai penggunaan lahan lainnya.
Jika dapat terwujud, maka konsep pengelolaan satwa liar dengan pendekatan lanskap ini juga dapat menjadi solusi pembangunan berkelanjutan, yang dapat menciptakan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan infrastruktur, dengan kepentingan sosial, serta pelestarian lingkungan, khususnya satwa liar yang terancam punah.