Siapa Hendry Lie yang Diringkus Kejagung di Soetta? Ini Profil, Kekayaan, dan Proses Hukumnya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) berhasil menangkap Hendry Lie di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Senin (18/11/2024) malam. Bos Sriwijaya Air ituditangkap terkait dugaan keterlibatannya dalam kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang berkaitan dengan pengelolaan timah PT Timah Tbk sejak April 2024.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar mengatakan, Hendry Lie diamankan di Terminal 2F Bandara Soekarno Hatta usai kembali dari Singapura. "Diamankan di Bandara Soetta setelah yang bersangkutan kembali dari Singapura. Masa berlaku paspor habis tanggal 27 November 2024, yang bersangkutan selama ini menjalani pengobatan di Singapura," kata Harli dalam konferensi pers, Selasa (19/11/2024).
Hendry Lie ditangkap terkait dugaan keterlibatannya dalam kasus korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang berkaitan dengan pengelolaan timah PT Timah Tbk sejak April 2024. Penangkapan terhadap pendiri maskapai Sriwijaya Air ini merupakan kelanjutan dari penyidikan panjang yang melibatkan sejumlah pihak. Hendry Lie menjadi tersangka ke-22.
Dikutip dari situs resminya, PT Sriwijaya Air pertama kali didirikan oleh Chandra Lie, Hendry Lie Johannes Bunjamin, dan Andy Halim. Mereka mengajukan izin membentuk maskapai pada 2000. Maskapai yang bermarkas di Tangerang, Banten ini juga dibantu beberapa ahli penerbangan seperti Supardi, Capt Kusnadi, Capt Adil W, Capt Harwick L, Gabriella, dan Suwarsono.
Selang 3 tahun kemudian, Sriwijaya Air melakukan penerbangan perdananya tepat pada Hari Pahlawan yaitu 10 November 2003. Kala itu, Sriwijaya hanya memiliki satu pesawat Boeing 737-200, dan menyediakan beberapa rute domestik seperti Jakarta-Pangkal Pinang (PP), Jakarta-Palembang (PP), Jakarta-Jambi (PP), serta Jakarta-Pontianak (PP).
Kini, Sriwijaya Air memiliki 48 pesawat Boeing yang melayani total 53 rute penerbangan, termasuk rute regional Medan-Penang PP bahkan rute internasional termasuk penerbangan ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Maskapai ini bahkan berhasil mengangkut lebih dari 950 ribu penumpang setiap bulannya.
Sriwijaya Air juga menjadi Maskapai Penerbangan terbesar ketiga di Indonesia, dan tercatat sebagai salah satu Maskapai Penerbangan Nasional dengan standar keamanan kategori 1 di Indonesia sejak 2007 hingga saat ini.
Hendry Lie diketahui pernah menjabat sebagai komisaris Sriwijaya Air saat operasional maskapai digabungkan ke Garuda Indonesia Group. Namun, kontraknya telah berakhir pada 2019. Melanjutkan kontrak, hingga kini Hendry Lie tercatat masih menjabat sebagai Dewan Komisaris bersama Jusuf Manggabarani, Chandra Lie, Gabriella Sonia Xevianne Bongoro, dan Yusril Ihza Mahendra.
Selain berkecimpung di sektor penerbangan, Hendry juga terjun di sektor pertambangan. Ia merupakan salah satu pemilik atau Beneficiary Owner perusahaan peleburan dan pemurnian timah PT Tinindo Inter Nusa (TIN) yang berlokasi di Pulau Bangka.
Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, Abdul Qohar mengungkapkan, Hendry Lie menerima keuntungan dari kerja sama pengolahan bijih timah ilegal ini berasal dari 2 perusahaan boneka yang dikoordinirnya, yakni CV BPR dan CV SMS. Tindakan ini jelas melanggar hukum karena menyalahi peraturan mengenai tata niaga komoditas timah yang sah.
Penyidik Kejagung mengungkapkan bahwa kerugian negara akibat tindakan ilegal ini mencapai angka yang fantastis, yaitu sekitar Rp300 triliun. Kasus ini bukan hanya melibatkan Hendry Lie, tetapi juga sejumlah individu lain yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk adik Hendry, Fandy Lie, yang menjabat sebagai marketing di PT TIN.
Kekayaan ini bersumber dari berbagai usaha yang dijalankannya, termasuk Sriwijaya Air dan PT TIN. Selain itu, Hendry juga memiliki sejumlah aset properti di berbagai lokasi, termasuk tanah dan vila di Bali.
Dalam proses penyidikan, Kejagung juga telah melacak dan menyita aset-aset milik Hendry Lie, termasuk tanah dan bangunan di beberapa tempat. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa kerugian negara akibat korupsi ini bisa dimitigasi melalui penyitaan aset yang dimiliki oleh para tersangka.
Hal ini berkat kerja sama Jampidsus dan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) Kejagung, serta Kejaksaan RI di Singapura, yang berhasil meringkus dirinya di Bandara Soekarno - Hatta pada 18 November 2024. Hendry kemudian langsung dibawa ke Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Selatan, untuk menjalani proses pemeriksaan lebih lanjut selama 20 hari.
Sebagai tersangka, Hendry Lie dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Proses hukum terhadap Hendry Lie dan tersangka lainnya akan terus berlanjut, dan Kejagung berkomitmen untuk menyelesaikan kasus ini dengan transparansi dan keadilan.
MG/ Luthfiyyah Rahmadiena
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar mengatakan, Hendry Lie diamankan di Terminal 2F Bandara Soekarno Hatta usai kembali dari Singapura. "Diamankan di Bandara Soetta setelah yang bersangkutan kembali dari Singapura. Masa berlaku paspor habis tanggal 27 November 2024, yang bersangkutan selama ini menjalani pengobatan di Singapura," kata Harli dalam konferensi pers, Selasa (19/11/2024).
Hendry Lie ditangkap terkait dugaan keterlibatannya dalam kasus korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang berkaitan dengan pengelolaan timah PT Timah Tbk sejak April 2024. Penangkapan terhadap pendiri maskapai Sriwijaya Air ini merupakan kelanjutan dari penyidikan panjang yang melibatkan sejumlah pihak. Hendry Lie menjadi tersangka ke-22.
Profil Hendry Lie
Hendry Lie dikenal sebagai pengusaha sukses pendiri PT Sriwijaya Air, salah satu maskapai yang kini menjadi pemain besar di industri penerbangan Indonesia. Pria kelahiran Pangkal Pinang 1965 ini, sebelumnya sempat menggeluti usaha garmen hingga akhirnya memutuskan berkecimpung di bisnis maskapai. Hendry Lie diketahui memiliki satu orang kakak yaitu Chandra Lie, dan memiliki dua adik yaitu Andy Halim dan Fandy Lingga.Dikutip dari situs resminya, PT Sriwijaya Air pertama kali didirikan oleh Chandra Lie, Hendry Lie Johannes Bunjamin, dan Andy Halim. Mereka mengajukan izin membentuk maskapai pada 2000. Maskapai yang bermarkas di Tangerang, Banten ini juga dibantu beberapa ahli penerbangan seperti Supardi, Capt Kusnadi, Capt Adil W, Capt Harwick L, Gabriella, dan Suwarsono.
Selang 3 tahun kemudian, Sriwijaya Air melakukan penerbangan perdananya tepat pada Hari Pahlawan yaitu 10 November 2003. Kala itu, Sriwijaya hanya memiliki satu pesawat Boeing 737-200, dan menyediakan beberapa rute domestik seperti Jakarta-Pangkal Pinang (PP), Jakarta-Palembang (PP), Jakarta-Jambi (PP), serta Jakarta-Pontianak (PP).
Kini, Sriwijaya Air memiliki 48 pesawat Boeing yang melayani total 53 rute penerbangan, termasuk rute regional Medan-Penang PP bahkan rute internasional termasuk penerbangan ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Maskapai ini bahkan berhasil mengangkut lebih dari 950 ribu penumpang setiap bulannya.
Sriwijaya Air juga menjadi Maskapai Penerbangan terbesar ketiga di Indonesia, dan tercatat sebagai salah satu Maskapai Penerbangan Nasional dengan standar keamanan kategori 1 di Indonesia sejak 2007 hingga saat ini.
Hendry Lie diketahui pernah menjabat sebagai komisaris Sriwijaya Air saat operasional maskapai digabungkan ke Garuda Indonesia Group. Namun, kontraknya telah berakhir pada 2019. Melanjutkan kontrak, hingga kini Hendry Lie tercatat masih menjabat sebagai Dewan Komisaris bersama Jusuf Manggabarani, Chandra Lie, Gabriella Sonia Xevianne Bongoro, dan Yusril Ihza Mahendra.
Selain berkecimpung di sektor penerbangan, Hendry juga terjun di sektor pertambangan. Ia merupakan salah satu pemilik atau Beneficiary Owner perusahaan peleburan dan pemurnian timah PT Tinindo Inter Nusa (TIN) yang berlokasi di Pulau Bangka.
Keterlibatan dalam Kasus Korupsi Timah
Sementara itu, dalam kasus timah Hendry Lie yang menjabat sebagai Beneficiary Owner PT Tinindo Inter Nusa (PT TIN), diketahui secara aktif bekerja sama dalam penyewaan peralatan dengan PT Timah Tbk dalam pengolahan bijih timah yang sebagian besar berasal dari penambangan ilegal sejak 2015 hingga 2022.Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, Abdul Qohar mengungkapkan, Hendry Lie menerima keuntungan dari kerja sama pengolahan bijih timah ilegal ini berasal dari 2 perusahaan boneka yang dikoordinirnya, yakni CV BPR dan CV SMS. Tindakan ini jelas melanggar hukum karena menyalahi peraturan mengenai tata niaga komoditas timah yang sah.
Penyidik Kejagung mengungkapkan bahwa kerugian negara akibat tindakan ilegal ini mencapai angka yang fantastis, yaitu sekitar Rp300 triliun. Kasus ini bukan hanya melibatkan Hendry Lie, tetapi juga sejumlah individu lain yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk adik Hendry, Fandy Lie, yang menjabat sebagai marketing di PT TIN.
Total Kekayaan dan Aset Milik Hendry Lie
Hendry Lie masuk ke dalam daftar orang terkaya nomor 105 di Indonesia versi majalah GlobeAsia. Pada tahun 2016, Hendry dan saudaranya, Chandra Lie, tercatat memiliki kekayaan sekitar 325 juta dolar AS atau sekitar Rp 5,1 triliun. Kekayaan tersebut naik dibandingkan hartanya pada 2015 senilai 300 juta dolar AS atau sekitar Rp 4,7 triliun.Kekayaan ini bersumber dari berbagai usaha yang dijalankannya, termasuk Sriwijaya Air dan PT TIN. Selain itu, Hendry juga memiliki sejumlah aset properti di berbagai lokasi, termasuk tanah dan vila di Bali.
Dalam proses penyidikan, Kejagung juga telah melacak dan menyita aset-aset milik Hendry Lie, termasuk tanah dan bangunan di beberapa tempat. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa kerugian negara akibat korupsi ini bisa dimitigasi melalui penyitaan aset yang dimiliki oleh para tersangka.
Penangkapan dan Proses Hukum Hendry Lie
Sejak 15 April 2024, Hendry Lie telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah Tbk. Berbulan-bulan tidak memenuhi panggilan Kejagung dan berada di Singapura, kini Hendry Lie akhirnya ditangkap di Indonesia.Hal ini berkat kerja sama Jampidsus dan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) Kejagung, serta Kejaksaan RI di Singapura, yang berhasil meringkus dirinya di Bandara Soekarno - Hatta pada 18 November 2024. Hendry kemudian langsung dibawa ke Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Selatan, untuk menjalani proses pemeriksaan lebih lanjut selama 20 hari.
Sebagai tersangka, Hendry Lie dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Proses hukum terhadap Hendry Lie dan tersangka lainnya akan terus berlanjut, dan Kejagung berkomitmen untuk menyelesaikan kasus ini dengan transparansi dan keadilan.
MG/ Luthfiyyah Rahmadiena
(abd)