Putusan MK: TNI/Polri dan Pejabat Daerah Bisa Dipidana jika Tak Netral di Pilkada
loading...
A
A
A
Hal ini berarti secara a contrario, sebuah norma dalam peraturan perundang-undangan yang tidak memenuhi prinsip tersebut adalah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Prinsip seperti disebutkan di atas menjadi pedoman bagi Mahkamah untuk menilai konstitusionalitas pembentukan dan substansi norma dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya kepada Mahkamah.
Mahkamah mempertimbangkan dalil permohonan Pemohon berkenaan dengan konstitusionalitas norma Pasal 188 UU 1/2015 yang mengatur ketentuan pidana atas pelanggaran terhadap norma Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 sebagaimana telah diubah dengan UU 10/2016 mengenai netralitas aparatur negara dalam pilkada.
Menurut Mahkamah, netralitas aparatur negara, baik sipil maupun militer, dalam pilkada merupakan prinsip dasar untuk menjamin penyelenggaraan sebuah pemilu yang jujur dan adil. Dengan netralitas aparaturnya, negara dapat menjaga keadilan, hak warga negara untuk mengikuti pilkada secara langsung, umum, bebas dan rahasia, sekaligus menjamin pilkada yang jujur dan adil dengan mencegah perilaku yang menyalahgunakan kekuasaan oleh aparatur negara.
Netralitas aparatur negara akan meningkatkan kualitas demokrasi serta memastikan pilkada sebagai sarana untuk memilih pemimpin daerah yang dihasilkan bukan dari proses pilkada yang manipulatif karena adanya keberpihakan aparatur negara terhadap pasangan calon tertentu.
Selanjutnya, dalam rangka perbaikan penyelenggaraan pilkada untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota, pembentuk undang-undang telah melakukan revisi atau perubahan terhadap sejumlah ketentuan dalam UU 1/2015, di antaranya terhadap norma Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 dengan menambahkan 2 subjek hukum baru sebagai aparatur negara, yaitu pejabat daerah dan anggota TNI/Polri sebagaimana kemudian dirumuskan dalam norma Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016.
Meskipun Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 yang merupakan norma primer telah mengalami perubahan, namun perubahan tersebut tidak diikuti dengan perubahan atau penambahan 2 subjek hukum baru tersebut ke dalam norma Pasal 188 UU 1/2015 yang merupakan norma sekunder. Oleh karena UU 10/2016 tidak mengubah norma Pasal 188 UU 1/2015, sehingga untuk norma sekunder yang mengatur pemidanaan tersebut tetap berlaku dan mengacu pada Pasal 188 UU 1/2015.
Padahal, norma Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 yang kemudian diubah dalam UU 10/2016 bukan merupakan norma yang bersifat lex imperfecta, melainkan merupakan norma yang dibuat dengan akibat atau konsekuensi hukum. Dalam hal ini, akibat atau konsekuensi hukumnya adalah harus dimuat pada norma sekunder yang mengatur ketentuan pidana atas pelanggaran yang dilakukan dalam Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016.
Tidak diubahnya norma Pasal 188 UU 1/2015 dalam UU 10/2016 agar sinkron dengan norma Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 yang digunakan sebagai rujukan sehingga menjadikan tidak adanya kepastian dan kesesuaian hukum terkait dengan norma pemidanaan terhadap 2 subjek hukum baru yang ditambahkan, yakni pejabat daerah dan anggota TNI/Polri. Padahal, Pasal 205B UU 10/2016 menentukan UU 1/2015 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UU 10/2016.
Oleh karena norma pada kedua pasal a quo merupakan norma hukum berpasangan, maka norma Pasal 188 UU 1/2015 sebagai norma sekunder yang memberikan pedoman bagi para penegak hukum untuk bertindak apabila norma Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 tidak dipatuhi atau dilanggar, harus dirumuskan dengan jelas, cermat, dan rinci guna memenuhi prinsip lex certa sehingga tidak menimbulkan masalah untuk keperluan penegakan hukumnya. Jika tercipta ruang perbedaan pandangan atau interpretasi ketika diterapkan dalam kasus konkret, maka berarti prinsip lex certa tersebut menjadi tidak terpenuhi.
Mahkamah mencermati Pasal 188 UU 1/2015 dihubungkan dengan Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 ternyata memang terdapat perbedaan cakupan subjek hukum dalam kedua norma yang saling berpasangan tersebut pasca perubahan UU 1/2015. Adanya penambahan pejabat daerah dan anggota TNI/Polri sebagai subjek hukum baru dalam norma Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 tidak terakomodir dalam norma Pasal 188 UU 1/2015 yang tidak diubah dalam UU 10/2016.
Mahkamah mempertimbangkan dalil permohonan Pemohon berkenaan dengan konstitusionalitas norma Pasal 188 UU 1/2015 yang mengatur ketentuan pidana atas pelanggaran terhadap norma Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 sebagaimana telah diubah dengan UU 10/2016 mengenai netralitas aparatur negara dalam pilkada.
Menurut Mahkamah, netralitas aparatur negara, baik sipil maupun militer, dalam pilkada merupakan prinsip dasar untuk menjamin penyelenggaraan sebuah pemilu yang jujur dan adil. Dengan netralitas aparaturnya, negara dapat menjaga keadilan, hak warga negara untuk mengikuti pilkada secara langsung, umum, bebas dan rahasia, sekaligus menjamin pilkada yang jujur dan adil dengan mencegah perilaku yang menyalahgunakan kekuasaan oleh aparatur negara.
Netralitas aparatur negara akan meningkatkan kualitas demokrasi serta memastikan pilkada sebagai sarana untuk memilih pemimpin daerah yang dihasilkan bukan dari proses pilkada yang manipulatif karena adanya keberpihakan aparatur negara terhadap pasangan calon tertentu.
Selanjutnya, dalam rangka perbaikan penyelenggaraan pilkada untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota, pembentuk undang-undang telah melakukan revisi atau perubahan terhadap sejumlah ketentuan dalam UU 1/2015, di antaranya terhadap norma Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 dengan menambahkan 2 subjek hukum baru sebagai aparatur negara, yaitu pejabat daerah dan anggota TNI/Polri sebagaimana kemudian dirumuskan dalam norma Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016.
Meskipun Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 yang merupakan norma primer telah mengalami perubahan, namun perubahan tersebut tidak diikuti dengan perubahan atau penambahan 2 subjek hukum baru tersebut ke dalam norma Pasal 188 UU 1/2015 yang merupakan norma sekunder. Oleh karena UU 10/2016 tidak mengubah norma Pasal 188 UU 1/2015, sehingga untuk norma sekunder yang mengatur pemidanaan tersebut tetap berlaku dan mengacu pada Pasal 188 UU 1/2015.
Padahal, norma Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 yang kemudian diubah dalam UU 10/2016 bukan merupakan norma yang bersifat lex imperfecta, melainkan merupakan norma yang dibuat dengan akibat atau konsekuensi hukum. Dalam hal ini, akibat atau konsekuensi hukumnya adalah harus dimuat pada norma sekunder yang mengatur ketentuan pidana atas pelanggaran yang dilakukan dalam Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016.
Tidak diubahnya norma Pasal 188 UU 1/2015 dalam UU 10/2016 agar sinkron dengan norma Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 yang digunakan sebagai rujukan sehingga menjadikan tidak adanya kepastian dan kesesuaian hukum terkait dengan norma pemidanaan terhadap 2 subjek hukum baru yang ditambahkan, yakni pejabat daerah dan anggota TNI/Polri. Padahal, Pasal 205B UU 10/2016 menentukan UU 1/2015 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UU 10/2016.
Oleh karena norma pada kedua pasal a quo merupakan norma hukum berpasangan, maka norma Pasal 188 UU 1/2015 sebagai norma sekunder yang memberikan pedoman bagi para penegak hukum untuk bertindak apabila norma Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 tidak dipatuhi atau dilanggar, harus dirumuskan dengan jelas, cermat, dan rinci guna memenuhi prinsip lex certa sehingga tidak menimbulkan masalah untuk keperluan penegakan hukumnya. Jika tercipta ruang perbedaan pandangan atau interpretasi ketika diterapkan dalam kasus konkret, maka berarti prinsip lex certa tersebut menjadi tidak terpenuhi.
Mahkamah mencermati Pasal 188 UU 1/2015 dihubungkan dengan Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 ternyata memang terdapat perbedaan cakupan subjek hukum dalam kedua norma yang saling berpasangan tersebut pasca perubahan UU 1/2015. Adanya penambahan pejabat daerah dan anggota TNI/Polri sebagai subjek hukum baru dalam norma Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 tidak terakomodir dalam norma Pasal 188 UU 1/2015 yang tidak diubah dalam UU 10/2016.