Mengawal Janji 'Pro-Santri' Prabowo-Gibran
loading...
A
A
A
Arifi Saiman
Alumnus Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember, Konsul Jenderal RI New York, Amerika Serikat (2019-2022), dan penulis buku Diplomasi Santri.
TAHUN 2024 memiliki makna penting dan istimewa bagi Hari Santri Nasional (HSN). Momentum peringatan HSN tahun ini, selain menandai satu dasawarsa HSN, juga bertepatan dengan momentum awal dimulainya pemerintahan Prabowo-Gibran . HSN dapat dikatakan sebagai momentum perhelatan nasional yang menyambut dan mengisi hari-hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran.
Keberadaan HSN memang tidak dapat dilepaskan dari peranan dan jasa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri. Keppres Nomor 22 Tahun 2015 tersebut menyebutkan bahwa “Hari Santri yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober adalah untuk mengenang, meneladani dan melanjutkan peran ulama dan santri dalam membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta berkontribusi dalam pembangunan bangsa.”
Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai tanggal peringatan HSN merujuk pada momentum dikeluarkannya seruan resolusi jihad Hadratussyeikh K.H. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945. Seruan resolusi jihad dimaksud adalah sebuah seruan untuk membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari serangan penjajah. Sikap membela dan cinta tanah air ini tumbuh kuat dalam diri kaum “santri pejuang” saat itu sebagaimana tercermin melalui ungkapan hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman) sebagai pedoman perjuangannya.
Penetapan HSN merupakan realisasi dari komitmen politik Presiden Joko Widodo dalam mengakomodir permintaan kalangan pesantren tentang pentingnya penetapan HSN. Gagasan tentang HSN tersebut konon disampaikan oleh K.H. Thoriq Darwis kepada Calon Presiden Joko Widodo saat itu Ketika berkunjung ke Pondok Pesantren Babussalam, Malang, Jawa Timur.
Perhatian terhadap pesantren dan kaum santrinya ternyata tidak hanya berhenti sampai masa akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Namun, pendidikan pesantren dan pembangunan sumber daya manusianya, dalam hal ini kaum santri, juga menjadi agenda pemerintahan Prabowo-Gibran. Tentunya ini patut disambut positif sebagai bentuk keberlanjutan program pemerintahan sebelumnya oleh pemerintahan yang baru.
Sesungguhnya apa yang dijanjikan oleh Cawapres Gibran tersebut bukan sesuatu yang baru namun lebih pada sebuah bentuk keberlanjutan program sejenis yang ada pada pemerintahan Jokowi Widodo-Ma’ruf Amin. Di sini pemerintahan Prabowo-Gibran lebih bersifat melanjutkan dan meningkatkan implementasi dari program-program dimaksud pada masa pemerintahannya baik secara kualitas maupun kuantitas. Program-program pro-santri dimaksud sejatinya merupakan pengejawantahan dari Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren. Sama halnya dengan program pengembangan kapasitas (capacity building), pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin melalui Kementerian Agama dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) juga menyelenggarakan Program
Keberadaan pesantren beserta santrinya memang selayaknya mendapat perhatian besar pemerintah. Selain jasanya dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa, secara politik kaum santri merupakan konstituen politik yang cukup signifikan dan strategis kedudukannya. Kedudukan penting dan strategis kaum santri di sini tidak hanya dilihat dari posisinya sebagai aset bangsa namun juga posisinya sebagai lumbung pemenangan yang cukup penting saat Pemilu. Saat ini tercatat sekitar 39.551 pesantren dan 4,9 juta santri di seluruh Indonesia.
Pemerintah melaui Perpres Nomor 82 Tahun 2021 mengamanatkan kepada Pemerintah Pusat (Pasal 8) dan Pemerintah Daerah (Pasal 9) untuk membantu pendanaan penyelenggaraan pesantren masing-masing melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Di luar koridor UU No. 18 Tahun 2019 dan Perpres No. 82 Tahun 2021, program “pro-santri” pemerintahan Prabowo-Gibran salah satunya berupa program makan bergizi gratis.
Program makan bergizi gratis yang berskala nasional ini tentunya juga akan menjangkau para santri di lingkungan pesantren. Komitmen ini secara tegas disampaikan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto pada acara Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Legislatif PKB di Hotel Sahid Jakarta tanggal 10 Oktober 2024. Perbaikan kualitas asupan gizi kaum santri melalui program makan bergizi gratis ini tentunya sangat bermanfaat bagi kehidupan kaum santri. Program ini diharapkan akan menghindarkan kaum santri terjangkit penyakit gizi buruk yang dapat mengganggu pertumbuhan tubuh dan kecerdasannya.
HSN merupakan momentum penting sekaligus diharapkan dapat berperan sebagai perekat ukhuwah khususnya di kalangan insan pesantren. HSN didukung oleh ormas Islam di bawah keanggotaan Lembaga Persaudaraan Ormas Islam (LPOI), salah satu ormas pendukungnya sekaligus yang terbesar di sini, yakni Nahdlatul Ulama. Namun, dalam satu dasawarsa perjalanannya, HSN masih terkesan bersifat seremonial dan simbolis belaka. Dalam arti, HSN belum mampu menghapus atau minimal memitigasi perbedaan-perbedaan atau gesekan-gesekan kepentingan yang berpotensi memicu perseteruan terbuka di kalangan elit santri dan para pendukung fanatiknya di tataran akar rumput.
Banyak faktor yang melatarbelakangi munculnya perbedaan-perbedaan atau gesekan-gesekan kepentingan saat Pemilu yang residunya masih tersisa di masa setelah berakhirnya Pemilu. Perseteruan antara PBNU dan PKB, sebagai contoh, merupakan perseteruan bernuansa kepentingan politik. Bahkan, masing-masing pihak yang berseteru menggunakan cara-cara atau ancaman politik untuk menekan satu sama lain, seperti ancaman menggelar Muktamar PKB tandingan sebagai bentuk penolakan atas hasil Muktamar VI PKB yang berlangsung di Bali 24-25 Agustus 2024.
Tidak hanya ancaman menggelar Muktamar tandingan terhadap PKB pimpinan Cak Imin, warga NU juga dihadapkan pada pemandangan kasatmata berupa gerakan politik untuk melengserkan Gus Yahya dari kursi Ketua Umum PBNU melalui upaya Muktamar Luar Biasa (MLB) Nahdlatul Ulama. Semua manuver politik ini sejatinya berangkat dari “syahwat politik” yang menggebu-gebu dalam diri elit NU termasuk di jajaran pengurus struktural PBNU yang seharusnya terkebiri oleh khittah NU.
Situasi perseteruan demikian tentunya tidak dapat didiamkan terus menerus karena akan dapat meresahkan umat khususnya di tataran akar rumput. Interaksi hubungan antar santri yang kurang kondusif ini merupakan tantangan sekaligus pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan segera oleh pemerintahan Prabowo-Gibran agar tidak menjadi “kerikil dalam Sepatu” mengingat PBNU dan PKB sama-sama berada di barisan pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran.
HSN merupakan kado Istimewa dari pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin kepada insan pesantren dan kalangan ormas Islam, baik yang tergabung dalam LPOI mapun yang berada di luar LPOI. Memang sejak awal dideklarasikan, HSN dirancang sebagai hari nasional namun bukan sebagai hari libur nasional. Fakta demikian ternyata memberikan implikasi tersendiri bagi HSN, salah satunya keberadaan HSN yang kurang membumi dan kurang mengakar secara nasional.
Di sini hanya kalangan masyarakat tertentu yang familier dengan HSN, salah satu di antaranya kalangan santri di bawah naungan LPOI. Namun, di lingkungan masyarakat yang lebih luas, gaung HSN sebagai hari nasional hanya sayup-sayup terdengar, dan sebagian kalangan masyarakat lainnya mengaku tidak mendengar dan bahkan sama sekali tidak tahu mengenai HSN.
Karena itu, perberlakuan hari libur nasional pada HSN kiranya patut dipertimbangkan dan diwujudkan sekiranya tidak ada hal-hal yang memberatkan. HSN sebagai hari libur nasional niscaya akan dapat semakin membumikan HSN sekaligus membangun rasa kepemilikan (sense of ownership) atas HSN di kalangan masyarakat Indonesia, baik masyarakat santri maupun masyarakat non-santri. Dengan menjadi hari libur nasional, HSN tentunya akan menjadi legacy tersendiri bagi pemerintahan Prabowo-Gibran sekaligus dicatat dengan tinta emas dalam sejarah perjalanan pesantren dan kaum santri Indonesia.
HSN sebagai hari libur nasional sama sekali bukan merupakan sebuah kebijakan yang berlebihan atau sebuah tuntutan yang mengada-ada. Namun, ini pantas dan layak diberikan dan didedikasikan bagi pesantren dan kaum santrinya mengingat peranan dan sumbangsih mereka sungguh luar biasa besar, baik dalam mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun dalam membangun peradaban bangsa khususnya melalui pendidikan pesantren. Selamat Hari Santri Nasional. Selamat Datang dan Selamat Bekerja Pemerintahan Prabowo-Gibran!!!
Alumnus Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember, Konsul Jenderal RI New York, Amerika Serikat (2019-2022), dan penulis buku Diplomasi Santri.
TAHUN 2024 memiliki makna penting dan istimewa bagi Hari Santri Nasional (HSN). Momentum peringatan HSN tahun ini, selain menandai satu dasawarsa HSN, juga bertepatan dengan momentum awal dimulainya pemerintahan Prabowo-Gibran . HSN dapat dikatakan sebagai momentum perhelatan nasional yang menyambut dan mengisi hari-hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran.
Keberadaan HSN memang tidak dapat dilepaskan dari peranan dan jasa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri. Keppres Nomor 22 Tahun 2015 tersebut menyebutkan bahwa “Hari Santri yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober adalah untuk mengenang, meneladani dan melanjutkan peran ulama dan santri dalam membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta berkontribusi dalam pembangunan bangsa.”
Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai tanggal peringatan HSN merujuk pada momentum dikeluarkannya seruan resolusi jihad Hadratussyeikh K.H. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945. Seruan resolusi jihad dimaksud adalah sebuah seruan untuk membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari serangan penjajah. Sikap membela dan cinta tanah air ini tumbuh kuat dalam diri kaum “santri pejuang” saat itu sebagaimana tercermin melalui ungkapan hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman) sebagai pedoman perjuangannya.
Penetapan HSN merupakan realisasi dari komitmen politik Presiden Joko Widodo dalam mengakomodir permintaan kalangan pesantren tentang pentingnya penetapan HSN. Gagasan tentang HSN tersebut konon disampaikan oleh K.H. Thoriq Darwis kepada Calon Presiden Joko Widodo saat itu Ketika berkunjung ke Pondok Pesantren Babussalam, Malang, Jawa Timur.
Perhatian terhadap pesantren dan kaum santrinya ternyata tidak hanya berhenti sampai masa akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Namun, pendidikan pesantren dan pembangunan sumber daya manusianya, dalam hal ini kaum santri, juga menjadi agenda pemerintahan Prabowo-Gibran. Tentunya ini patut disambut positif sebagai bentuk keberlanjutan program pemerintahan sebelumnya oleh pemerintahan yang baru.
Program Pro-Santri
Di hadapan keluarga alumni Pondok Pesantren Al Falah Ploso Kediri se-Jabodetabek, Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka menyatakan komitmennya untuk tidak melupakan para santri saat terpilih nanti. Terdapat sejumlah program yang akan dipersembahkan oleh Cawapres Gibran bagi kalangan pesantren dan para santrinya di antaranya program dana abadi pesantren dan program pengembangan kapasitas (capacity building program).Baca Juga
Sesungguhnya apa yang dijanjikan oleh Cawapres Gibran tersebut bukan sesuatu yang baru namun lebih pada sebuah bentuk keberlanjutan program sejenis yang ada pada pemerintahan Jokowi Widodo-Ma’ruf Amin. Di sini pemerintahan Prabowo-Gibran lebih bersifat melanjutkan dan meningkatkan implementasi dari program-program dimaksud pada masa pemerintahannya baik secara kualitas maupun kuantitas. Program-program pro-santri dimaksud sejatinya merupakan pengejawantahan dari Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren. Sama halnya dengan program pengembangan kapasitas (capacity building), pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin melalui Kementerian Agama dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) juga menyelenggarakan Program
Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB)
Keberadaan pesantren beserta santrinya memang selayaknya mendapat perhatian besar pemerintah. Selain jasanya dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa, secara politik kaum santri merupakan konstituen politik yang cukup signifikan dan strategis kedudukannya. Kedudukan penting dan strategis kaum santri di sini tidak hanya dilihat dari posisinya sebagai aset bangsa namun juga posisinya sebagai lumbung pemenangan yang cukup penting saat Pemilu. Saat ini tercatat sekitar 39.551 pesantren dan 4,9 juta santri di seluruh Indonesia.
Pemerintah melaui Perpres Nomor 82 Tahun 2021 mengamanatkan kepada Pemerintah Pusat (Pasal 8) dan Pemerintah Daerah (Pasal 9) untuk membantu pendanaan penyelenggaraan pesantren masing-masing melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Di luar koridor UU No. 18 Tahun 2019 dan Perpres No. 82 Tahun 2021, program “pro-santri” pemerintahan Prabowo-Gibran salah satunya berupa program makan bergizi gratis.
Program makan bergizi gratis yang berskala nasional ini tentunya juga akan menjangkau para santri di lingkungan pesantren. Komitmen ini secara tegas disampaikan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto pada acara Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Legislatif PKB di Hotel Sahid Jakarta tanggal 10 Oktober 2024. Perbaikan kualitas asupan gizi kaum santri melalui program makan bergizi gratis ini tentunya sangat bermanfaat bagi kehidupan kaum santri. Program ini diharapkan akan menghindarkan kaum santri terjangkit penyakit gizi buruk yang dapat mengganggu pertumbuhan tubuh dan kecerdasannya.
Ukhuwah Nahdliyah
HSN merupakan momentum penting sekaligus diharapkan dapat berperan sebagai perekat ukhuwah khususnya di kalangan insan pesantren. HSN didukung oleh ormas Islam di bawah keanggotaan Lembaga Persaudaraan Ormas Islam (LPOI), salah satu ormas pendukungnya sekaligus yang terbesar di sini, yakni Nahdlatul Ulama. Namun, dalam satu dasawarsa perjalanannya, HSN masih terkesan bersifat seremonial dan simbolis belaka. Dalam arti, HSN belum mampu menghapus atau minimal memitigasi perbedaan-perbedaan atau gesekan-gesekan kepentingan yang berpotensi memicu perseteruan terbuka di kalangan elit santri dan para pendukung fanatiknya di tataran akar rumput.
Banyak faktor yang melatarbelakangi munculnya perbedaan-perbedaan atau gesekan-gesekan kepentingan saat Pemilu yang residunya masih tersisa di masa setelah berakhirnya Pemilu. Perseteruan antara PBNU dan PKB, sebagai contoh, merupakan perseteruan bernuansa kepentingan politik. Bahkan, masing-masing pihak yang berseteru menggunakan cara-cara atau ancaman politik untuk menekan satu sama lain, seperti ancaman menggelar Muktamar PKB tandingan sebagai bentuk penolakan atas hasil Muktamar VI PKB yang berlangsung di Bali 24-25 Agustus 2024.
Tidak hanya ancaman menggelar Muktamar tandingan terhadap PKB pimpinan Cak Imin, warga NU juga dihadapkan pada pemandangan kasatmata berupa gerakan politik untuk melengserkan Gus Yahya dari kursi Ketua Umum PBNU melalui upaya Muktamar Luar Biasa (MLB) Nahdlatul Ulama. Semua manuver politik ini sejatinya berangkat dari “syahwat politik” yang menggebu-gebu dalam diri elit NU termasuk di jajaran pengurus struktural PBNU yang seharusnya terkebiri oleh khittah NU.
Situasi perseteruan demikian tentunya tidak dapat didiamkan terus menerus karena akan dapat meresahkan umat khususnya di tataran akar rumput. Interaksi hubungan antar santri yang kurang kondusif ini merupakan tantangan sekaligus pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan segera oleh pemerintahan Prabowo-Gibran agar tidak menjadi “kerikil dalam Sepatu” mengingat PBNU dan PKB sama-sama berada di barisan pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran.
HSN merupakan kado Istimewa dari pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin kepada insan pesantren dan kalangan ormas Islam, baik yang tergabung dalam LPOI mapun yang berada di luar LPOI. Memang sejak awal dideklarasikan, HSN dirancang sebagai hari nasional namun bukan sebagai hari libur nasional. Fakta demikian ternyata memberikan implikasi tersendiri bagi HSN, salah satunya keberadaan HSN yang kurang membumi dan kurang mengakar secara nasional.
Di sini hanya kalangan masyarakat tertentu yang familier dengan HSN, salah satu di antaranya kalangan santri di bawah naungan LPOI. Namun, di lingkungan masyarakat yang lebih luas, gaung HSN sebagai hari nasional hanya sayup-sayup terdengar, dan sebagian kalangan masyarakat lainnya mengaku tidak mendengar dan bahkan sama sekali tidak tahu mengenai HSN.
Karena itu, perberlakuan hari libur nasional pada HSN kiranya patut dipertimbangkan dan diwujudkan sekiranya tidak ada hal-hal yang memberatkan. HSN sebagai hari libur nasional niscaya akan dapat semakin membumikan HSN sekaligus membangun rasa kepemilikan (sense of ownership) atas HSN di kalangan masyarakat Indonesia, baik masyarakat santri maupun masyarakat non-santri. Dengan menjadi hari libur nasional, HSN tentunya akan menjadi legacy tersendiri bagi pemerintahan Prabowo-Gibran sekaligus dicatat dengan tinta emas dalam sejarah perjalanan pesantren dan kaum santri Indonesia.
HSN sebagai hari libur nasional sama sekali bukan merupakan sebuah kebijakan yang berlebihan atau sebuah tuntutan yang mengada-ada. Namun, ini pantas dan layak diberikan dan didedikasikan bagi pesantren dan kaum santrinya mengingat peranan dan sumbangsih mereka sungguh luar biasa besar, baik dalam mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun dalam membangun peradaban bangsa khususnya melalui pendidikan pesantren. Selamat Hari Santri Nasional. Selamat Datang dan Selamat Bekerja Pemerintahan Prabowo-Gibran!!!
(zik)