Isu Calon Boneka di Pilkada, Pengamat: Sama Saja Menipu Masyarakat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemilihan kepala daerah ( pilkada ) langsung memiliki sisi positif dan negatif. Lewat pilkada langsung, masyarakat bisa memilih langsung calon pemimpin daerahnya.
Pilkada langsung pun membuka ruang yang lebih luas kepada siapapun untuk bisa bertarung dalam kontestasi politik. Namun, ruang yang sepertinya lebar itu perlahan menyempit, misalnya makin beratnya syarat maju perseorangan. Syarat dukungannya berkisar 6,5-10% dari total pemilih. (Baca juga: Calonkan Artis Cucu Wapres Ma'ruf Amin di Pilkada Karawang, Ini Penjelasan PDIP)
“Ini dikhawatirkan akan menutup peluang calon lain yang mungkin berkualitas dan memiliki kemampuan menjalankan pemerintah,” ujar Pengamat Politik dari Universitas Padjajaran Idil Akbar saat dihubungi SINDOnews, Kamis (27/8/2020).
Ada satu fenomena baru, parpol sering secara bergerombol mendukung salah satu pasangan calon yang memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi. Tentu saja, kekuatan finansial yang besar.
Praktik ini yang membuat muncul pilkada dengan calon tunggal. Ini memang diperbolehkan tapi membuat masyarakat tidak punya banyak pilihan: paslon yang diusung parpol melawan kotak kosong.
Belakangan, muncul isu ada paslon boneka. Isu ini berkembang setelah lolosnya paslon dari jalur perseorangan, Bagyo Wahyono-FX Supardjo (Bajo) untuk mengikuti pilkada Kota Solo 2020.
Seperti diketahui, paslon Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa mendapatkan dukungan mayoritas. Paslon ini didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Golkar, Gerindra, dan Partai Amanat Nasional.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) awalnya berniat memunculkan satu paslon untuk melawan Gibran-Teguh. Namun, kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang berjumlah 5 tidak cukup untuk mencalonkan jagoannya.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto membantah partainya telah memunculkan calon boneka di Solo. “PDIP tidak pernah merencanakan adanya calon-calon boneka,” ucapnya.
Pada tahun 2015, sempat beredar kabar ada “barter politik” antara PDIP dan Demokrat untuk Pilkada Kota Surabaya dan Kabupaten Pacitan. Di Surabaya, pasangan Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana nyaris tidak memiliki lawan.
Di Pacitan, petahana Indartato-Yudi Sumbogo yang merupakan jagoan Demokrat pun tak ada lawan. Saat itu, pilkada dengan calon tunggal tidak diperbolehkan.
Sempat beredar kabar, PDIP akan memunculkan calon di Pacitan. Timbal baliknya, Demokrat mengusung calonnya di Surabaya. Pilkada di dua daerah itu nyaris diundur, tetapi akhirnya tetap berlangsung.
Baik PDIP dan Demokrat telah membantah adanya “barter politik” itu. Idil Akbar mengatakan calon boneka itu hanya kamuflase untuk keterpilihan kandidat tertentu. Calon boneka, menurutnya, tidak baik untuk jalannya politik Indonesia.
“Kalau seperti itu, lebih baik tidak ada sama sekali. Biarkan saja berjalan normatif, lawan kotak kosong dan masyarakat yang menentukan. Jika ada calon boneka, itu sama saja menipu masyarakat,” ucapnya.
Pengamat Politik Universitas Brawijaya, Anang Sujoko mengatakan calon boneka merupakan bentuk permainan dan pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi. Ini hanya akan mengelabui publik karena seolah-olah menang dalam persaingan. Itu untuk memunculkan legitimasi. (Baca juga: Komitmen Damai Harus Ditegaskan Paslon Agar Pilkada Menjadi Lancar)
“Tentu saja, (jika) parpol yang memunculkan calon boneka adalah yang punya uang besar. Bukan hanya untuk proses pencalonan dan kampanye calon boneka, tetapi juga harus membayari si boneka,” pungkasnya.
Pilkada langsung pun membuka ruang yang lebih luas kepada siapapun untuk bisa bertarung dalam kontestasi politik. Namun, ruang yang sepertinya lebar itu perlahan menyempit, misalnya makin beratnya syarat maju perseorangan. Syarat dukungannya berkisar 6,5-10% dari total pemilih. (Baca juga: Calonkan Artis Cucu Wapres Ma'ruf Amin di Pilkada Karawang, Ini Penjelasan PDIP)
“Ini dikhawatirkan akan menutup peluang calon lain yang mungkin berkualitas dan memiliki kemampuan menjalankan pemerintah,” ujar Pengamat Politik dari Universitas Padjajaran Idil Akbar saat dihubungi SINDOnews, Kamis (27/8/2020).
Ada satu fenomena baru, parpol sering secara bergerombol mendukung salah satu pasangan calon yang memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi. Tentu saja, kekuatan finansial yang besar.
Praktik ini yang membuat muncul pilkada dengan calon tunggal. Ini memang diperbolehkan tapi membuat masyarakat tidak punya banyak pilihan: paslon yang diusung parpol melawan kotak kosong.
Belakangan, muncul isu ada paslon boneka. Isu ini berkembang setelah lolosnya paslon dari jalur perseorangan, Bagyo Wahyono-FX Supardjo (Bajo) untuk mengikuti pilkada Kota Solo 2020.
Seperti diketahui, paslon Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa mendapatkan dukungan mayoritas. Paslon ini didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Golkar, Gerindra, dan Partai Amanat Nasional.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) awalnya berniat memunculkan satu paslon untuk melawan Gibran-Teguh. Namun, kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang berjumlah 5 tidak cukup untuk mencalonkan jagoannya.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto membantah partainya telah memunculkan calon boneka di Solo. “PDIP tidak pernah merencanakan adanya calon-calon boneka,” ucapnya.
Pada tahun 2015, sempat beredar kabar ada “barter politik” antara PDIP dan Demokrat untuk Pilkada Kota Surabaya dan Kabupaten Pacitan. Di Surabaya, pasangan Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana nyaris tidak memiliki lawan.
Di Pacitan, petahana Indartato-Yudi Sumbogo yang merupakan jagoan Demokrat pun tak ada lawan. Saat itu, pilkada dengan calon tunggal tidak diperbolehkan.
Sempat beredar kabar, PDIP akan memunculkan calon di Pacitan. Timbal baliknya, Demokrat mengusung calonnya di Surabaya. Pilkada di dua daerah itu nyaris diundur, tetapi akhirnya tetap berlangsung.
Baik PDIP dan Demokrat telah membantah adanya “barter politik” itu. Idil Akbar mengatakan calon boneka itu hanya kamuflase untuk keterpilihan kandidat tertentu. Calon boneka, menurutnya, tidak baik untuk jalannya politik Indonesia.
“Kalau seperti itu, lebih baik tidak ada sama sekali. Biarkan saja berjalan normatif, lawan kotak kosong dan masyarakat yang menentukan. Jika ada calon boneka, itu sama saja menipu masyarakat,” ucapnya.
Pengamat Politik Universitas Brawijaya, Anang Sujoko mengatakan calon boneka merupakan bentuk permainan dan pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi. Ini hanya akan mengelabui publik karena seolah-olah menang dalam persaingan. Itu untuk memunculkan legitimasi. (Baca juga: Komitmen Damai Harus Ditegaskan Paslon Agar Pilkada Menjadi Lancar)
“Tentu saja, (jika) parpol yang memunculkan calon boneka adalah yang punya uang besar. Bukan hanya untuk proses pencalonan dan kampanye calon boneka, tetapi juga harus membayari si boneka,” pungkasnya.
(kri)