Banyak Diisi Kader Partai, Kabinet Zaken Prabowo-Gibran Sulit Diwujudkan
loading...
A
A
A
“Politik dagang sapi bukan hal baru di Indonesia. Praktik pembagian kekuasaan yang melibatkan negosiasi antara berbagai pihak demi mendapatkan posisi atau pengaruh dalam pemerintahan,” katanya.
Sejarah politik Indonesia, kata dia, khususnya setelah era Reformasi, telah menunjukkan bagaimana koalisi besar hampir selalu berakhir dengan kompromi yang melibatkan berbagai partai politik dalam susunan kabinet. Setiap partai politik yang berkoalisi berharap mendapatkan "jatah" kekuasaan dalam bentuk jabatan menteri atau wakil menteri.
”Inilah yang menyebabkan munculnya kabinet yang tidak efisien, dengan banyak posisi yang diberikan bukan karena kompetensi tetapi karena kebutuhan politik,” ucapnya.
Kabinet zaken yang diusulkan oleh Prabowo, seharusnya dapat menghindari jebakan ini. Namun, pada kenyataannya, Prabowo perlu mengakomodasi banyak partai politik yang telah mendukungnya selama kampanye, termasuk PAN, PKB, Demokrat, dan Gerindra sebagai partai utamanya.
“Ketika kepentingan politik ini mulai mendikte susunan kabinet, konsep kabinet zaken yang idealistis pun mulai luntur,” tegasnya.
Nur Hidayat menyebut, praktik politik dagang sapi ini mirip dengan apa yang pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno pada 1960-an, ketika membentuk Kabinet Seratus Menteri.
“Prabowo menghadapi dilema yang sama bagaimana menjaga stabilitas politik dengan merangkul berbagai partai besar, tanpa merusak efektivitas pemerintahan.
Dengan jumlah kementerian yang berpotensi bertambah akibat kompromi politik, anggaran negara pun diperkirakan akan membengkak,” ucapnya.
Ketika Prabowo mulai memanggil para calon menteri, kata dia, ekspektasi publik adalah kabinet yang lebih ramping, lebih efisien, dan lebih berfokus pada hasil. Namun, susunan calon menteri dan wakil menteri yang diundang ke Kertanegara menunjukkan hal yang sebaliknya.
Sejarah politik Indonesia, kata dia, khususnya setelah era Reformasi, telah menunjukkan bagaimana koalisi besar hampir selalu berakhir dengan kompromi yang melibatkan berbagai partai politik dalam susunan kabinet. Setiap partai politik yang berkoalisi berharap mendapatkan "jatah" kekuasaan dalam bentuk jabatan menteri atau wakil menteri.
”Inilah yang menyebabkan munculnya kabinet yang tidak efisien, dengan banyak posisi yang diberikan bukan karena kompetensi tetapi karena kebutuhan politik,” ucapnya.
Kabinet zaken yang diusulkan oleh Prabowo, seharusnya dapat menghindari jebakan ini. Namun, pada kenyataannya, Prabowo perlu mengakomodasi banyak partai politik yang telah mendukungnya selama kampanye, termasuk PAN, PKB, Demokrat, dan Gerindra sebagai partai utamanya.
“Ketika kepentingan politik ini mulai mendikte susunan kabinet, konsep kabinet zaken yang idealistis pun mulai luntur,” tegasnya.
Nur Hidayat menyebut, praktik politik dagang sapi ini mirip dengan apa yang pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno pada 1960-an, ketika membentuk Kabinet Seratus Menteri.
“Prabowo menghadapi dilema yang sama bagaimana menjaga stabilitas politik dengan merangkul berbagai partai besar, tanpa merusak efektivitas pemerintahan.
Dengan jumlah kementerian yang berpotensi bertambah akibat kompromi politik, anggaran negara pun diperkirakan akan membengkak,” ucapnya.
Ketika Prabowo mulai memanggil para calon menteri, kata dia, ekspektasi publik adalah kabinet yang lebih ramping, lebih efisien, dan lebih berfokus pada hasil. Namun, susunan calon menteri dan wakil menteri yang diundang ke Kertanegara menunjukkan hal yang sebaliknya.