Luhut vs Said Didu, antara Kritik dan Pencemaran Nama Baik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perseteruan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Panjaitan dan Said Didu mulai memasuki ranah hukum.
Mantan Sekretaris BUMN itu dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri karena dianggap telah mencemarkan nama baik Luhut.
Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menilai pernyataan Said Didu harus diposisikan dalam konteks negara demokrasi.
Pernyataan Said harus dianggap sebagai kritik sehingga demokrasi ini menjadi sehat.“Kalau sedikit-sedikit kritik dibawa ke ranah hukum, maka tidak mustahil hukum akan berubah menjadi alat kekuasaan,” ujarnya kepada SINDOnews, Sabtu (2/5/2020).
Kasus ini berawal dari pernyataan Said Didu di chanel Youtube tentang Luhut hanya pikirkan uang, uang, dan uang. “Saya tidak melihat dia mau berpikir membangun bangsa dan negara. Memang karakternya demikian,” ucapnya 28 Maret lalu.( )
Kubu Luhut sempat memberikan ultimatum agar mantan Said Didu meminta maaf. Namun, Said hanya merespons dengan mengirim surat klarifikasi.
“Video yang berjudul Luhut: Uang, Uang, dan Uang di channel youtube M Said Didu adalah ulasan analisis priorutas kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi corona (Covid-19),” tulis Said.
Namun, surat itu ternyata tidak cukup. Luhut lewat kuasa hukumnya melaporkan Said Didu tentang dugaan pencemaran nama baik ke Bareskrim Polri. “Klarifikasi tanpa dua kata: minta maaf,” ujar kuasa hukum Luhut, Patra M Zen.
Said diduga melanggar 35 Ayat 3 junto 27 Ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektonik (ITE). Kemudian, Pasal 310 dan 311 Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP).
Fickar menuturkan UU ITE, terutama dalam kaitan dengan kebebasan bereskpreasi, tidak cocok di negara modern yang berlandaskan demokrasi. Semua dijamin kebebasannya untuk berpendapat.
“Karena itu, UU ITE khusus yang berkaitan dengan hate speech sudah tidak cocok dengan zaman. Para pejabat publik itu digaji oleh uang rakyat untuk melayani dan dikritik kinerjanya,” tuturnya.
Meski menganggap sudah tidak rasional, menurutnya, pasal itu tetap berlaku sebagai hukum positif karena belum dicabut.
“Maka pengendaliannya sepenuhnya ada di tangan para hakim. Karena itu, kita mengimbau para hakim untuk lebih bijaksana dalam mengadili perkara perkara hate speech ini,” tuturnya
Lihat Juga: Cerita Mahfud MD Dikawal 2 Anggota Sat-81/Gultor Kopassus Anak Buah Luhut saat Konflik Cicak Vs Buaya
Mantan Sekretaris BUMN itu dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri karena dianggap telah mencemarkan nama baik Luhut.
Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menilai pernyataan Said Didu harus diposisikan dalam konteks negara demokrasi.
Pernyataan Said harus dianggap sebagai kritik sehingga demokrasi ini menjadi sehat.“Kalau sedikit-sedikit kritik dibawa ke ranah hukum, maka tidak mustahil hukum akan berubah menjadi alat kekuasaan,” ujarnya kepada SINDOnews, Sabtu (2/5/2020).
Kasus ini berawal dari pernyataan Said Didu di chanel Youtube tentang Luhut hanya pikirkan uang, uang, dan uang. “Saya tidak melihat dia mau berpikir membangun bangsa dan negara. Memang karakternya demikian,” ucapnya 28 Maret lalu.( )
Kubu Luhut sempat memberikan ultimatum agar mantan Said Didu meminta maaf. Namun, Said hanya merespons dengan mengirim surat klarifikasi.
“Video yang berjudul Luhut: Uang, Uang, dan Uang di channel youtube M Said Didu adalah ulasan analisis priorutas kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi corona (Covid-19),” tulis Said.
Namun, surat itu ternyata tidak cukup. Luhut lewat kuasa hukumnya melaporkan Said Didu tentang dugaan pencemaran nama baik ke Bareskrim Polri. “Klarifikasi tanpa dua kata: minta maaf,” ujar kuasa hukum Luhut, Patra M Zen.
Said diduga melanggar 35 Ayat 3 junto 27 Ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektonik (ITE). Kemudian, Pasal 310 dan 311 Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP).
Fickar menuturkan UU ITE, terutama dalam kaitan dengan kebebasan bereskpreasi, tidak cocok di negara modern yang berlandaskan demokrasi. Semua dijamin kebebasannya untuk berpendapat.
“Karena itu, UU ITE khusus yang berkaitan dengan hate speech sudah tidak cocok dengan zaman. Para pejabat publik itu digaji oleh uang rakyat untuk melayani dan dikritik kinerjanya,” tuturnya.
Meski menganggap sudah tidak rasional, menurutnya, pasal itu tetap berlaku sebagai hukum positif karena belum dicabut.
“Maka pengendaliannya sepenuhnya ada di tangan para hakim. Karena itu, kita mengimbau para hakim untuk lebih bijaksana dalam mengadili perkara perkara hate speech ini,” tuturnya
Lihat Juga: Cerita Mahfud MD Dikawal 2 Anggota Sat-81/Gultor Kopassus Anak Buah Luhut saat Konflik Cicak Vs Buaya
(dam)