Menunjuk Menteri Hak Prerogatif Presiden, Pansus Haji DPR Tidak Dapat Intervensi
loading...
A
A
A
Panitia Khusus ( Pansus ) Hak Angket Haji menyampaikan hasil kerjanya pada sidang Paripurna DPR ke-8 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025 di Senayan, Jakarta. Ada lima rekomendasi yang dibacakan salah satunya mengharap pemerintah mendatang mengisi posisi Menteri Agama dengan figur yang lebih cakap dan kompeten dalam mengkoordinir, mengatur, dan mengelola penyelenggaraan ibadah haji”.
“Seharusnya rekomendasi Pansus hanya menyangkut perbaikan kebijakan atau regulasi penyelenggaraan haji serta tata kelolanya, bukan menyangkut orang yang mengisi jabatan tertentu,” terang Pakar Hukum Universita Gajah Mada (UGM), Oce Madril, di Yogyakarta, Selasa (1/10/2024).
Oce Madril menilai rekomendasi Pansus Angket Haji bermasalah dengan tiga alasan. Pertama, rekomendasi soal posisi Menteri Agama dalam pemerintahan mendatang bukanlah wewenang DPR. Menurut UUD 1945, pengisian jabatan menteri merupakan hak prerogatif Presiden. Dalam pengisian jabatan Menteri Agama, Presiden tidak dapat diintervensi sekalipun oleh Pansus.
“Rekomendasi Pansus tersebut offside, terlihat ada kepentingan pihak tertentu untuk mengincar kursi Menteri Agama mendatang dengan memanfaatkan hasil Pansus. Kesannya belum apa-apa, politisi yang tergabung dalam Pansus Haji sudah mencoba “mengancam” Presiden mendatang terkait posisi Menteri Agama RI,” tegas Oce Madril.
''Berikan keleluasaan pada Presiden mendatang, Pak Prabowo Subianto untuk menentukan Menteri Agama, tanpa diintervensi,” sambungnya.
Kedua, lanjut Oce Madril, seharusnya Pansus Haji fokus saja pada persoalan kebijakan, regulasi, dan tata kelola penyelenggaraan haji supaya lebih baik di masa mendatang. Misalnya, Pansus mendorong untuk melakukan legislative review atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah serta meningkatkan pengawasan di lapangan. “Tim DPR kan ikut awasi pelaksanaan haji di lapangan, seharusnya Tim DPR ini harus lebih efektif,” sebutnya.
Ketiga, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 berkaitan dengan pengujian konstitusionalitas hak angket dalam UU MD3, telah memberikan batasan hak angket, bahwa hasil hak angket harusnya berwujud rekomendasi dan evaluasi untuk perbaikan kebijakan di masa mendatang.
“Dengan demikian, maka hasil Pansus Haji harusnya mendorong perubahan dan perbaikan kebijakan penyelenggaraan haji, baik perbaikan dari sisi legislasi (revisi UU Haji) maupun perbaikan manajemen pelaksanaan haji di lapangan, supaya pemerintah dapat benar-benar memberikan layanan yang terbaik bagi jemaah haji Indonesia,” tandasnya.
“Seharusnya rekomendasi Pansus hanya menyangkut perbaikan kebijakan atau regulasi penyelenggaraan haji serta tata kelolanya, bukan menyangkut orang yang mengisi jabatan tertentu,” terang Pakar Hukum Universita Gajah Mada (UGM), Oce Madril, di Yogyakarta, Selasa (1/10/2024).
Oce Madril menilai rekomendasi Pansus Angket Haji bermasalah dengan tiga alasan. Pertama, rekomendasi soal posisi Menteri Agama dalam pemerintahan mendatang bukanlah wewenang DPR. Menurut UUD 1945, pengisian jabatan menteri merupakan hak prerogatif Presiden. Dalam pengisian jabatan Menteri Agama, Presiden tidak dapat diintervensi sekalipun oleh Pansus.
“Rekomendasi Pansus tersebut offside, terlihat ada kepentingan pihak tertentu untuk mengincar kursi Menteri Agama mendatang dengan memanfaatkan hasil Pansus. Kesannya belum apa-apa, politisi yang tergabung dalam Pansus Haji sudah mencoba “mengancam” Presiden mendatang terkait posisi Menteri Agama RI,” tegas Oce Madril.
''Berikan keleluasaan pada Presiden mendatang, Pak Prabowo Subianto untuk menentukan Menteri Agama, tanpa diintervensi,” sambungnya.
Kedua, lanjut Oce Madril, seharusnya Pansus Haji fokus saja pada persoalan kebijakan, regulasi, dan tata kelola penyelenggaraan haji supaya lebih baik di masa mendatang. Misalnya, Pansus mendorong untuk melakukan legislative review atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah serta meningkatkan pengawasan di lapangan. “Tim DPR kan ikut awasi pelaksanaan haji di lapangan, seharusnya Tim DPR ini harus lebih efektif,” sebutnya.
Ketiga, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 berkaitan dengan pengujian konstitusionalitas hak angket dalam UU MD3, telah memberikan batasan hak angket, bahwa hasil hak angket harusnya berwujud rekomendasi dan evaluasi untuk perbaikan kebijakan di masa mendatang.
“Dengan demikian, maka hasil Pansus Haji harusnya mendorong perubahan dan perbaikan kebijakan penyelenggaraan haji, baik perbaikan dari sisi legislasi (revisi UU Haji) maupun perbaikan manajemen pelaksanaan haji di lapangan, supaya pemerintah dapat benar-benar memberikan layanan yang terbaik bagi jemaah haji Indonesia,” tandasnya.
(aww)