Menelusuri Strategi Komunikasi Politik Perindo Jelang Pilkada 2024
loading...
A
A
A
Mobilisasi Dukungan: Memanfaatkan Figur Lokal dan Media
Perindo memaksimalkan penggunaan teori Two-Step Flow (Lazarsfeld, 1944), di mana pesan politik disampaikan melalui tokoh-tokoh masyarakat atau opinion leader. Tokoh-tokoh lokal seperti Dominggus Mandacan dan I Gede Dana menjadi contoh bagaimana Perindo menggunakan pengaruh figur masyarakat untuk menjangkau pemilih dengan lebih efektif.
Tokoh-tokoh ini menjadi jembatan antara pesan partai dengan kepentingan lokal, memastikan bahwa pesan tersebut relevan dan sampai kepada target pemilih. Selain itu, Perindo memanfaatkan jaringan media MNC Group untuk memberikan eksposur lebih besar kepada kandidat yang mereka usung.
Dukungan media yang intens terhadap pencalonan Dominggus Mandacan, misalnya, menunjukkan bagaimana Perindo menggunakan platform media untuk menyebarluaskan agenda politik mereka secara luas.
Perbandingan dengan Strategi Partai Lain
Jika dibandingkan dengan partai lain seperti PDIP, yang mendukung figur nasional terkenal seperti Khofifah Indar Parawansa di Jawa Timur, Perindo lebih menonjolkan pendekatan kolaboratif dan lokal. PDIP menggunakan popularitas figur nasional untuk menarik dukungan pemilih dengan elektabilitas tinggi, sementara Perindo lebih memilih mendukung kandidat lokal yang memiliki koneksi kuat dengan masyarakat setempat.
Pendekatan ini memungkinkan Perindo lebih fleksibel dalam merespons kebutuhan dan keinginan pemilih di daerah. Sementara itu, partai seperti Partai Gerindra memiliki strategi yang berbeda dengan fokus yang lebih besar pada mobilisasi massa melalui kampanye langsung dan penggunaan figur sentral seperti Prabowo Subianto.
Gerindra cenderung lebih menonjolkan narasi yang terpusat pada tokoh nasional mereka, dengan pesan yang konsisten di seluruh wilayah, berbeda dengan pendekatan Perindo yang lebih mendekatkan diri pada kebutuhan masyarakat lokal.
Di sisi lain, Partai Nasdem lebih mengandalkan komunikasi digital dan media sosial untuk meraih simpati pemilih muda. Dengan strategi yang menargetkan pemilih milenial dan Gen Z, Nasdem menggunakan konten digital yang viral dan kampanye interaktif untuk menjangkau segmen pemilih yang lebih luas. Metode ini berbeda dengan Perindo yang lebih banyak memanfaatkan tokoh-tokoh lokal sebagai penghubung antara partai dan pemilih.
Pemilih Tidak Selalu Terjangkau oleh Media dan Dinamika di Lapangan
Meski Perindo memiliki kekuatan media yang cukup besar, mereka menghadapi beberapa tantangan dalam menjangkau pemilih, terutama di wilayah yang sulit dijangkau media. Teori Efek Minimal (Klapper, 1960) menunjukkan bahwa media sering tidak memiliki kekuatan penuh untuk mengubah sikap politik pemilih yang sudah memiliki preferensi.
Banyak pemilih mungkin tidak terpengaruh oleh pesan media dan lebih memilih untuk mendapatkan informasi melalui interaksi langsung dengan kandidat di lapangan. Selain itu, keterbatasan akses media di daerah terpencil seperti Papua dan Bali membuat pemilih lebih bergantung pada kampanye langsung dan interaksi tatap muka.
Dalam situasi ini, keterlibatan langsung kandidat lokal menjadi sangat penting dalam membangun koneksi yang lebih personal dengan masyarakat. Masalah lainnya adalah rendahnya loyalitas pemilih di beberapa daerah.
Perindo memaksimalkan penggunaan teori Two-Step Flow (Lazarsfeld, 1944), di mana pesan politik disampaikan melalui tokoh-tokoh masyarakat atau opinion leader. Tokoh-tokoh lokal seperti Dominggus Mandacan dan I Gede Dana menjadi contoh bagaimana Perindo menggunakan pengaruh figur masyarakat untuk menjangkau pemilih dengan lebih efektif.
Tokoh-tokoh ini menjadi jembatan antara pesan partai dengan kepentingan lokal, memastikan bahwa pesan tersebut relevan dan sampai kepada target pemilih. Selain itu, Perindo memanfaatkan jaringan media MNC Group untuk memberikan eksposur lebih besar kepada kandidat yang mereka usung.
Dukungan media yang intens terhadap pencalonan Dominggus Mandacan, misalnya, menunjukkan bagaimana Perindo menggunakan platform media untuk menyebarluaskan agenda politik mereka secara luas.
Perbandingan dengan Strategi Partai Lain
Jika dibandingkan dengan partai lain seperti PDIP, yang mendukung figur nasional terkenal seperti Khofifah Indar Parawansa di Jawa Timur, Perindo lebih menonjolkan pendekatan kolaboratif dan lokal. PDIP menggunakan popularitas figur nasional untuk menarik dukungan pemilih dengan elektabilitas tinggi, sementara Perindo lebih memilih mendukung kandidat lokal yang memiliki koneksi kuat dengan masyarakat setempat.
Pendekatan ini memungkinkan Perindo lebih fleksibel dalam merespons kebutuhan dan keinginan pemilih di daerah. Sementara itu, partai seperti Partai Gerindra memiliki strategi yang berbeda dengan fokus yang lebih besar pada mobilisasi massa melalui kampanye langsung dan penggunaan figur sentral seperti Prabowo Subianto.
Gerindra cenderung lebih menonjolkan narasi yang terpusat pada tokoh nasional mereka, dengan pesan yang konsisten di seluruh wilayah, berbeda dengan pendekatan Perindo yang lebih mendekatkan diri pada kebutuhan masyarakat lokal.
Di sisi lain, Partai Nasdem lebih mengandalkan komunikasi digital dan media sosial untuk meraih simpati pemilih muda. Dengan strategi yang menargetkan pemilih milenial dan Gen Z, Nasdem menggunakan konten digital yang viral dan kampanye interaktif untuk menjangkau segmen pemilih yang lebih luas. Metode ini berbeda dengan Perindo yang lebih banyak memanfaatkan tokoh-tokoh lokal sebagai penghubung antara partai dan pemilih.
Pemilih Tidak Selalu Terjangkau oleh Media dan Dinamika di Lapangan
Meski Perindo memiliki kekuatan media yang cukup besar, mereka menghadapi beberapa tantangan dalam menjangkau pemilih, terutama di wilayah yang sulit dijangkau media. Teori Efek Minimal (Klapper, 1960) menunjukkan bahwa media sering tidak memiliki kekuatan penuh untuk mengubah sikap politik pemilih yang sudah memiliki preferensi.
Banyak pemilih mungkin tidak terpengaruh oleh pesan media dan lebih memilih untuk mendapatkan informasi melalui interaksi langsung dengan kandidat di lapangan. Selain itu, keterbatasan akses media di daerah terpencil seperti Papua dan Bali membuat pemilih lebih bergantung pada kampanye langsung dan interaksi tatap muka.
Dalam situasi ini, keterlibatan langsung kandidat lokal menjadi sangat penting dalam membangun koneksi yang lebih personal dengan masyarakat. Masalah lainnya adalah rendahnya loyalitas pemilih di beberapa daerah.