Memaknai 75 Tahun Kemerdekaan Indonesia

Jum'at, 28 Agustus 2020 - 06:05 WIB
loading...
Memaknai 75 Tahun Kemerdekaan Indonesia
Adi Prayitno
A A A
Adi Prayitno
Dosen Ilmu Politik UIN Jakarta, Direktur Eksekutif Parameter Politik


PERINGATAN hari kemerdekaan kali ini berbeda. Agak sedikit sepi dan hampa. Nyaris tak terlihat hingar bingar seremonial perayaan atributif seperti biasanya. Tak ada lagi gemuruh lomba balap karung, makan kerupuk, sepeda hias, tarik tambang, dan lomba agustusan lain yang biasa dilakukan menyembut hari bersejarah bangsa. Semua tampak hening karena wabah korona.

Virus korona menghancurkan segalanya. Setumpuk rasa sedih di tengah kebahagiaan. Sedih karena tak bisa merayakan hari kemerdekaan sepenuh hati. Momen langka tahunan yang selalu dirayakan meriah. Bahagia karena bangsa ini sudah relatif berumur tanpa letupan berarti. Kemerdekaan yang direbut dengan cucuran darah dan isak tangis membawa sejuta nikmat.

Terlepas apa punya yang terjadi saat ini, sepatutnya bangsa ini bersyukur karena tak ada perang seperti negara konflik. Plurarisme bangsa nyatanya menjadi berkah. Bukan musibah yang menghancurkan sendi kehidupan. Inilah kekuatan Indonesia. Meski banyak perbedaan agama dan suku, namun tetap kuat bersatu. Tak berlebihan kiranya jika kemerdekaan bangsa disebut sebagai berkat rahmat Tuhan yang Maha Kuasa yang layak disyukuri.

Meski sempat terbelah karena urusan pilpres, nyatanya pembelahan itu sebatas gimmick politik di media sosial. Pada level implementatif justru terjadi sebaliknya. Saling berangkulan, bekerja sama, dan bahkan saling berbagi kekuasaan. Inilah potret Indonesia dewasa ini. Semua persoalan selesai dengan manuver ‘politik gotong royong’. Pada level tertentu konflik politik sebenarnya sangat semu, yanh nyata hanyalah bagi-bagi kekuasaan.

Meski ekonomi lesu, bangsa ini tetap solid. Kebaikan kolektif warga menjadi budaya politik yang bisa membendung krisis efek korona. Rakyat dan kelompok civil society berjibaku menyantuni pihak yang kehidupan ekonominya terdampak korona. Bangsa ini mesti berterima kasih kepada rakyat dan kelompok masyarakat sipil yang peduli terhadap persoalan bangsa. Inilah rasa nasionalisme yang nyata berwujud solidaritas sosial.

Ben Anderosn dalam maha karyanya Imagined Community menyebut nasionalisme sebagai konstruksi imajinasi politik anak bangsa. Sekalipun tak pernah bertemu muka, antaranak bangsa tersebar di seluruh penjuru Nusantara memiliki nilai kolektif yang dapat menjahit kehidupan bersama, yakni kesamaan nasib dan sepenanggungan sebagai bangsa terjajah oleh agresi kolonial.

Kemerdekaan Substantif
Kemerdekaan Indonesia mesti dimaknai lebih substantif. Bukan lagi artifisial, normatif, dan atributif. Ingar bingar perayaan kemerdekaan tetaplah penting sebagai ekspresi cinta tanah air. Kemerdekaan jangan pula sebatas kalimat retoris agitatif pemanis orasi kebangsaan, tapi kemerdekaan lebih hakiki menyangkut berbagai problem yang belum selesai.

Pertama, menghilangkan perasaan superior terhadap orang lain. Superioritas apa pun mulai dari agama, suku, budaya, dan cara bernegara yang menjadi biang kerok konflik batin anak bangsa. Klaim paling agamis dan menuding pihak lain kafir menjadi akar retaknya kerukunan beragama. Termasuk perasaan paling Pancasilais dan menunjuk yang lain tak Pancasilais juga berbahaya.

Bangsa ini besar. Tumbuh mekar di atas tembok kokoh bangunan semua agama dan faksi politik. Tak boleh ada yang merasa paling berjasa terhadap kemerdekaan. Setiap tetesan darah dan air mata merebut kemerdekaan sangat berharga. Karenanya, kemerdekaan milik bersama. Bukan milik secuil elite maupun kelompok tertentu.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1259 seconds (0.1#10.140)