Memaknai 75 Tahun Kemerdekaan Indonesia

Jum'at, 28 Agustus 2020 - 06:05 WIB
loading...
A A A
Kedua, mengakhiri ketegangan negara versus kelompok Islam tertentu. Terutama aktivis alumni 212. Meski Prabowo Subianto berkongsi satu kolam dengan penguasa, nyatanya ketegangan politik tak otomatis berakhir, malah makin mendekati titik kulminasi. Konfrontasi politik tak lagi bersumber pada rebutan kekuasaan. Tapi mengarah pada konflik ideologi politik negara dengan ideologi sebagian kelompok agama.

Keduanya saling menegasi. Ada kesan negara tak nyaman dengan narasi kelompok 212 yang kerap agresif menyerang secara verbal. Menuding pemerintah anti-Islam, kriminalisasi ulama, pro asing, memanjakan China, serta dituding dekat dengan kelompok pemuja komunis. Begitupun sebaliknya, kelompok Islam 212 kerap disebut "kadrun". Satu istilah yang merujuk pada keterbelakangan pemikiran dan budaya. Tidak kontekstual terhadap kebutuhan zaman. Jika dua poin ini bisa dikikis kemungkinan besar bangsa ini mudah memasuki gerbang kemerdekaan substanstif. Konteksnya tentu kemerdekaan yang direbut bersama oleh berbagai kepentingan. Perasaan superior dan ketegangan ideologi mestinya segera diakhiri. Tak perlu lagi berdebat warna kucing. Apa pun warnanya yang penting kucing bisa menangkap tikus. Untuk apa berebut warna ideologi, tapi persoalan rakyat tak pernah ada solusinya.

Implementasi Kemerdekaan
Kemerdekaan Indonesia kali ini harus diletakkan dalam konteks lebih implementatif, yakni kemerdekaan di tengah korona. Caranya fokus menangani kesehatan dan memacu pertumbuhan ekonomi. Tak mudah memang, tapi negara mesti ekstra memproteksi warga dari serangan wabah serta menyelamatkan ekonomi. Pemerintah punya segalanya dalam melakukan itu semua mulai dari dana hingga dukungan politik yang berlimpah.

Jumlah yang terpapar korona kian hari bertambah pesat. Tak ada yang tahu pasti kapan wabah akan landai dan berakhir. Pada level tertentu kondisi semacam ini sangat menyeramkan. Semua orang dipaksa bertarung sendiri menghadapi virus mematikan. Deteksi dini terhadap pihak terpapar korona belum maksimal. Bahkan akurasinya simpang siur dalam polemik.

Sementara itu, pada saat bersamaan rakyat dipaksa kembali hidup normal (new normal). Kembali beraktivitas dengan standar protokol kesehatan demi pemulihan ekonomi. Sebab, pada kwartal kedua tahun ini ekonomi minus 5%. Ke depan, sulit membayangkan pertumbuhan ekonomi dengan rasa optimistis. Kondisinya tak memungkinkan. Paling mungkin hanya bisa mengantisipasi Indonesia agar tak resesi pada kwartal ketiga, yakni menstimulasi rakyat dengan meningkatkan daya beli mereka.

Sinyal penyelamatan resesi ekonomi mulai terlihat. Misalnya soal rencana kucuran gaji ketiga belas PNS, membayar tunjangan pensiunan, serta memberikan suntikan bagi pekerja yang berpenghasilan di bawah Rp5 juta. Tiga upaya ini sebagai langkah membendung resesi. Rumus pertumbuhan ekonomi 50% lebih terletak pada peningkatkan daya beli rakyat. Minimal ekonomi tumbuh nol sekian persen. Langkah ini harus direalisasikan pemerintah.

Di luar itu, rakyat yang kesulitan hidup di tengah korona harus diprioritaskan. Bantuan sosial pemerintah wajib tepat sasaran dan menyeluruh. Jangan asal-asalan menggunakan data tak update. Rakyat butuh makan. Rakyat butuh kehadiran negara di tengah kesulitan ekonomi. Bukan lagi retorika.

Inilah hakikat kemerdekaan implementatif itu. Merdeka dari korona dan merdeka dari krisis ekonomi. Kata Jokowi, bangsa ini besar harus bisa membajak pandemi korona untuk melompat jauh ke depan. Tekad ini tinggal direalisasikan. Apa bisa pemerintah bekerja extraordinary memperbaiki keadaan di tengah wabah. Atau malah sebaliknya selalu mengutuk keadaan. Pada akhirnya, hanya waktu yang akan menjadi saksi segalanya. Merdeka!
(ras)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0806 seconds (0.1#10.140)