Dukungan Sosial: Akhiri Kasus Lansia Meninggal Dalam Kesendirian
loading...
A
A
A
Siti Napsiyah Ariefuzzaman
Dosen Prodi Kesejahteraan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
PADA pertengahan bulan Juli 2024, masyarakat mendapatkan berita tentang meninggalnya pasangan suami istri (pasutri) lansia , Hans Tomasoa (83) dan Rita Tomasoa (72) di Jonggol Kabupaten Bogor. Keduanya ditemukan warga dan polisi sudah dalam keadaan jasad membusuk. Dari penelusuran berita, polisi belum bisa menemukan penyebab meninggalnya pasangan lansia tersebut.
Kesaksian warga sebagaimana diwartakan oleh media, bahwa pasutri lansia tersebut tinggal hanya berdua. Tetangga tidak mengetahui keberadaan anak-anaknya. Yang mengurus keduanya selama ini menurut keterangan tetangga adalah jemaat gereja.
Meskipun ternyata menurut informasi, pasutri lansia ini memiliki tiga anak yang tinggal jauh dari mereka. Bahkan ketiga anaknya tersebut hingga kasus ditemukan orang tuanya wafat tidak ada satu pun yang datang.
Beberapa bulan berselang, diberitakan kasus pasutri lanjut usia berinisial BK (70) dan RB (65) ditemukan tewas di rumah mereka di Kompleks Metropolitan Cipondoh, Kota Tangerang. Kasus ini pertama kali terungkap pada Kamis (5/9/2024), ketika warga sekitar mendapati rumah pasutri tersebut terkunci dari dalam dan tidak ada aktivitas sejak akhir Agustus.
Setelah mendobrak pintu, warga menemukan kedua korban tewas di lokasi yang berbeda di dalam rumah. Jasad RB ditemukan di atas kasur, sedangkan jasad BK ditemukan tergeletak di ruang tamu dengan dua pisau di dekatnya.
Berdasarkan laporan ahli forensik, dimungkinkan terdapat tiga penyebab kematian pasangan lansia ini, yaitu bunuh diri bersama. Pembunuhan diikuti bunuh diri, atau pembunuhan dengan tujuan tertentu. Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel menyatakan bahwa jumlah luka yang tidak wajar tersebut dapat menjadi kunci pengungkapan kasus ini (2024).
Peristiwa tewasnya pasutri lansia tanpa didampingi keluarga mengundang berbagai tanggapan, dan komentar warganet yang mengarah pada anak-anak mereka. Mereka mengecam kepada anak-anak lansia mengapa tidak ada yang mengurus orang tuanya.
Tulisan ini membahas tentang bagaimana seharusnya dukungan sosial keluarga sebagai perawat utama bagi lansia? Bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menjaga warga lansia di lingkungannya agar tidak wafat dalam kesendirian? Dan bagaimana seharusnya pemerintah melakukan upaya perlindungan bagi kesejahteraan lansia?
Secara regulasi, Indonesia sudah menjamin kesejahteraan lansia melalui disahkannya Undang-undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Di jelaskan dalam UU ini bahwa lansia adalah individu yang telah mencapai usia 60 tahun atau lebih, memiliki ha katas pemenuhan kebutuhan dasar dan kesejahteraan sesuai dengan amanat undang-undang. UU ini menetapkan bahwa tanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan lansia dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan keluarga.
Pada umumnya lansia di Indonesia tinggal bersama keluarganya. Namun banyak pula yang tidak tinggal bersama keluarga, karena anaknya sudah hidup mandiri dan hidup terpisah. Keterpisahan ini akan berdampak pada masalah psikologis bagi orang tua (Gunarsa, 2004). Salah satunya, jika menimpa orangtua pasangan lansia adalah rasa kesepian, apalagi jika salah satu pasangan lansia tersebut meninggal. Kesepian, merupakan suatu keadaan mental dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain (Bruno, 2000).
Pada kesepian tersebut, individu akan merasa pasrah (desperation), tidak sabar dan bosan (impatient boredom), mengutuk diri sendiri (self-deprecation), dan depresi (depression). Keempat kondisi tersebut, jika melanda lansia yang mengalami kesepian akut bukan tidak mungkin akan mengalami mudah terserang penyakit, depresi, bunuh diri, bahkan kematian (Marini & Hayati, 2023).
Pada periode tiga bulan pertama tahun 2024, hampir 22.000 orang Jepang meninggal di rumah sendirian. Laporan terbaru Badan Kepolisian Nasional menyebut sekitar 80 persen dari mereka berusia 65 tahun atau lebih.
Studi yang dilakukan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tahun 2020 menyebutkan bahwa kerentanan lansia selain dari kondisi kesehatan dan kondisi sosial ekonomi, adalah juga kerentanan dari status tinggal lansia dan pola pengeluaran rumah tangganya. Dari status tinggalnya, lansia yang tinggal sendiri memiliki tingkat kerentanan lebih besar dibandingkan dengan lansia yang tinggal dengan anggota keluarga lainnya.
Osman (2012) menyebutkan bahwa seiring bertambahnya usia, cukup banyak lansia yang merasa sendiri, kehilangan kepercayaan diri, dan frustrasi. Oleh sebab itu, para lansia memerlukan sistem pendukung untuk mengurangi risiko kesehatan dan psikologis yang mereka hadapi.
Lebih lanjut, temuan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (2020) menunjukkan bahwa sebanyak 9,38 persen lansia tinggal sendiri. Adapun presentase paling besar adalah lansia yang tinggal dengan anak beserta cucunya sebanyak 40,64 persen. Jika dilihat dari tipe daerahnya, lansia yang hidup sendiri lebih banyak dijumpai di daerah pedesaan dengan proporsi sebesar 10,10 persen.
Menurutnya, masyarakat seharusnya tidak lagi melihat panti jompo sebagai tempat membuang orang tua oleh anak mereka. Karena di panti jompo, orang tua justru akan lebih terurus dan diperhatikan. Menurutnya, daripada anak-anak mereka sibuk atau tinggal berjauhan, sehingga tidak memungkinkan mengurus mereka, lebih baik orang tua “dititipkan” di panti.
Jika anak atau keluarga merasa malu karena budaya kita masih memandang jika menitipkan orangtua di panti sebagai Tindakan “durhaka” dan tidak pantas. Maka, Suprapto mengusulkan solusi lain. Yaitu agar anak/keluarga menggunakan jasa pengasuh atau perawat (caregiver) yang khusus mengurus dan menjaga orang tua mereka (Pro3 RRI, 21/7/2024).
Menurut Suprapto, kasus meninggalnya pasutri lansia yang tidak didampingi oleh anak dan keluarga disebabkan oleh kemungkinan penyebab mengapa mereka wafat dalam kesendirian. Pertama, kesibukan anak-anak dan perbedaan jarak tempat tinggal. Kedua, orang tua yang tidak ingin tinggal bersama anak dan lebih nyaman tinggal di rumah mereka sendiri.
Ketiga, komunikasi yang tidak baik dan lancar antara anak dan orang tua. Keempat, terjadi perselisihan antara orang tua dan anak yang membuat anak akhirnya tidak peduli dengan orang tuanya. Keempat hal tersebut mungkin yang menjadi penyebab kasus pasangan lansia di Bogor.
Berdasarkan keterangan tetangga yang sudah berkali-kali menghubungi anak-anaknya namun mereka tidak pernah mau datang ke rumah orang tuanya, bahkan konon pada saat orang tuanya meninggal tidak ada satupun anak-anaknya yang hadir sampai prosesi pemakaman.
Menurut Suprapto, panti jompo sudah menjadi solusi agar para lansia tetap merasa Bahagia dan terurus. Pihak keluarga dan anak-anak mereka masih dapat berkunjung secara rutin ke panti jompo. Apalagi di zaman sekarang yang teknologi komunikasi memberi kemudahan kepada keluarga dan pihak panti untuk saling memberi kabar tentang kondisi orang tuanya. Di panti jompo mereka bisa berkegiatan yang lebih produktif. Mereka bertemu dan hidup Bersama dengan teman yang seusia dengan mereka.
Selain payung hukum bagi perlindungan lansia, di Indonesia sudah memiliki program perlindungan sosial yang menjadikan kelompok lansia sebagai kelompok sasaran kebijakan dan program, baik di tingkat nasional maupun daerah. Seperti program Bantu lanjut Usia (Bantu LU) dan Program Keluarga Harapan (PKH) komponen lansia (meskipun cakupannya masih sangat terbatas) dan program bantuan sosial lainnya yang khusus menyasar kepada kelompok lansia.
Dua kasus meninggalnya pasutri lansia tersebut di atas menambah deretan pasangan suami istri lansia, Sukardjo (70) dan Surati (60), ditemukan tewas di rumahnya di dusun Sanggrahan, Desa Mungkid, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Awal Januari 2024, seorang lansia berusia 74 tahun juga ditemukan tewas di rumahnya di Jalan Singgalang, Kecamatan Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Ia tinggal seorang diri. Kematiannya baru diketahui ketika ada saudaranya yang berkunjung ke rumahnya. Karena dipanggil tidak menjawab, saudaranya menintip melalui jendela dan melihat korban sudah meninggal.
Di sinilah, terkait dengan kesehatan fisik, anak dan keluarga, serta pengasuh yang dipercaya (caregiver) dari lansia sebaiknya memahami berbagai masalah Kesehatan dan kemandirian yang menurun.
Tri Budi W Rahardjo, Guru Besar Gerontologi, menegaskan, lansia secara budaya harus tinggal bersama keluarga, dirawat oleh anak/keluarga. Ia berpendapat bahwa nilai tentang adat dan kewajiban bagi keluarga untuk merawat orang tuanya perlu ditanamkan melalui pendidikan formal dan informal.
Jika keadaan memaksa mereka harus tinggal sendiri tanpa ada anak di sampingnya, maka diharapkan yang harus berperan adalah sistem pendukung lainnya dari lingkungan sekitar, mulai dari tetangga, pengurus Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), keanggotaan perkumpulan atau organisasi keagamaan di lingkungan kompleks tempat tinggal. Mereka harus secara sukarela dalam memberikan dukungan sosial berupa perhatian, pendampingan, dan kesediaan untuk menghubungi pihak anak atau keluarga jika terjadi sesuatu.
Selain itu, bagi warga lansia produktif, didorong untuk tetap bergabung dalam kegiatan sosial. Seperti kegiatan keagamaan (pengajian, sholat berjamaah (bagi yang Muslim), dan sebagainya), akan sangat membantu lansia agar tidak terisolasi dari lingkungan sosialnya. Maka, jika ada lansia yang selama ini aktif berkegiatan sosial, tetapi suatu ketika tidak hadir akan segera dengan mudah untuk dicari mengapa, lansia tersebut harus dikunjungi. Selain itu, di masyarakat kita telah hadir pos pelayanan terpadu (posyandu) lansia dan bina keluarga lansia sebagai wadah untuk memantau kondisi lansia.
Meskipun layanan ini sebarannya belum merata di daerah maupun di wilayah pemukiman warga urban.
Edukasi, sosialisasi dan partisipasi warga sangat penting terus dilakukan. Ini penting, karena meskipun beberapa kali terjadi lansia ditemukan setelah meninggal berhari-hari, fenomena tersebut jarang menjadi pembahasan serius di masyarakat, bahkan di tingkat pemerintahan. Jangan ada lagi lansia yang ditemukan meninggal secara mengenaskan. Jangan ada lagi lansia ditemukan setelah beberapa hari dari waktu meninggal.
Penyadaran keluarga dan masyarakat, seperti bahwa sesibuk apapun anak/keluarga, tanggung jawab mengurus orang tua adalah hal utama dan tugas mulia. Jika tidak bisa secara langsung merawat orang tua, kita bisa mencari pengasuh/perawat pengganti (caregiver) bagi orang tua kita.
Selain itu, kehadiran posyandu dan posbindu di masyarakat perlu ditingkatkan perannya dalam hal memantau lansia terutama yang mempunyai risiko tertentu. Ketika anak/keluarga terdekat tidak hadir bagi lansianya, setidaknya ada pihak lain yang bisa hadir dan menolong mereka.
Pendataan dan pemetaan dari pemerintahan setempat, seperti di rumah mana saja yang di dalamnya terdapat warga lansia. Jika perlu, rumah tersebut diberi tanda khusus sehingga masyarakat sekitar tahu ada lansia di rumah tersebut. Gerakan ini penting dilakukan agar tidak ada lagi lansia yang ditemukan meninggal dalam kondisi tragis, dalam kesendirian, dan kesunyian. Sebagai manusia, mereka berhak mendapatkan penghormatan hingga akhir hayatnya.
Dosen Prodi Kesejahteraan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
PADA pertengahan bulan Juli 2024, masyarakat mendapatkan berita tentang meninggalnya pasangan suami istri (pasutri) lansia , Hans Tomasoa (83) dan Rita Tomasoa (72) di Jonggol Kabupaten Bogor. Keduanya ditemukan warga dan polisi sudah dalam keadaan jasad membusuk. Dari penelusuran berita, polisi belum bisa menemukan penyebab meninggalnya pasangan lansia tersebut.
Kesaksian warga sebagaimana diwartakan oleh media, bahwa pasutri lansia tersebut tinggal hanya berdua. Tetangga tidak mengetahui keberadaan anak-anaknya. Yang mengurus keduanya selama ini menurut keterangan tetangga adalah jemaat gereja.
Meskipun ternyata menurut informasi, pasutri lansia ini memiliki tiga anak yang tinggal jauh dari mereka. Bahkan ketiga anaknya tersebut hingga kasus ditemukan orang tuanya wafat tidak ada satu pun yang datang.
Beberapa bulan berselang, diberitakan kasus pasutri lanjut usia berinisial BK (70) dan RB (65) ditemukan tewas di rumah mereka di Kompleks Metropolitan Cipondoh, Kota Tangerang. Kasus ini pertama kali terungkap pada Kamis (5/9/2024), ketika warga sekitar mendapati rumah pasutri tersebut terkunci dari dalam dan tidak ada aktivitas sejak akhir Agustus.
Setelah mendobrak pintu, warga menemukan kedua korban tewas di lokasi yang berbeda di dalam rumah. Jasad RB ditemukan di atas kasur, sedangkan jasad BK ditemukan tergeletak di ruang tamu dengan dua pisau di dekatnya.
Berdasarkan laporan ahli forensik, dimungkinkan terdapat tiga penyebab kematian pasangan lansia ini, yaitu bunuh diri bersama. Pembunuhan diikuti bunuh diri, atau pembunuhan dengan tujuan tertentu. Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel menyatakan bahwa jumlah luka yang tidak wajar tersebut dapat menjadi kunci pengungkapan kasus ini (2024).
Peristiwa tewasnya pasutri lansia tanpa didampingi keluarga mengundang berbagai tanggapan, dan komentar warganet yang mengarah pada anak-anak mereka. Mereka mengecam kepada anak-anak lansia mengapa tidak ada yang mengurus orang tuanya.
Tulisan ini membahas tentang bagaimana seharusnya dukungan sosial keluarga sebagai perawat utama bagi lansia? Bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menjaga warga lansia di lingkungannya agar tidak wafat dalam kesendirian? Dan bagaimana seharusnya pemerintah melakukan upaya perlindungan bagi kesejahteraan lansia?
Lansia di Indonesia
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, persentase penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia sebesar 11,75 persen pada 2023. Angka ini naik 1,27 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2022) yaitu 10,48 persen. Berdasarkan jenis kelamin, terdapat 52,28 persen adalah lansia perempuan sedangkan laki-laki lansia adalah 47,72 persen (Dimas Bayu, 2024, dataindonesia.id).Secara regulasi, Indonesia sudah menjamin kesejahteraan lansia melalui disahkannya Undang-undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Di jelaskan dalam UU ini bahwa lansia adalah individu yang telah mencapai usia 60 tahun atau lebih, memiliki ha katas pemenuhan kebutuhan dasar dan kesejahteraan sesuai dengan amanat undang-undang. UU ini menetapkan bahwa tanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan lansia dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan keluarga.
Pada umumnya lansia di Indonesia tinggal bersama keluarganya. Namun banyak pula yang tidak tinggal bersama keluarga, karena anaknya sudah hidup mandiri dan hidup terpisah. Keterpisahan ini akan berdampak pada masalah psikologis bagi orang tua (Gunarsa, 2004). Salah satunya, jika menimpa orangtua pasangan lansia adalah rasa kesepian, apalagi jika salah satu pasangan lansia tersebut meninggal. Kesepian, merupakan suatu keadaan mental dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain (Bruno, 2000).
Pada kesepian tersebut, individu akan merasa pasrah (desperation), tidak sabar dan bosan (impatient boredom), mengutuk diri sendiri (self-deprecation), dan depresi (depression). Keempat kondisi tersebut, jika melanda lansia yang mengalami kesepian akut bukan tidak mungkin akan mengalami mudah terserang penyakit, depresi, bunuh diri, bahkan kematian (Marini & Hayati, 2023).
Lansia Meninggal Dalam Kesendirian
Kasus kematian lansia dan pasutri lansia tidak hanya terjadi di Indonesia, di Jepang, saat ini banyak lansia dihantui ketakutan akan meninggal dalam kesendirian (kodokushi). Diperkirakan, jumlah lansia di Jepang yang meninggal di dunia di rumah sendirian diperkirakan akan meningkat seiring bertambahnya populasi kelompok senior.Pada periode tiga bulan pertama tahun 2024, hampir 22.000 orang Jepang meninggal di rumah sendirian. Laporan terbaru Badan Kepolisian Nasional menyebut sekitar 80 persen dari mereka berusia 65 tahun atau lebih.
Studi yang dilakukan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tahun 2020 menyebutkan bahwa kerentanan lansia selain dari kondisi kesehatan dan kondisi sosial ekonomi, adalah juga kerentanan dari status tinggal lansia dan pola pengeluaran rumah tangganya. Dari status tinggalnya, lansia yang tinggal sendiri memiliki tingkat kerentanan lebih besar dibandingkan dengan lansia yang tinggal dengan anggota keluarga lainnya.
Osman (2012) menyebutkan bahwa seiring bertambahnya usia, cukup banyak lansia yang merasa sendiri, kehilangan kepercayaan diri, dan frustrasi. Oleh sebab itu, para lansia memerlukan sistem pendukung untuk mengurangi risiko kesehatan dan psikologis yang mereka hadapi.
Lebih lanjut, temuan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (2020) menunjukkan bahwa sebanyak 9,38 persen lansia tinggal sendiri. Adapun presentase paling besar adalah lansia yang tinggal dengan anak beserta cucunya sebanyak 40,64 persen. Jika dilihat dari tipe daerahnya, lansia yang hidup sendiri lebih banyak dijumpai di daerah pedesaan dengan proporsi sebesar 10,10 persen.
Panti Jompo, Alternatif atau Kebutuhan?
Soeprapto, Sosiolog Universitas Gajah Mada (UGM), memberi tanggapan terhadap respons masyarakat mengenai orang tua sebaiknya dititipkan di panti jompo. Pro kontra ini sudah lama sebenarnya muncul, Kembali mencuat setelah viral meninggalnya pasangan suami istri dalam waktu berdekatan baik yang terjadi di Tangerang maupun yang terjadi di Bogor, Jawa Barat.Menurutnya, masyarakat seharusnya tidak lagi melihat panti jompo sebagai tempat membuang orang tua oleh anak mereka. Karena di panti jompo, orang tua justru akan lebih terurus dan diperhatikan. Menurutnya, daripada anak-anak mereka sibuk atau tinggal berjauhan, sehingga tidak memungkinkan mengurus mereka, lebih baik orang tua “dititipkan” di panti.
Jika anak atau keluarga merasa malu karena budaya kita masih memandang jika menitipkan orangtua di panti sebagai Tindakan “durhaka” dan tidak pantas. Maka, Suprapto mengusulkan solusi lain. Yaitu agar anak/keluarga menggunakan jasa pengasuh atau perawat (caregiver) yang khusus mengurus dan menjaga orang tua mereka (Pro3 RRI, 21/7/2024).
Menurut Suprapto, kasus meninggalnya pasutri lansia yang tidak didampingi oleh anak dan keluarga disebabkan oleh kemungkinan penyebab mengapa mereka wafat dalam kesendirian. Pertama, kesibukan anak-anak dan perbedaan jarak tempat tinggal. Kedua, orang tua yang tidak ingin tinggal bersama anak dan lebih nyaman tinggal di rumah mereka sendiri.
Ketiga, komunikasi yang tidak baik dan lancar antara anak dan orang tua. Keempat, terjadi perselisihan antara orang tua dan anak yang membuat anak akhirnya tidak peduli dengan orang tuanya. Keempat hal tersebut mungkin yang menjadi penyebab kasus pasangan lansia di Bogor.
Berdasarkan keterangan tetangga yang sudah berkali-kali menghubungi anak-anaknya namun mereka tidak pernah mau datang ke rumah orang tuanya, bahkan konon pada saat orang tuanya meninggal tidak ada satupun anak-anaknya yang hadir sampai prosesi pemakaman.
Menurut Suprapto, panti jompo sudah menjadi solusi agar para lansia tetap merasa Bahagia dan terurus. Pihak keluarga dan anak-anak mereka masih dapat berkunjung secara rutin ke panti jompo. Apalagi di zaman sekarang yang teknologi komunikasi memberi kemudahan kepada keluarga dan pihak panti untuk saling memberi kabar tentang kondisi orang tuanya. Di panti jompo mereka bisa berkegiatan yang lebih produktif. Mereka bertemu dan hidup Bersama dengan teman yang seusia dengan mereka.
Dukungan Sosial Keluarga, Masyarakat, dan Negara
Kasus lansia, pasutri lansia yang meninggal dalam kesendirian dan kesunyian sudah beberapa kali terjadi di masyarakat kita. Padahal Indonesia, sejak dahulu sangat terkenal dengan budaya saling menjaga antar keluarga. Seharusnya ini dapat dijadikan sebagai dasar dukungan dan kepedulian sosial semua pihak terhadap warga lansia. Dukungan keluarga, dukungan masyarakat, dan pemerintah sudah menjadi niscaya. Ini adalah masalah sosial yang membutuhkan penyelesaian masalah.Selain payung hukum bagi perlindungan lansia, di Indonesia sudah memiliki program perlindungan sosial yang menjadikan kelompok lansia sebagai kelompok sasaran kebijakan dan program, baik di tingkat nasional maupun daerah. Seperti program Bantu lanjut Usia (Bantu LU) dan Program Keluarga Harapan (PKH) komponen lansia (meskipun cakupannya masih sangat terbatas) dan program bantuan sosial lainnya yang khusus menyasar kepada kelompok lansia.
Dua kasus meninggalnya pasutri lansia tersebut di atas menambah deretan pasangan suami istri lansia, Sukardjo (70) dan Surati (60), ditemukan tewas di rumahnya di dusun Sanggrahan, Desa Mungkid, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Awal Januari 2024, seorang lansia berusia 74 tahun juga ditemukan tewas di rumahnya di Jalan Singgalang, Kecamatan Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Ia tinggal seorang diri. Kematiannya baru diketahui ketika ada saudaranya yang berkunjung ke rumahnya. Karena dipanggil tidak menjawab, saudaranya menintip melalui jendela dan melihat korban sudah meninggal.
Di sinilah, terkait dengan kesehatan fisik, anak dan keluarga, serta pengasuh yang dipercaya (caregiver) dari lansia sebaiknya memahami berbagai masalah Kesehatan dan kemandirian yang menurun.
Tri Budi W Rahardjo, Guru Besar Gerontologi, menegaskan, lansia secara budaya harus tinggal bersama keluarga, dirawat oleh anak/keluarga. Ia berpendapat bahwa nilai tentang adat dan kewajiban bagi keluarga untuk merawat orang tuanya perlu ditanamkan melalui pendidikan formal dan informal.
Jika keadaan memaksa mereka harus tinggal sendiri tanpa ada anak di sampingnya, maka diharapkan yang harus berperan adalah sistem pendukung lainnya dari lingkungan sekitar, mulai dari tetangga, pengurus Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), keanggotaan perkumpulan atau organisasi keagamaan di lingkungan kompleks tempat tinggal. Mereka harus secara sukarela dalam memberikan dukungan sosial berupa perhatian, pendampingan, dan kesediaan untuk menghubungi pihak anak atau keluarga jika terjadi sesuatu.
Selain itu, bagi warga lansia produktif, didorong untuk tetap bergabung dalam kegiatan sosial. Seperti kegiatan keagamaan (pengajian, sholat berjamaah (bagi yang Muslim), dan sebagainya), akan sangat membantu lansia agar tidak terisolasi dari lingkungan sosialnya. Maka, jika ada lansia yang selama ini aktif berkegiatan sosial, tetapi suatu ketika tidak hadir akan segera dengan mudah untuk dicari mengapa, lansia tersebut harus dikunjungi. Selain itu, di masyarakat kita telah hadir pos pelayanan terpadu (posyandu) lansia dan bina keluarga lansia sebagai wadah untuk memantau kondisi lansia.
Meskipun layanan ini sebarannya belum merata di daerah maupun di wilayah pemukiman warga urban.
Edukasi, sosialisasi dan partisipasi warga sangat penting terus dilakukan. Ini penting, karena meskipun beberapa kali terjadi lansia ditemukan setelah meninggal berhari-hari, fenomena tersebut jarang menjadi pembahasan serius di masyarakat, bahkan di tingkat pemerintahan. Jangan ada lagi lansia yang ditemukan meninggal secara mengenaskan. Jangan ada lagi lansia ditemukan setelah beberapa hari dari waktu meninggal.
Penyadaran keluarga dan masyarakat, seperti bahwa sesibuk apapun anak/keluarga, tanggung jawab mengurus orang tua adalah hal utama dan tugas mulia. Jika tidak bisa secara langsung merawat orang tua, kita bisa mencari pengasuh/perawat pengganti (caregiver) bagi orang tua kita.
Selain itu, kehadiran posyandu dan posbindu di masyarakat perlu ditingkatkan perannya dalam hal memantau lansia terutama yang mempunyai risiko tertentu. Ketika anak/keluarga terdekat tidak hadir bagi lansianya, setidaknya ada pihak lain yang bisa hadir dan menolong mereka.
Pendataan dan pemetaan dari pemerintahan setempat, seperti di rumah mana saja yang di dalamnya terdapat warga lansia. Jika perlu, rumah tersebut diberi tanda khusus sehingga masyarakat sekitar tahu ada lansia di rumah tersebut. Gerakan ini penting dilakukan agar tidak ada lagi lansia yang ditemukan meninggal dalam kondisi tragis, dalam kesendirian, dan kesunyian. Sebagai manusia, mereka berhak mendapatkan penghormatan hingga akhir hayatnya.
(jon)