Indonesia Hadapi Tantangan Serius Terkait Moralitas Penyelanggara Negara
loading...
A
A
A
Dalam konteks penegakan hukum, Chandra menekankan pentingnya keadilan yang mengakomodasi tiga tujuan utama hokum yakni, keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Sayangnya, proses pembuatan undang-undang seringkali tidak mencerminkan tujuan yang mulia.
Selain itu, faktor penegak hukum, sarana, fasilitas, dan kebudayaan juga perlu diperhatikan untuk memastikan penegakan hukum berjalan dengan baik. Chandra juga menggarisbawahi pentingnya integritas bagi para pemimpin dan penyelenggara negara. "Seorang pemimpin harus memiliki keselarasan antara kata dan perbuatan, bukan kemunafikan," ujar Chandra.
Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Tamrin Amal Tomagola mengatakan, kerapuhan etika dan agama di kalangan penyelenggara negara maupun masyarakat Indonesia bersumber pada kerapuhan karakter.
Menurut Tamrin, akar masalah kebobrokan negara ada di dalam masyarakat itu sendiri. "Kalau masyarakatnya bobrok, negaranya juga bobrok, karena masyarakat adalah pabrik dari aktivitas kehidupan," tegasnya.
Tamrin mengidentifikasi salah satu sumbernya adalah pola asuh yang permisif dalam masyarakat. Tamrin mengeritik pola asuh yang cenderung membiarkan kesalahan anak-anak tanpa konsekuensi yang jelas, sehingga tidak membentuk karakter tanggung jawab.
”Tanggung jawab, adalah inti dari semua karakter mulia. Dalam masyarakat Barat, pola asuh yang lebih disiplin membentuk individu yang bertanggung jawab dan mandiri, sementara di Indonesia, yang muncul adalah individu egois yang mengutamakan kepentingan sendiri,” katanya.
Pakar filsafat STF Driyarkara Budhy Munawar Rachman melihat masalah etika penyelenggara negara melalui pendekatan filosofis antara Machiavellianisme dan demokrasi. Machiavellianisme, kata Budhy, mengajarkan penguasa untuk mengutamakan efektivitas dan pragmatisme dalam mencapai dan mempertahankan kekuasaan, seringkali dengan mengabaikan prinsip moral. Budhy mengkhawatirkan bahwa kecenderungan Machiavellianisme ini semakin terlihat dalam praktik politik di Indonesia.
Budhy mencatat delapan indikator penyelenggaraan negara yang cenderung ke arah Machiavellianisme, antara lain korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, diskriminasi terhadap masyarakat adat, krisis moralitas di kalangan pejabat, dan rendahnya tanggung jawab serta amanah dalam pemerintahan.
Budhy juga mempertanyakan relevansi agama dalam mencegah Machiavellianisme, mengingat agama seringkali digunakan sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan. “Machiavellianisme cenderung menggoda, karena kekuasaan itu cenderung korup," kata Budhy.
Namun, Budhy tetap percaya bahwa agama masih mampu memberikan pengaruh moral yang kuat, asalkan nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan dapat diterapkan dengan cara yang universal dan tanpa politisasi.
Selain itu, faktor penegak hukum, sarana, fasilitas, dan kebudayaan juga perlu diperhatikan untuk memastikan penegakan hukum berjalan dengan baik. Chandra juga menggarisbawahi pentingnya integritas bagi para pemimpin dan penyelenggara negara. "Seorang pemimpin harus memiliki keselarasan antara kata dan perbuatan, bukan kemunafikan," ujar Chandra.
Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Tamrin Amal Tomagola mengatakan, kerapuhan etika dan agama di kalangan penyelenggara negara maupun masyarakat Indonesia bersumber pada kerapuhan karakter.
Menurut Tamrin, akar masalah kebobrokan negara ada di dalam masyarakat itu sendiri. "Kalau masyarakatnya bobrok, negaranya juga bobrok, karena masyarakat adalah pabrik dari aktivitas kehidupan," tegasnya.
Tamrin mengidentifikasi salah satu sumbernya adalah pola asuh yang permisif dalam masyarakat. Tamrin mengeritik pola asuh yang cenderung membiarkan kesalahan anak-anak tanpa konsekuensi yang jelas, sehingga tidak membentuk karakter tanggung jawab.
”Tanggung jawab, adalah inti dari semua karakter mulia. Dalam masyarakat Barat, pola asuh yang lebih disiplin membentuk individu yang bertanggung jawab dan mandiri, sementara di Indonesia, yang muncul adalah individu egois yang mengutamakan kepentingan sendiri,” katanya.
Pakar filsafat STF Driyarkara Budhy Munawar Rachman melihat masalah etika penyelenggara negara melalui pendekatan filosofis antara Machiavellianisme dan demokrasi. Machiavellianisme, kata Budhy, mengajarkan penguasa untuk mengutamakan efektivitas dan pragmatisme dalam mencapai dan mempertahankan kekuasaan, seringkali dengan mengabaikan prinsip moral. Budhy mengkhawatirkan bahwa kecenderungan Machiavellianisme ini semakin terlihat dalam praktik politik di Indonesia.
Budhy mencatat delapan indikator penyelenggaraan negara yang cenderung ke arah Machiavellianisme, antara lain korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, diskriminasi terhadap masyarakat adat, krisis moralitas di kalangan pejabat, dan rendahnya tanggung jawab serta amanah dalam pemerintahan.
Budhy juga mempertanyakan relevansi agama dalam mencegah Machiavellianisme, mengingat agama seringkali digunakan sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan. “Machiavellianisme cenderung menggoda, karena kekuasaan itu cenderung korup," kata Budhy.
Namun, Budhy tetap percaya bahwa agama masih mampu memberikan pengaruh moral yang kuat, asalkan nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan dapat diterapkan dengan cara yang universal dan tanpa politisasi.