Deddy Sitorus Minta Dalang Upaya Sabotase PDIP Berpikir Panjang: Tidak Usah Cari Masalah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua DPP PDIP Deddy Sitorus merespons adanya gugatan terkait Surat Keputusan (SK) Perpanjangangan Kepengurusan PDIP ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ia menilai gugatan ini merupakan upaya penyerangan terhadap PDIP.
"Kami menganggapnya sebagai sebuah langkah politik yang keterlaluan, ini bukan upaya hukum murni. Tidak ada kerugian apa pun, baik moril maupun materil bagi penggugat. Gugatan ini lebih kelihatan sebagai upaya "penyerangan" terhadap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)," kata Deddy dalam keterangannya, Selasa (10/9/2024).
Anehnya lagi, tambah Deddy, beberapa pengacara di balik penggugat menurut informasi yang diterimanya terafiliasi dengan partai politik tertentu. Deddy menilai gugatan ini sangatlah politis.
"Beberapa pengacara penggugatnya, menurut informasi terlihat berafiliasi dengan satu partai tertentu. Jadi menurut saya, aroma politiknya sangat terasa," katanya.
Anggota DPR RI itu menegaskan bahwa proses perpanjangan kepengurusan sudah dikaji mendalami terhadap aturan dan konstitusi partai. Bahkan, proses itu sudah dikaji dan dibahas di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Deddy juga menilai logika dari penggugat tidak bisa diikuti. Bahkan menurutnya, jika logika pengugat diikuti akan menimbulkan konsekuensi hukum yang sangat besar. "Kalau logika mereka para penggugat ini diikuti, maka seluruh produk dan konsekuensi hukumnya sangat besar," tegas dia.
Misalnya saja, pada tahun 2018 PDIP mempercepat Kongres dan menyesuaikan mekanisme penyusunan pengurus di daerah dan provinsi untuk menyesuaikan agenda politik nasional.
Menurut Deddy, jika memakai logika penggugat, maka SK PDIP saat itu tidak sah. Termasuk keputusan DPP yang memberikan SK kepada Gibran Rakabuming Raka untuk maju pada Pilkada Wali Kota Surakarta.
"Kalau keputusan DPP saat itu cacat hukum, jadi Gibran adalah produk cacat hukum. Artinya dia harus dianulir sebagai cawapres terpilih di 2024. Karena untuk menjadi Cawapres, dia harus memenuhi kriteria pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah,” ungkap dia.
"Kami menganggapnya sebagai sebuah langkah politik yang keterlaluan, ini bukan upaya hukum murni. Tidak ada kerugian apa pun, baik moril maupun materil bagi penggugat. Gugatan ini lebih kelihatan sebagai upaya "penyerangan" terhadap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)," kata Deddy dalam keterangannya, Selasa (10/9/2024).
Anehnya lagi, tambah Deddy, beberapa pengacara di balik penggugat menurut informasi yang diterimanya terafiliasi dengan partai politik tertentu. Deddy menilai gugatan ini sangatlah politis.
"Beberapa pengacara penggugatnya, menurut informasi terlihat berafiliasi dengan satu partai tertentu. Jadi menurut saya, aroma politiknya sangat terasa," katanya.
Anggota DPR RI itu menegaskan bahwa proses perpanjangan kepengurusan sudah dikaji mendalami terhadap aturan dan konstitusi partai. Bahkan, proses itu sudah dikaji dan dibahas di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Deddy juga menilai logika dari penggugat tidak bisa diikuti. Bahkan menurutnya, jika logika pengugat diikuti akan menimbulkan konsekuensi hukum yang sangat besar. "Kalau logika mereka para penggugat ini diikuti, maka seluruh produk dan konsekuensi hukumnya sangat besar," tegas dia.
Misalnya saja, pada tahun 2018 PDIP mempercepat Kongres dan menyesuaikan mekanisme penyusunan pengurus di daerah dan provinsi untuk menyesuaikan agenda politik nasional.
Menurut Deddy, jika memakai logika penggugat, maka SK PDIP saat itu tidak sah. Termasuk keputusan DPP yang memberikan SK kepada Gibran Rakabuming Raka untuk maju pada Pilkada Wali Kota Surakarta.
"Kalau keputusan DPP saat itu cacat hukum, jadi Gibran adalah produk cacat hukum. Artinya dia harus dianulir sebagai cawapres terpilih di 2024. Karena untuk menjadi Cawapres, dia harus memenuhi kriteria pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah,” ungkap dia.