Ini Celah Waktu Rawan yang Kerap Dimanfaatkan Terpidana untuk Kabur

Rabu, 26 Agustus 2020 - 17:55 WIB
loading...
Ini Celah Waktu Rawan...
Napi buron. ilustrasi: SINDOnews
A A A
JAKARTA - Bak bola salju kasus pelarian Djoko Tjandra terus bergulir dan kian membesar. Setelah menggulung seorang jaksa di Kejaksaan Agung dan tiga jenderal dari Mabes Polri, kini perkara itu mulai menyenggol keterlibatan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Orang nomor satu di Lembaga penuntut umum itu ditengarai mengetahui keberangkatan jaksa Pinangki Sirna Malasari yang berulang kali terbang ke Singapura menemui buronan kasus cessie (hak tagih) Bank Bali Djoko Tjandra di Singapura.

Seberapa jauh kebenaran info itu tentu urusan yang berwajib untuk mengurainya. Terlepas dari itu, ada yang cukup menarik dari pemeriksaan terhadap mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar, Kamis pekan lalu (20/8). Ia diperiksa Bareskrim Polri terkait perannya sebagai penyidik dan jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali tahun 1999.

Antasari menangani kasus saat menjadi jaksa di Kejaksaan Agung pada 1998 sampai 2001. Setelah itu ia dipindahtugaskan hingga terpilih menjadi ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Selanjutnya tidak menangani lagi karena pindah sebagai Aspidum DKI dan Wakajati Riau,” ucapnya kepada wartawan.

Pemeriksaan terhadap Antasari memang perlu. Sebagai JPU tentu ia bertanggung jawab atas nasib si terdakwa hingga putusan hukum berkekuatan tetap. Mahkamah Agung (MA), baik saat memutuskan Kasasi maupun Peninjauan Kembali akan menyerahkan berkas putusan kepada yang bersangkutan.

Masalahnya putusan PK yang menjatuhkan hukuman dua tahun penjara bagi Djoko Tjandra baru turun tahun 2008.Putusan ini menganulir putusan kasasi MA tanggal 28 Agustus 2000 yang membebaskan pemilik konglomerasi di bawah bendera Grup Mulia itu.

Singkat kata, pemeriksaan Antasari oleh Bareskrim Polri salah alamat. Yang harus ditanyai adalah jaksa yang ditunjuk sebagai pengganti Antasari dalam menangani perkara Djoko. Nah, boleh jadi celah itulah yang dimanfaatkan oleh orang-orang seperti Pinangki untuk memanfaatkan perkara Djoko Tjandra sebagai ladang emas.

Terlepas dari itu, Antasari sendiri punya pengalaman “kecolongan” mengeksekusi seorang terpidana. Tak tanggung-tanggung, yang menjadi tanggung jawabnya saat itu adalah Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, putra kesayangan penguasa Orde Baru, Soeharto.

Begini ceritanya. Saat ia menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tahun 2000-2007, dia gagal mengeksekusi Tommy Soeharto yang telah diputus MA dalam kasus korupsi tukar guling (ruislag) Gudang Bulog untuk pembangunan pusat perbelanjaan Goro.

Kegagalan Antasari mengeksekusi Tommy berawal dari penolakan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 2 November 2000 atas grasi yang diajukan Tommy.

Antasari lantas meminta Tommy datang ke Kejari Jaksel, namun yang diundang tak kunjung tiba. Buntutnya, ia sempat diperkarakan sendiri oleh korpsnya. Ia dituduh melakukan kesalahan prosedur eksekusi. Ia pun ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri.

Antasari pun sempat menjalani pemeriksaaan. Namun, kelanjutan perkaranya bak raib ditelan bumi.

Kecurigaan terhadap Antasasri meruyak lantaran Tommy kabur satu hari setelah penolakan grasi oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada 2 November 2000. Nah, dalam hal ini yang menerima surat penolakan grasi dari MA tentu saja pihak Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, institusi yang dipimpin Antasari.

Toh keterlibatan Antasasi masih bisa diperdebatkan. Tak tertutup kemungkinan info penolakan grasi Tommy itu dibocorkan oleh panitera MA. Sayang tak pernah terdengar ada kabar lanjutan dari skandal pembocoran informasi bagi terpidana Tommy Soeharto itu.

Selanjutnya dalam pelariannya Tommy melampiaskan dendam terhadap Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita yang menghukumnya 1,5 tahun penjara dan denda Rp30,6 miliar. Syafiuddin tewas ditembak oleh orang suruhan Tommy.

Belakangan, setelah Tommy teratngkap, dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.

Celah waktu setelah putusan diketuk hakim itu pula yang dimanfaatkan oleh Sujiono Timan. Terpidana kasus korupsi PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia yang merugikan negara Rp369 miliar ini lolos dari tangan aparat selisih empat hari setelah MA menjatuhi hukuman 15 tahun penjara pada 3 Desember 2004.

Saat petugas kejaksaan mendatangi rumahnya untuk mengeksekusi, Sujiono sudah raib. Ia tidak ada saat disambangi di dua alamat rumahnya, Jalan Diponegoro 46 Jakarta dan Jalan Prapanca No 3/P.1 Jakarta.

Sekali lagi, dari mana Sujiono Timan mendapat informasi tentang putusan hukum untuk dirinya tentu bisa berasal dari dua sumber: panitera (MA) atau oknum jaksa.

Dari persembunyiannnya Sujiono sempat melayangkan permohonan PK. Dan ironisnya, pada 13 Juli 2013 MA mengabulkan permohonan itu.
(rza)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1984 seconds (0.1#10.140)