Rekan Seangkatan dr Aulia Ngaku Tak Ada Pungutan Rp40 Juta di PPDS Undip
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia, M Nasser menanggapi pernyataan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang menyatakan ada dugaan pungutan Rp40 juta terhadap mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip), Dokter Aulia Risma Lestari . Aulia Risma ditemukan meninggal dunia diduga bunuh diri pada Senin (12/8/2024)
Menurut Nasser, pernyataan Kemenkes itu bagian dari kebohongan yang selama ini diungkap ke publik. Mantan anggota Kompolnas itu mengatakan kebohongan pertama yang disampaikan ke publik soal dugaan bunuh diri yang dipicu oleh perundungan atau bullying. Hal tersebut tertuang dalam surat yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan (Ditjen Yankes) Kementerian Kesehatan bernomor TK.02.02/D/44137/2024 tentang Penghentian Sementara Program Studi Anestesi Undip Semarang di RS Kariadi Semarang.
Dalam surat tersebut dijelaskan alasan penghentian sementara Prodi Anestesi karena adanya dugaan perundungan yang memicu bunuh diri dari dr Aulia Risma Lestari. Padahal, kata Nasser, kepolisian masih mendalami dugaan bunuh diri yang dilakukan oleh korban. Polrestabes Semarang juga belum menyimpulkan korban bunuh diri gegara aksi perundungan.
"Sampai hari ini saksi masih diperiksa. Tidak ditemukan alat bukti akibat bully, anak ini (korban) bunuh diri," kata Nasser dalam jumpa pers secara daring bersama Kolaborasi Anti-Korupsi yang terdiri dari LBH Undip, Badan Pembelaan Anggota Ikatan Dokter Indonesia, serta Komite Solidaritas Profesi dan Satuan Anti Kebohongan, Senin (2/9/2024).
Nasser menyinggung surat atau buku harian yang ditulis oleh korban. Tulisan korban itu kemudian disimpulkan sebagai indikasi korban bunuh diri akibat bullying.
"Jadi, itu sungguh tidak benar. Setelah kebohongan itu terungkap, diungkap media dan sarasehan bahwa tidak ada pembunuhan. Pembunuhan itu harus ada sebab akibat," ujar Nasser.
Dia menyinggung pernyataan Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril soal adanya pungutan sebesar Rp40 juta terhadap korban dari oknum senior.Menurutnya, pernyataan dari Kemenkes sebagai sebuah kebohongan. Hal itu dikuatkan juga oleh keterangan dr Firda, salah satu teman seangkatan Aulia Risma Lestari yang hadir dalam jumpa pers daring tersebut.
"Tidak benar adanya pemalakan atau pemungutan dari senior," kata Firda.
Menurut Nasser, hal sebenarnya yang terjadi adalah kolektif uang untuk satu angkatan PPDS yang diberikan oleh semua peserta didik. "Nominalnya juga sesuai kesepakatan satu angkatan. Tidak ada patokan harga untuk kumpulan (patungan) satu angkatan itu per bulannya," katanya.
Firda menyebut dalam satu angkatan, total ada 11 mahasiswa-mahasiswi, termasuk korban. Adapun pungutan uang itu digunakan untuk operasional angkatan dan biaya makan malam ketika bertugas. Dia mengatakan dari rumah sakit hanya mendapat jatah makan siang, sehingga untuk makan malam para mahasiswa harus membeli sendiri.
Firda juga membantah soal pernyataan pungutan sebesar Rp40 juta tersebut. Dia mengatakan uang yang dikumpulkan dari pungutan hanya sekitar Rp15 juta-Rp20 juta dalam sebulan dan dipakai untuk operasional. Pengumpulan uang itu juga hanya dilakukan oleh angkatan pertama. Selepas itu, tidak ada lagi pungutan uang.
Hal itu juga dibenarkan oleh dr Angga, salah satu mahasiswa PPDS Undip yang lebih senior. "Saya pastikan selama menjalani pendidikan tidak ada pemalakan dari pihak mana pun. Sehingga dalam jumlah berapa pun tidak dibenarkan dan tidak terjadi," ujarnya.
Angga menuturkan mahasiswa semester satu hanya diminta pungutan sebesar Rp10 juta per orang untuk operasional angkatan selama satu semester."Itu juga bisa dicicil tidak harus cash (tunai). Saya cicil sebanyak empat kali," katanya.
Sementara Nasser mengatakan pihaknya yang menamakan diri Kolaborasi Anti Kebohongan itu berencana untuk membuat laporan polisi di Bareskrim Polri atas kebohongan yang sudah disampaikan ke publik. "Kami sedang merundingkan melakukan upaya hukum melaporkan ke Bareskrim, pencemaran nama baik dan fitnah," katanya.
Menurut Nasser, pernyataan Kemenkes itu bagian dari kebohongan yang selama ini diungkap ke publik. Mantan anggota Kompolnas itu mengatakan kebohongan pertama yang disampaikan ke publik soal dugaan bunuh diri yang dipicu oleh perundungan atau bullying. Hal tersebut tertuang dalam surat yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan (Ditjen Yankes) Kementerian Kesehatan bernomor TK.02.02/D/44137/2024 tentang Penghentian Sementara Program Studi Anestesi Undip Semarang di RS Kariadi Semarang.
Dalam surat tersebut dijelaskan alasan penghentian sementara Prodi Anestesi karena adanya dugaan perundungan yang memicu bunuh diri dari dr Aulia Risma Lestari. Padahal, kata Nasser, kepolisian masih mendalami dugaan bunuh diri yang dilakukan oleh korban. Polrestabes Semarang juga belum menyimpulkan korban bunuh diri gegara aksi perundungan.
"Sampai hari ini saksi masih diperiksa. Tidak ditemukan alat bukti akibat bully, anak ini (korban) bunuh diri," kata Nasser dalam jumpa pers secara daring bersama Kolaborasi Anti-Korupsi yang terdiri dari LBH Undip, Badan Pembelaan Anggota Ikatan Dokter Indonesia, serta Komite Solidaritas Profesi dan Satuan Anti Kebohongan, Senin (2/9/2024).
Nasser menyinggung surat atau buku harian yang ditulis oleh korban. Tulisan korban itu kemudian disimpulkan sebagai indikasi korban bunuh diri akibat bullying.
"Jadi, itu sungguh tidak benar. Setelah kebohongan itu terungkap, diungkap media dan sarasehan bahwa tidak ada pembunuhan. Pembunuhan itu harus ada sebab akibat," ujar Nasser.
Dia menyinggung pernyataan Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril soal adanya pungutan sebesar Rp40 juta terhadap korban dari oknum senior.Menurutnya, pernyataan dari Kemenkes sebagai sebuah kebohongan. Hal itu dikuatkan juga oleh keterangan dr Firda, salah satu teman seangkatan Aulia Risma Lestari yang hadir dalam jumpa pers daring tersebut.
"Tidak benar adanya pemalakan atau pemungutan dari senior," kata Firda.
Menurut Nasser, hal sebenarnya yang terjadi adalah kolektif uang untuk satu angkatan PPDS yang diberikan oleh semua peserta didik. "Nominalnya juga sesuai kesepakatan satu angkatan. Tidak ada patokan harga untuk kumpulan (patungan) satu angkatan itu per bulannya," katanya.
Firda menyebut dalam satu angkatan, total ada 11 mahasiswa-mahasiswi, termasuk korban. Adapun pungutan uang itu digunakan untuk operasional angkatan dan biaya makan malam ketika bertugas. Dia mengatakan dari rumah sakit hanya mendapat jatah makan siang, sehingga untuk makan malam para mahasiswa harus membeli sendiri.
Firda juga membantah soal pernyataan pungutan sebesar Rp40 juta tersebut. Dia mengatakan uang yang dikumpulkan dari pungutan hanya sekitar Rp15 juta-Rp20 juta dalam sebulan dan dipakai untuk operasional. Pengumpulan uang itu juga hanya dilakukan oleh angkatan pertama. Selepas itu, tidak ada lagi pungutan uang.
Hal itu juga dibenarkan oleh dr Angga, salah satu mahasiswa PPDS Undip yang lebih senior. "Saya pastikan selama menjalani pendidikan tidak ada pemalakan dari pihak mana pun. Sehingga dalam jumlah berapa pun tidak dibenarkan dan tidak terjadi," ujarnya.
Angga menuturkan mahasiswa semester satu hanya diminta pungutan sebesar Rp10 juta per orang untuk operasional angkatan selama satu semester."Itu juga bisa dicicil tidak harus cash (tunai). Saya cicil sebanyak empat kali," katanya.
Sementara Nasser mengatakan pihaknya yang menamakan diri Kolaborasi Anti Kebohongan itu berencana untuk membuat laporan polisi di Bareskrim Polri atas kebohongan yang sudah disampaikan ke publik. "Kami sedang merundingkan melakukan upaya hukum melaporkan ke Bareskrim, pencemaran nama baik dan fitnah," katanya.
(abd)