Siapkan Penerbang Tempur, Optimalkan Dassault Rafale
loading...
A
A
A
TIDAK ada yang menyangsikan kemampuan para penerbang tempur Indonesia. Mereka telah teruji mengoperasikan berbagai jenis pesawat tempur milik TNI AU, dan diakui dunia internasional. Bukti keandalan antara lain disuguhkan para personel Jupiter Aerobatic Team (JAT). Beratraksi dengan pesawat latih KT-1B Wongbee, mereka mampu menampilkan beragam formasi berisiko tinggi dalam banyak even internasional.
baca juga: Keunggulan Jet Tempur Dassault Rafale yang Dibeli Indonesia, Siap Layani Beragam Misi
Kapasitas penerbang dan punggawa pesawat tempur TNI atau airmen juga dibuktikan pada ajang latihan multinasional Pitch Black 2024 di Royal Australian Air Force (RAAF) Base Darwin, Northern Territory. Atas prestasinya, mereka dianugerahi lima penghargaan dari RAAF (1/8/24). Mengerahkan empat pesawat F-16 Fighting Falcon, mereka sukses beradu keterampilan menerbangan pesawat tempur melalui sejumlah skenario misi yang dijalankan.
Selain TNI, Pitch Black 2024 juga melibatkan angkatan udara dari beberapa negara lain dengan berbagai jenis pesawat tempur andalan, termasuk kategori generasi di atas F-16. Mereka antara lain Republic of Singapore Air Force (RSAF) yang mengeluarkan F-15SG, Japan Air Self Defence Force (JASDF) membawa F-2 As, Republik of Korea Air Force (ROKAF) dengan dua F-15, French Air and Space Force (FASF) yang memamerkan produk kebanggaan nasional Dassault Rafale.
Turut berpartisipasi United State Air Force (USAF) dengan membawa F-22 Raptor, Spanish Air and Space Force (SASF) mengandalkan Eurofighter Typhoon, India Air Force (IAF) dengan pesawat tempur jagoannya Sukhoi Su-30, dan tentu saja tuan rumah Royal Australian Air Force (RAAF) yang menghadirkan Eurofighter Typhoon. Total ada 20 angkatan udara terlibat latihan rutin tersebut.
Prestasi yang diraih para penerbang tempur TNI AU Pitch Black 2024 mengindikasikan kemampuan bersaing dengan penerbang dari negara-negara maju yang menunggangi pesawat tempur lebih modern. Ketangguhan para ksatria udara Indonesia ini merupakan gabungan kekuatan mental, kecerdasan intelektual, dan ketahanan fisik. Bayangkan bila mereka menunggangi F-15, F-35, Eurofighter Typhoon, atau Dassault Rafale, pasti manuver yang dilakukan akan lebih dahsyat.
Namun harus dipahami, mereka tidak serta-merta bisa langsung bisa duduk di belakang cockpit pesawat tempur berbeda, apalagi pesawat generasi lebih baru, seperti generasi 4.5 atau 5.0. Sampai saat ini, tulang punggung kekuatan udara Indonesia masih bertumpu kepada jet-jet tempur generasi 4.0. Selain F-16, pesawat tempur di jejeran generasi sama antara lain Suhkoi Su-30 MK2 Flanker dan Sukhoi Su-27 dari Rusia, serta T-50 Golden Eagle made in Korea Selatan. Bahkan TNI AU juga masih mengoperasikan pesawat generasi lebih jadul, yakni jet tempur ringan Hawk-200 buatan British Aerospace, Inggris.
Keputusan akuisisi Dassault Rafale dari Dassault Aviation, Prancis akan menjadi tonggak transisi tulang punggung pesawat tempur TNI AU dari generasi 4.0 menuju generasi 4.5, sekaligus menjadi indikator lompatan kemajuan militer Indonesia di matra udara. Apalagi bila Kementerian Pertahanan jadi membeli pesawat generasi terbaru F-15EX dari Boeing Company Amerika Serikat (AS).
Akuisisi Dassault Rafae merupakan bagian visi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto membangun kekuatan udara yang andal dan unggul. Langkah diambil sekaligus mencerminkan keputusan strategis agar Indonesia mampu mengimbangi armada pesawat tempur di kawasan seperti Australia dan Singapura.Dua sekutu utama AS itu telah mendapat red carpet untuk memboyong pesawat generasi 5.0, yakni F-35 Lightning II. Begitu pun China yang menebar ancaman di kawasan Laut China Selatan (LCS) sudah menyiapkan pesawat generasi teranyar, Chengdu J-20.
baca juga: Mengenal Spesifikasi Jet Tempur Dassault Rafale Buatan Perancis
TNI AU memang sudah memiliki F-16, Su-27 maupun Su-30. Namun kapasitas belum cukup memadai atau jomplang untuk bisa menandingi pesawat siluman. Apalagi jumlah pesawat tempur Indonesia masih sangat terbatas. Di sisi lain, keinginan Indonesia bisa mengakuisisi F-35 juga ditolak mentah-mentah Paman Sam. Karena itulah, keberadaan Dassault Rafale produksi Dassault Aviation ini pilihan tepat dan bisa diandalkan untuk menyeimbangkan kekuatan udara Indonesia dengan negara-negara di kawasan.
‘’Bukan kita mau gagah-gagahan, bukan kita mau mengancam siapa pun. Tetapi kita ingin merdeka dan berdaulat," kata Prabowo dalam momen penyerahan delapan unit helikopter angkut berat H225M kepada di TNI di Lanud Atang Sandjaja, Bogor.
Secara teknologi, Dassault Rafale bukan kaleng-kaleng. Pesawat yang namanya secara harfiah diartikan ‘’semburan api’’ ini memiliki kompatibelitas tinggi terhadap berbagai jenis persenjataan. Senjata yang bisa dicantelkan antara lain rudal udara jarak jauh BVR seperti METEOR, MICA, Sidewinder, ASRAAM, dan AMRAA.
Pesawat multirole bersayap delta kanard ini juga bisa menembakkan rudal jelajah udara ke darat (SCALP), rudal anti-kapal AM39 EXOCET, bom berpemandu laser, bom klasik tanpa pemandu, dan meriam internal NEXTER 30M791 30 mm yang mampu melepaskan 2500 peluru per menit.
baca juga: Intip Perbandingan Jet Tempur Dassault Rafale dan Su-30MKI, Mana yang Lebih Andal?
Selain memiliki persenjataan menggetarkan untuk mewujudkan superioritas udara, pesawat tempur ini bisa menjalankan misi pencegahan nuklir. Pesawat tempur yang mulai beroperasi pada 2001 disebut telah membuktikan kedigayaannya dalam pertarungan pesawat tercanggih di dunia.
Dalam suatu simulasi pertempuran udara, Dassault Rafale dilaporkan berhasil mempecundangi F-22A Raptor milik AS. Brandon J Weichert, analis keamanan National Interest -sebuah jurnal pertahanan internasional, mendefinisikan Dassault Rafale sebagai pesawat tempur sangat canggih dan tangguh yang dianggap sebagai salah satu pesawat tempur terbaik di dunia.
Selain itu, dikatakan pula Dassault Rafale memiliki fleksibilitas, jangkauan, kecepatan, dan teknologi canggih yang menjadikannya aset tangguh bagi angkatan udara manapun yang mengoperasikannya. Dengan keunggulan yang dimiliki, Dassault Rafale telah memberikan keunggulan kompetitif bagi Prancis dalam memenangkan kompetisi pasar global.
Namun begitu, target keberadaan Dassault Rafale untuk mendongrak kapabilitas kekuatan udara Indonesia (Indonesia Air Power) yang disegani baru tercapai dengan prasyarat TNI AU bisa menyediakan para penerbang tempur tangguh yang mampu mengoperasionalkan pesawat-pesawat termutakhir tersebut dengan baik. Pertanyaannya, siapkah mereka menyambut tugas tersebut?
Man Behind the Gun
Man behind the gun. Kalimat yang sangat mahsyur di dunia militer ini menggambarkan pentingnya kemampuan prajurit di balik sebuah senjata. Walapun senjatanya jadul atau kalah canggih dibanding milik lawan, namun jika personel yang memegang mahir, maka penggunaan senjata lebih presisi menyasar target ketimbang mereka yang kurang terampil.
Ilustrasi mudah dipahami ditunjukkan prajurit TNI AD dalam ajang tahunan Australian Army of Skill Arms at Meeting (AASAM). Sejak berpartisipasi pada 2008, perwakilan TNI AD selalu menjadi kampiun. Fakta ini bukan hanya mengindikasikan kecanggihan senapan serbu SS2-V5 made in PT Pindad hingga bisa mengalahkan senjata terbaik dunia dan memilki nama besar buatan produsen alutsista utama dunia. Tak kalah penting, kapasitas menembak prajurit TNI AD terbukti berada di atas rata-rata prajurit infanteri negara maju seperti AS Inggris, Prancis dan Australia.
baca juga: Indonesia Sepakat Borong 42 Jet Tempur Rafale Prancis
Tentu saja membandingkan pengoperasian senjata serbu dengan pesawat tempur tidak apple to apple. Dari sisi harga, misalnya, penggunaan senjata serbu seperti SS2-V5 relatif tidak memiliki risiko karena harganya hanya berkisaran puluhan juta. edangkan satu unit pesawat Dassault Rafale, seperti disebut per unitnya berhaga sekitar Rp2,7 triliun. Bayangkan bila jatuh, berapa kerugian yang harus ditanggung. Belum lagi nilai intrinsik seorang pilot yang tentu tidak terukur.
Karena itulah, tidak sembarang orang bisa mendapat kualifikasi penerbang pesawat tempur. Mereka yang terpilih sudah pasti memiliki jasmani sehat, otak cerdas, dan mental tangguh. Satu lagi, seperti pernah disampaikan Marsekal TNI (Purn) Yuyu Sutisna saat masih menjabat Kepala Staf TNI AU, penerbang yang sudah mendapat kualifikasi penerbang tempur dituntut terus-menerus mengasah kemampuan dan knowledge karena tantangan tugas kian kompleks dan berat.
Profil seorang pesawat tempur yang tangguh dan terus meng-upgrade kapasitasnya hingga bisa siap kapanpun menerima tugas negara dicontohkan seorang prajurit penerbang Angkatan Laut AS, Letnan Pete ‘Maverick’ Mitchell. Lakon yang diperankan Tom Cruise -baik dalam Top Gun: Maverick yang dirilis 1986 maupun 2022- menggambarkan sosok pilot tempur andal yang menerbangkan pesawat tempur penuh keberanian demi menjalankan misi yang diberikan kepadanya.
Pada Top Gun: Maverick 1986, dia mampu menggeber pesawat F-14 Tomcat untuk melakukan dogfight dan beradu manuver dengan pesawat MIG-28 yang menjadi kebanggaan Uni Sovyet kala itu. Sedangkan pada Top Gun: Maverick 2022, Pete yang digambarkan usianya sudah bertambah 30 tahun mampu menerbangkan F/A-18F Superhornet dan melakukan manuver break the limit. Pada film teranyar, Pete juga kembali menggeber F-14 Tomcat, dan bahkan pesawat generasi 4 itu berhasil mempecundangi pesawat tempur generasi terbaru Rusia, Su-57.
Narasi yang disampaikan dalam sekuel Top Gun adalah keberadaan sosok di balik cockpit pesawat tempur atau man behind the gun sebagai orang terpilih, cerdas, kuat, pemberani, bermental baja, tak pernah berhenti belajar, bisa menerbangkan pesawat apapun, selalu siap menjalankan tugas, dan rela berkoban demi negara. Profil penerbang tempur sempurna seperti dalam film Top Gun inilah idealnya melekat pada setiap penerbang tempur TNI AU.
baca juga: Pembelian Rafale dan Pengembangan SDM Iptek
Personifikasi penerbang tempur yang sempurna tentu hanya sekadar khayalan film Hollywood. Tetapi bukan berarti penerbang tempur TNI tidak bisa meniru sosok Pete ‘Maverick’ Mitchell. Level tersebut bisa dicapai tentu dengan latihan terus-menerus, termasuk untuk menerbangkan pesawat Dassault Rafale. Selama ini penerbang tempur TNI AU baru berpengalaman menerbangkan pesawat generasi 4.0 seperti F-16, Su-27, Su-30, TA-50. Sedangkan Dassault Rafale sudah masuk kategori generasi 4.5.
Walaupun sudah mahir menerbangkan pesawat tempur generasi 4.0, penerbang tempur tidak serta-merta langsung bisa duduk di kemudi cockpit pesawat tempur generasi 4.5. Sebab, dari sisi teknologi banyak pembaharuan telah dilakukan, hingga definisi kecanggihan sudah pasti di atas generasi sebelumnya. Apalagi untuk pesawat Dassault Rafale buatan Prancis, ini merupakan kali pertama TNI AU akan mengoperasikan pesawat tempur made ini negeri Napoleon Bonaparte itu.
Lantas, seperti apa perbedaan pesawat tempur generasi 4.0 dan 4.5? Dari berbagai referensi tersedia, pesawat generasi 4.0 secara umum diidentifikasi telah menggunakan mesin turbofan, sistem kendali fly-by-wire, menerapkan thrust-vectoring-nozzle untuk memacu kemampuan manuver, sistem avionik semakin canggih seperti joint-helmet mounted cueing system, multirole dan BVR pesawat tempur ditingkatkan.
Pesawat generasi 4.0 juga memiliki sistem terintegrasi untuk mendukung multi-target secara otomatis, sudah membenamkan electronic countermeasure, dan mulai mengaplikasikan unsur stealth. Sedangkan pesawat tempur generasi 4.5 secara garis besar memiliki karakteristik sama dengan generasi 4.0. Tetapi, pesawat tempur generasi ini sudah meningkatkan kapasitas sistem avionik, performa mesin, kelincahan manuver, dan sudah mengadopsi radar AESA.
Slogan AMPUH
Kesiapan para penerbang tempur andal mengoperasikan Dassault Rafale sangat penting bukan sebatas karena harga pesawat yang dibayar dengan uang rakyat tersebut sangat mahal. Satu variabel lagi yang perlu menjadi pertimbangan adalah terjadinya sejumlah kecelakaan pesawat tempur yang mengorbankan para penerbang terbaik bangsa. Walaupun pilot TNI AU terbilang jago, satu keteledoran seringkali berubah menjadi bencana.
Fakta ini bisa ditelusuri dari sejumlah catatan kecelakaan pesawat tempur TNI. Mayoritas kondisi tersebut terjadi saat latihan. Teranyar, menimpa dua pesawat tempur taktis EMB-314 Super Tucano yang jatuh di kawasan Gunung Bormo, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur (16/11/2023) pukul 12.00 WIB, saat sesi latihan. Dalam musibah itu, empat penerbang gugur. Dua di antaranya perwira tinggi, yakni Marsma TNI (Anumerta) Subhan dan Marma TNI (Anumerta) Widiono Hadiwijaya.
baca juga: Pangkoopsudnas Jajal Kecanggihan Pesawat Tempur Rafale Buatan Prancis
Pesawat T-50i Golden Eagle made in Korsel yang diorientasikan sebagai pesawat latih pernah jatuh di pinggiran Bandara Adisucipto, Yogyakarta (20/22/2015) dan menewaskan dua pilot senior, yakni Letkol Pnb Marda Sarjono dan Kapten Pnb Dwi Cahyadi. Jauh sebelumnya pada 28 Maret 2002, dua pesawat Hawk MK-53 TNI AU dari Skadron 15 Pangkalan Udara Iswahyudi, Madiun bertabrakan saat melakukan manuver ke delapan, victory roll. Yang menyedihkan, empat penerbang tempur terbaik TNI AU gugur.
Dassault Rafale dengan teknologi yang jauh lebih canggih ternyata juga memiliki catatan hitam. Bahkan, musibah baru terjadi pada 14 Agustus 2024. Ceritanya, dua pesawat kebanggaan negeri ayam jantan tersebut bertabrakan saat latihan di bagian timur Prancis. Dua pilot pun menjadi korban. Sebelumnya, pada September 2009, dua pesawat sama juga celakaan kala kembali ke kapal induk Charles de Gaulle.
Berbagai insinden menegaskan bahwa menerbangkan pesawat tempur tidak bisa sembarangan karena risikonya saat tinggi. Dan penting lagi, secanggih-canggih pesawat tempur, maka fungsi strategis tidak bisa berjalan optimal bila sang penerbang tidak bisa menguasai sepenuhnya sesuai kaidah man behind the gun.
Kedatangan 24 pesawat Dassault Rafale yang diborong Indonesia memang masih pada 2026. Meski begitu, para penerbang yang bakal mengawakinya harus jauh hari dipersiapkan. Pihak TNI ternyata sudah bergerak cepat menyambut momen itu. Setelah dilantik menjadi KSAU, Marsekal TNI Mohamad Tonny Harjono menegaskan slogan AMPUH (adaptif, modern, profesional, unggul, dan humanis) untuk mewujudkan TNI AU memiliki alutsista modern dan sumber daya manusia (SDM) kuat. Menurutnya, TNI AU harus bisa mencapai standar kinerja yang tertinggi dalam setiap aspek operasional.
baca juga: Prabowo Borong 42 Jet Tempur Rafale, Indonesia Semakin Disegani
Demi mengejar tujuan itu, dia intens mengecek perkembangan pengadaan berbagai alutsista beserta infrastrukturnya. KSAU juga mendatangi sejumlah Lanud untuk bertemu langsung dengan prajurit TNI AU, dan memotivasi agar mereka selalu siap menerima dan mengoperasikan alutsista baru. Menurut dia, kedatangan berbagai alutsista canggih dengan profesionalitas prajurit yang mengawakinya akan meningkatkan kekuatan TNI AU mewujudkan Indonesia Air Power yang disegani.
Sejak 2022, enam penerbang TNI AU sudah menjalani pelatihan menerbangkan Dassault Rafale di Prancis. Selain penerbang, turut menjalani pelatihan delapan orang calon teknisi. Calon penerbang tersebut terpilih berdasar beberapa kriteria yang ditetapkan TNI AU.
Kapten Rayak, penerbang Angkatan Udara Prancis yang menerbangkan Dassault Rafale dari Guam ke Jakarta beberapa waktu lalu menuturkan bahwa untuk bisa mengoperasikan pesawat ini, pilot berpengalaman membutuhkan waktu sekitar tiga bulan. Dia pun meyakini para penerbang TNI AU, termasuk yang mengawaki pesawat Hawk-200 juga tidak akan kesulitan.
Melibat talenta para penerbang tempur Indonesia, keseriusan TNI AU menggembleng para calon penerbang, dan pengalaman yang dituturkan Kapten Rayak mengawaki Dassault Rafale, bisa diyakini jajaran airmen TNI AU siap menyambut dan mengoperasikan pesawat kebanggaan ini. Namun harus pula digarisbawahi agar TNI AU memperketat aturan maupun disiplin latihan agar musibah yang menimpa beberapa pesawat tempur tidak lagi terulang. (*)
Lihat Juga: Profil Kolonel Pnb Betya Lukman Madyana, Sosok Perisai Hidup Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka
baca juga: Keunggulan Jet Tempur Dassault Rafale yang Dibeli Indonesia, Siap Layani Beragam Misi
Kapasitas penerbang dan punggawa pesawat tempur TNI atau airmen juga dibuktikan pada ajang latihan multinasional Pitch Black 2024 di Royal Australian Air Force (RAAF) Base Darwin, Northern Territory. Atas prestasinya, mereka dianugerahi lima penghargaan dari RAAF (1/8/24). Mengerahkan empat pesawat F-16 Fighting Falcon, mereka sukses beradu keterampilan menerbangan pesawat tempur melalui sejumlah skenario misi yang dijalankan.
Selain TNI, Pitch Black 2024 juga melibatkan angkatan udara dari beberapa negara lain dengan berbagai jenis pesawat tempur andalan, termasuk kategori generasi di atas F-16. Mereka antara lain Republic of Singapore Air Force (RSAF) yang mengeluarkan F-15SG, Japan Air Self Defence Force (JASDF) membawa F-2 As, Republik of Korea Air Force (ROKAF) dengan dua F-15, French Air and Space Force (FASF) yang memamerkan produk kebanggaan nasional Dassault Rafale.
Turut berpartisipasi United State Air Force (USAF) dengan membawa F-22 Raptor, Spanish Air and Space Force (SASF) mengandalkan Eurofighter Typhoon, India Air Force (IAF) dengan pesawat tempur jagoannya Sukhoi Su-30, dan tentu saja tuan rumah Royal Australian Air Force (RAAF) yang menghadirkan Eurofighter Typhoon. Total ada 20 angkatan udara terlibat latihan rutin tersebut.
Prestasi yang diraih para penerbang tempur TNI AU Pitch Black 2024 mengindikasikan kemampuan bersaing dengan penerbang dari negara-negara maju yang menunggangi pesawat tempur lebih modern. Ketangguhan para ksatria udara Indonesia ini merupakan gabungan kekuatan mental, kecerdasan intelektual, dan ketahanan fisik. Bayangkan bila mereka menunggangi F-15, F-35, Eurofighter Typhoon, atau Dassault Rafale, pasti manuver yang dilakukan akan lebih dahsyat.
Namun harus dipahami, mereka tidak serta-merta bisa langsung bisa duduk di belakang cockpit pesawat tempur berbeda, apalagi pesawat generasi lebih baru, seperti generasi 4.5 atau 5.0. Sampai saat ini, tulang punggung kekuatan udara Indonesia masih bertumpu kepada jet-jet tempur generasi 4.0. Selain F-16, pesawat tempur di jejeran generasi sama antara lain Suhkoi Su-30 MK2 Flanker dan Sukhoi Su-27 dari Rusia, serta T-50 Golden Eagle made in Korea Selatan. Bahkan TNI AU juga masih mengoperasikan pesawat generasi lebih jadul, yakni jet tempur ringan Hawk-200 buatan British Aerospace, Inggris.
Keputusan akuisisi Dassault Rafale dari Dassault Aviation, Prancis akan menjadi tonggak transisi tulang punggung pesawat tempur TNI AU dari generasi 4.0 menuju generasi 4.5, sekaligus menjadi indikator lompatan kemajuan militer Indonesia di matra udara. Apalagi bila Kementerian Pertahanan jadi membeli pesawat generasi terbaru F-15EX dari Boeing Company Amerika Serikat (AS).
Akuisisi Dassault Rafae merupakan bagian visi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto membangun kekuatan udara yang andal dan unggul. Langkah diambil sekaligus mencerminkan keputusan strategis agar Indonesia mampu mengimbangi armada pesawat tempur di kawasan seperti Australia dan Singapura.Dua sekutu utama AS itu telah mendapat red carpet untuk memboyong pesawat generasi 5.0, yakni F-35 Lightning II. Begitu pun China yang menebar ancaman di kawasan Laut China Selatan (LCS) sudah menyiapkan pesawat generasi teranyar, Chengdu J-20.
baca juga: Mengenal Spesifikasi Jet Tempur Dassault Rafale Buatan Perancis
TNI AU memang sudah memiliki F-16, Su-27 maupun Su-30. Namun kapasitas belum cukup memadai atau jomplang untuk bisa menandingi pesawat siluman. Apalagi jumlah pesawat tempur Indonesia masih sangat terbatas. Di sisi lain, keinginan Indonesia bisa mengakuisisi F-35 juga ditolak mentah-mentah Paman Sam. Karena itulah, keberadaan Dassault Rafale produksi Dassault Aviation ini pilihan tepat dan bisa diandalkan untuk menyeimbangkan kekuatan udara Indonesia dengan negara-negara di kawasan.
‘’Bukan kita mau gagah-gagahan, bukan kita mau mengancam siapa pun. Tetapi kita ingin merdeka dan berdaulat," kata Prabowo dalam momen penyerahan delapan unit helikopter angkut berat H225M kepada di TNI di Lanud Atang Sandjaja, Bogor.
Secara teknologi, Dassault Rafale bukan kaleng-kaleng. Pesawat yang namanya secara harfiah diartikan ‘’semburan api’’ ini memiliki kompatibelitas tinggi terhadap berbagai jenis persenjataan. Senjata yang bisa dicantelkan antara lain rudal udara jarak jauh BVR seperti METEOR, MICA, Sidewinder, ASRAAM, dan AMRAA.
Pesawat multirole bersayap delta kanard ini juga bisa menembakkan rudal jelajah udara ke darat (SCALP), rudal anti-kapal AM39 EXOCET, bom berpemandu laser, bom klasik tanpa pemandu, dan meriam internal NEXTER 30M791 30 mm yang mampu melepaskan 2500 peluru per menit.
baca juga: Intip Perbandingan Jet Tempur Dassault Rafale dan Su-30MKI, Mana yang Lebih Andal?
Selain memiliki persenjataan menggetarkan untuk mewujudkan superioritas udara, pesawat tempur ini bisa menjalankan misi pencegahan nuklir. Pesawat tempur yang mulai beroperasi pada 2001 disebut telah membuktikan kedigayaannya dalam pertarungan pesawat tercanggih di dunia.
Dalam suatu simulasi pertempuran udara, Dassault Rafale dilaporkan berhasil mempecundangi F-22A Raptor milik AS. Brandon J Weichert, analis keamanan National Interest -sebuah jurnal pertahanan internasional, mendefinisikan Dassault Rafale sebagai pesawat tempur sangat canggih dan tangguh yang dianggap sebagai salah satu pesawat tempur terbaik di dunia.
Selain itu, dikatakan pula Dassault Rafale memiliki fleksibilitas, jangkauan, kecepatan, dan teknologi canggih yang menjadikannya aset tangguh bagi angkatan udara manapun yang mengoperasikannya. Dengan keunggulan yang dimiliki, Dassault Rafale telah memberikan keunggulan kompetitif bagi Prancis dalam memenangkan kompetisi pasar global.
Namun begitu, target keberadaan Dassault Rafale untuk mendongrak kapabilitas kekuatan udara Indonesia (Indonesia Air Power) yang disegani baru tercapai dengan prasyarat TNI AU bisa menyediakan para penerbang tempur tangguh yang mampu mengoperasionalkan pesawat-pesawat termutakhir tersebut dengan baik. Pertanyaannya, siapkah mereka menyambut tugas tersebut?
Man Behind the Gun
Man behind the gun. Kalimat yang sangat mahsyur di dunia militer ini menggambarkan pentingnya kemampuan prajurit di balik sebuah senjata. Walapun senjatanya jadul atau kalah canggih dibanding milik lawan, namun jika personel yang memegang mahir, maka penggunaan senjata lebih presisi menyasar target ketimbang mereka yang kurang terampil.
Ilustrasi mudah dipahami ditunjukkan prajurit TNI AD dalam ajang tahunan Australian Army of Skill Arms at Meeting (AASAM). Sejak berpartisipasi pada 2008, perwakilan TNI AD selalu menjadi kampiun. Fakta ini bukan hanya mengindikasikan kecanggihan senapan serbu SS2-V5 made in PT Pindad hingga bisa mengalahkan senjata terbaik dunia dan memilki nama besar buatan produsen alutsista utama dunia. Tak kalah penting, kapasitas menembak prajurit TNI AD terbukti berada di atas rata-rata prajurit infanteri negara maju seperti AS Inggris, Prancis dan Australia.
baca juga: Indonesia Sepakat Borong 42 Jet Tempur Rafale Prancis
Tentu saja membandingkan pengoperasian senjata serbu dengan pesawat tempur tidak apple to apple. Dari sisi harga, misalnya, penggunaan senjata serbu seperti SS2-V5 relatif tidak memiliki risiko karena harganya hanya berkisaran puluhan juta. edangkan satu unit pesawat Dassault Rafale, seperti disebut per unitnya berhaga sekitar Rp2,7 triliun. Bayangkan bila jatuh, berapa kerugian yang harus ditanggung. Belum lagi nilai intrinsik seorang pilot yang tentu tidak terukur.
Karena itulah, tidak sembarang orang bisa mendapat kualifikasi penerbang pesawat tempur. Mereka yang terpilih sudah pasti memiliki jasmani sehat, otak cerdas, dan mental tangguh. Satu lagi, seperti pernah disampaikan Marsekal TNI (Purn) Yuyu Sutisna saat masih menjabat Kepala Staf TNI AU, penerbang yang sudah mendapat kualifikasi penerbang tempur dituntut terus-menerus mengasah kemampuan dan knowledge karena tantangan tugas kian kompleks dan berat.
Profil seorang pesawat tempur yang tangguh dan terus meng-upgrade kapasitasnya hingga bisa siap kapanpun menerima tugas negara dicontohkan seorang prajurit penerbang Angkatan Laut AS, Letnan Pete ‘Maverick’ Mitchell. Lakon yang diperankan Tom Cruise -baik dalam Top Gun: Maverick yang dirilis 1986 maupun 2022- menggambarkan sosok pilot tempur andal yang menerbangkan pesawat tempur penuh keberanian demi menjalankan misi yang diberikan kepadanya.
Pada Top Gun: Maverick 1986, dia mampu menggeber pesawat F-14 Tomcat untuk melakukan dogfight dan beradu manuver dengan pesawat MIG-28 yang menjadi kebanggaan Uni Sovyet kala itu. Sedangkan pada Top Gun: Maverick 2022, Pete yang digambarkan usianya sudah bertambah 30 tahun mampu menerbangkan F/A-18F Superhornet dan melakukan manuver break the limit. Pada film teranyar, Pete juga kembali menggeber F-14 Tomcat, dan bahkan pesawat generasi 4 itu berhasil mempecundangi pesawat tempur generasi terbaru Rusia, Su-57.
Narasi yang disampaikan dalam sekuel Top Gun adalah keberadaan sosok di balik cockpit pesawat tempur atau man behind the gun sebagai orang terpilih, cerdas, kuat, pemberani, bermental baja, tak pernah berhenti belajar, bisa menerbangkan pesawat apapun, selalu siap menjalankan tugas, dan rela berkoban demi negara. Profil penerbang tempur sempurna seperti dalam film Top Gun inilah idealnya melekat pada setiap penerbang tempur TNI AU.
baca juga: Pembelian Rafale dan Pengembangan SDM Iptek
Personifikasi penerbang tempur yang sempurna tentu hanya sekadar khayalan film Hollywood. Tetapi bukan berarti penerbang tempur TNI tidak bisa meniru sosok Pete ‘Maverick’ Mitchell. Level tersebut bisa dicapai tentu dengan latihan terus-menerus, termasuk untuk menerbangkan pesawat Dassault Rafale. Selama ini penerbang tempur TNI AU baru berpengalaman menerbangkan pesawat generasi 4.0 seperti F-16, Su-27, Su-30, TA-50. Sedangkan Dassault Rafale sudah masuk kategori generasi 4.5.
Walaupun sudah mahir menerbangkan pesawat tempur generasi 4.0, penerbang tempur tidak serta-merta langsung bisa duduk di kemudi cockpit pesawat tempur generasi 4.5. Sebab, dari sisi teknologi banyak pembaharuan telah dilakukan, hingga definisi kecanggihan sudah pasti di atas generasi sebelumnya. Apalagi untuk pesawat Dassault Rafale buatan Prancis, ini merupakan kali pertama TNI AU akan mengoperasikan pesawat tempur made ini negeri Napoleon Bonaparte itu.
Lantas, seperti apa perbedaan pesawat tempur generasi 4.0 dan 4.5? Dari berbagai referensi tersedia, pesawat generasi 4.0 secara umum diidentifikasi telah menggunakan mesin turbofan, sistem kendali fly-by-wire, menerapkan thrust-vectoring-nozzle untuk memacu kemampuan manuver, sistem avionik semakin canggih seperti joint-helmet mounted cueing system, multirole dan BVR pesawat tempur ditingkatkan.
Pesawat generasi 4.0 juga memiliki sistem terintegrasi untuk mendukung multi-target secara otomatis, sudah membenamkan electronic countermeasure, dan mulai mengaplikasikan unsur stealth. Sedangkan pesawat tempur generasi 4.5 secara garis besar memiliki karakteristik sama dengan generasi 4.0. Tetapi, pesawat tempur generasi ini sudah meningkatkan kapasitas sistem avionik, performa mesin, kelincahan manuver, dan sudah mengadopsi radar AESA.
Slogan AMPUH
Kesiapan para penerbang tempur andal mengoperasikan Dassault Rafale sangat penting bukan sebatas karena harga pesawat yang dibayar dengan uang rakyat tersebut sangat mahal. Satu variabel lagi yang perlu menjadi pertimbangan adalah terjadinya sejumlah kecelakaan pesawat tempur yang mengorbankan para penerbang terbaik bangsa. Walaupun pilot TNI AU terbilang jago, satu keteledoran seringkali berubah menjadi bencana.
Fakta ini bisa ditelusuri dari sejumlah catatan kecelakaan pesawat tempur TNI. Mayoritas kondisi tersebut terjadi saat latihan. Teranyar, menimpa dua pesawat tempur taktis EMB-314 Super Tucano yang jatuh di kawasan Gunung Bormo, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur (16/11/2023) pukul 12.00 WIB, saat sesi latihan. Dalam musibah itu, empat penerbang gugur. Dua di antaranya perwira tinggi, yakni Marsma TNI (Anumerta) Subhan dan Marma TNI (Anumerta) Widiono Hadiwijaya.
baca juga: Pangkoopsudnas Jajal Kecanggihan Pesawat Tempur Rafale Buatan Prancis
Pesawat T-50i Golden Eagle made in Korsel yang diorientasikan sebagai pesawat latih pernah jatuh di pinggiran Bandara Adisucipto, Yogyakarta (20/22/2015) dan menewaskan dua pilot senior, yakni Letkol Pnb Marda Sarjono dan Kapten Pnb Dwi Cahyadi. Jauh sebelumnya pada 28 Maret 2002, dua pesawat Hawk MK-53 TNI AU dari Skadron 15 Pangkalan Udara Iswahyudi, Madiun bertabrakan saat melakukan manuver ke delapan, victory roll. Yang menyedihkan, empat penerbang tempur terbaik TNI AU gugur.
Dassault Rafale dengan teknologi yang jauh lebih canggih ternyata juga memiliki catatan hitam. Bahkan, musibah baru terjadi pada 14 Agustus 2024. Ceritanya, dua pesawat kebanggaan negeri ayam jantan tersebut bertabrakan saat latihan di bagian timur Prancis. Dua pilot pun menjadi korban. Sebelumnya, pada September 2009, dua pesawat sama juga celakaan kala kembali ke kapal induk Charles de Gaulle.
Berbagai insinden menegaskan bahwa menerbangkan pesawat tempur tidak bisa sembarangan karena risikonya saat tinggi. Dan penting lagi, secanggih-canggih pesawat tempur, maka fungsi strategis tidak bisa berjalan optimal bila sang penerbang tidak bisa menguasai sepenuhnya sesuai kaidah man behind the gun.
Kedatangan 24 pesawat Dassault Rafale yang diborong Indonesia memang masih pada 2026. Meski begitu, para penerbang yang bakal mengawakinya harus jauh hari dipersiapkan. Pihak TNI ternyata sudah bergerak cepat menyambut momen itu. Setelah dilantik menjadi KSAU, Marsekal TNI Mohamad Tonny Harjono menegaskan slogan AMPUH (adaptif, modern, profesional, unggul, dan humanis) untuk mewujudkan TNI AU memiliki alutsista modern dan sumber daya manusia (SDM) kuat. Menurutnya, TNI AU harus bisa mencapai standar kinerja yang tertinggi dalam setiap aspek operasional.
baca juga: Prabowo Borong 42 Jet Tempur Rafale, Indonesia Semakin Disegani
Demi mengejar tujuan itu, dia intens mengecek perkembangan pengadaan berbagai alutsista beserta infrastrukturnya. KSAU juga mendatangi sejumlah Lanud untuk bertemu langsung dengan prajurit TNI AU, dan memotivasi agar mereka selalu siap menerima dan mengoperasikan alutsista baru. Menurut dia, kedatangan berbagai alutsista canggih dengan profesionalitas prajurit yang mengawakinya akan meningkatkan kekuatan TNI AU mewujudkan Indonesia Air Power yang disegani.
Sejak 2022, enam penerbang TNI AU sudah menjalani pelatihan menerbangkan Dassault Rafale di Prancis. Selain penerbang, turut menjalani pelatihan delapan orang calon teknisi. Calon penerbang tersebut terpilih berdasar beberapa kriteria yang ditetapkan TNI AU.
Kapten Rayak, penerbang Angkatan Udara Prancis yang menerbangkan Dassault Rafale dari Guam ke Jakarta beberapa waktu lalu menuturkan bahwa untuk bisa mengoperasikan pesawat ini, pilot berpengalaman membutuhkan waktu sekitar tiga bulan. Dia pun meyakini para penerbang TNI AU, termasuk yang mengawaki pesawat Hawk-200 juga tidak akan kesulitan.
Melibat talenta para penerbang tempur Indonesia, keseriusan TNI AU menggembleng para calon penerbang, dan pengalaman yang dituturkan Kapten Rayak mengawaki Dassault Rafale, bisa diyakini jajaran airmen TNI AU siap menyambut dan mengoperasikan pesawat kebanggaan ini. Namun harus pula digarisbawahi agar TNI AU memperketat aturan maupun disiplin latihan agar musibah yang menimpa beberapa pesawat tempur tidak lagi terulang. (*)
Lihat Juga: Profil Kolonel Pnb Betya Lukman Madyana, Sosok Perisai Hidup Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka
(hdr)