Pembelian Rafale dan Pengembangan SDM Iptek

Selasa, 15 Februari 2022 - 15:52 WIB
loading...
Pembelian Rafale dan...
Bimo Joga Sasongko (Foto: Ist)
A A A
Bimo Joga Sasongko
Ketua Umum Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE)

Pertemuan bilateral antara Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI dengan Kementerian Angkatan Bersenjata Republik Prancis menghasilkan penandatanganan beberapa perjanjian kerja sama yang disaksikan langsung oleh Menteri Pertahanan kedua negara. Perjanjian kerja sama tersebut antara lain adalah kontrak pembelian enam unit pesawat Rafale buatan Dassault. Ini sebagai awal dari kontrak yang lebih besar untuk 36 pesawat tempur Rafale.

Sebagai informasi, harga pesawat tempur Rafale per unitnya adalah USD120 juta atau sekitar Rp1,72 triliun (kurs Rp14.344 per dolar Amerika Serikat). Dengan demikian anggaran yang dibutuhkan untuk membeli enam pesawat tempur mencapai sekitar Rp10,32 triliun.

Selain itu dibuat nota kesepahaman (MoU) kerja sama di bidang research and development kapal selam antara PT PAL dengan Naval Grup, MoU kerjasama Program Offset dan ToT antara Dassault dan PT DI, MoU kerja sama di bidang telekomunikasi antara PT LEN dan Thales Group, dan kerja sama pembuatan amunisi kaliber besar antara PT Pindad dan Nexter Munition.

Program belanja alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang jumlahnya fantastis bersumber dari utang sebaiknya dilakukan dengan cara yang transparan, tanpa ada modus korupsi dan hasilnya bisa optimal. Sekadar catatan, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyatakan tengah menyiapkan masterplan alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpalhankam) selama 25 tahun yang ditugaskan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Berdasarkan draf yang telah beredar, peraturan presiden (Perpres) tersebut merupakan tindak lanjut rencana strategis khusus 2020-2024. Dalam dokumen itu disebutkan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan sebesar sekitar Rp1,760 triliun. Rencananya, pengadaan alat-alat tersebut dijalankan hingga 2044 mendatang. Bila melihat Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia 2020 sebesar Rp15.434,2 triliun, angka Rp1.769 triliun itu hanya sekitar 11,4% jika dibandingkan dengan angka yang dialokasikan pemerintah untuk alutsista selama 25 tahun.

Di tengah pandemi Covid-19 pemerintah menaruh perhatian besar terhadap ekonomi pertahanan. Karena pertahanan negara masih belum kuat sehingga kekayaan bangsa kurang terkelola dengan baik.

Masalah-masalah yang menghambat penguatan pertahanan negara seperti pengadaan alutsista TNI pada prinsipmya disebabkan adanya distorsi ekonomi pertahanan. Hambatan tersebut perlu segera diatasi dengan memperbarui cetak biru ekonomi pertahanan mengingat geopolitik global terus berubah.

Menurut Britannica Encyclopedia, ekonomi pertahanan adalah manajemen ekonomi nasional yang terkait dengan dampak ekonomi dari belanja militer. Implikasi yang terkait dengan ekonomi pertahanan antara lain tingkat belanja pertahanan, dampak pengeluaran pertahanan terhadap produk dan lapangan kerja di dalam dan luar negeri, pengaruh belanja pertahanan dengan perubahan teknologi, serta efek stabilitas nasional dan global.

Adanya cetak biru ekonomi pertahanan yang sesuai dengan kondisi terkini sangat membantu industrialisasi bangsa. Menghadapi persaingan global yang makin sengit serta ancaman perang terbuka yang berlatar perebutan sumber daya alam perlu konsep ekonomi pertahanan yang berbasis industri alutsista dalam negeri. Industri alutsista ini tidak sekadar merakit bersama dengan negara lain yang lebih maju. Harus ada nilai tambah yang riil yang disertai dengan penguasaan teknologi dan proses industri oleh sumber daya manusia (SDM) lokal.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1495 seconds (0.1#10.140)