Mengurangi Beban Subsidi Negara dari Tumpukan Sampah

Sabtu, 17 Agustus 2024 - 22:09 WIB
loading...
Mengurangi Beban Subsidi...
Pipa untuk mengalirkan gas yang berasal dari pengolahan sampah di TPA Manggar, Balikpapan. Penggunaan gas Metana bisa menghemat subsidi energi dan menciptakan ekonomi sirkular. Foto: Anton Chrisbiyanto/SINDOnews
A A A
BALIKPAPAN - Meningkatnya populasi penduduk Indonesia membuat konsumsi energi nasional ikut melonjak. Dalam satu dekade terakhir, konsumsi energi di dalam negeri melejit sebesar 60%. Pemerintah pun menambah alokasi anggaran ketahanan energi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025. Jumlahnya sangat besar, mencapai Rp421,7 triliun.

baca juga: Konsumsi LPG Nonsubsidi Turun, ESDM Pantau Perpindahan ke Gas Melon

Anggaran jumbo itu akan diguyurkan untuk subsidi dan kompensasi energi bagi rakyat Indonesia. Selama ini, subsidi energi yang meningkat setiap tahun menjadi salah satu beban keuangan negara. Dari kategori jenis energi, konsumsi gas elpiji atau LPG untuk konsumsi rumah tangga yakni LPG 3 kg terus meningkat.

Tahun ini, pemerintah menganggarkan subsidi untuk gas yang dikemas dalam tabung berwarna hijau muda itu sebesar 8,02 juta ton, lebih besar dari tahun lalu. Melonjaknya beban subsidi LPG itu tentu akan berpotensi semakin membebani keuangan negara di masa depan. Terlebih, apabila kesadaran masyarakat untuk bijak dalam menggunakan energi bersubsidi masih rendah.

Karenanya, penggunaan beragam alternatif sumber energi perlu ditingkatkan, salah satunya pemanfaatan sampah menjadi biogas yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi rumah tangga.

Data Sistem Informasi Pengolahan Sampah Nasional (SIPSN) menyebutkan, hingga Juli 2024, dari 290 kabupaten/kota se-Indonesia volume timbunan sampah nasional mencapai angka 31,9 juta ton. Sekitar 63,3% atau 20,5 juta ton dapat terkelola, sedangkan sisanya 35,67% atau 11,3 juta ton sampah tidak terkelola.

“Sebenarnya, sampah-sampah itu bisa dikelola sebagai sumber energi gas untuk masyarakat,” ujar Direktur Reforminer Institute Komaidi Notonegoro kepada SINDOnews di Jakarta, Jumat (16/8/2024).

Dengan diolahnya sampah menjadi gas, ada alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan energi murah yang minim bahkan tanpa subsidi. Tak hanya sampah, produksi biogas juga bisa dilakukan di daerah-daerah yang menjadi sentra-sentra peternakan dengan mengubah kotoran ternak menjadi gas yang dialirkan ke rumah-rumah untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat.

“Tentu itu akan mengurangi beban negara untuk subsidi LPG. Karenanya, pemerintah termasuk pemerintah daerah perlu proaktif dalam hal ini,karena sangat potensial,” tuturnya.

Kebutuhan energi menjadi salah satu isu yang krusial di seluruh dunia. Di tengah isu transisi energi, sumber energi utama seperti minyak, gas, dan batubara jumlah cadangannya semakin berkurang. Karenanya, pengembangan sumber energi terbarukan sangat penting untuk menjaga ketahanan energi dan mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan.

Pemanfaatan sampah sebagai sumber energi merupakan salah satu solusi inovatif dalam rangka mengurangi beban subsidi negara dan ketergantungan terhadap sumber energi fosil. Terlebih, Indonesia menghadapi masalah pengelolaan sampah yang kompleks dengan volume yang terus meningkat setiap tahun.

baca juga: Kendalikan Subsidi, PGN Dukung Pemerintah Kembangkan Jaringan Gas Rumah Tangga

Pertumbuhan sampah perkotaan diperkirakan mencapai 7-10% per tahun. Dengan teknologi pengelolaan sampah yang ada saat ini, tak heran apabila banyak sampah-sampah yang tak dikelola dengan baik. Dengan adanya sumber energi alternatif seperti sampah itu, beban subsidi negara di sektor energi berpotensi untuk dikurangi.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif usai mengikuti Sidang Paripurna DPR Masa Persidangan I DPR Tahun Sidang 2024-2025 dan pidato nota keuangan dari Presiden Joko Widodo, mengatakan pemerintah akan melakukan sosialisasi penyaluran subsidi tepat sasaran.

Sejatinya, Kementerian ESDM melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) terusberupaya mendorong nilai tambah dan pemanfaatan sampah perkotaan sebagai sumber energi terbarukan. Sehingga, kebutuhan energi nasional bisa dipenuhi dari sumber alternatif. Selain itu, sebagai dukungan terhadap pencapaian target National Determined Contributions (NDC) Indonesia. Karenanya, Kementerian ESDM terus mendorong inovasi dalam menghadirkan energi alternatif yang murah dan ramah lingkungan.

Mengolah Sampah Menjadi Energi Murah

Truk-truk pengangkut sampah hilir mudik menumpahkan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Manggar, Balikpapan. Sampah-sampah itu menjulang setinggi 15 meter di TPA seluas 5,7 hektare. Kawasan TPA Manggar juga dikenal sebagai Kampung Energi Wasteco Manggar.

“Seluruh sampah berasal dari kota Balikpapan,” ujar Suyono, petugas Dinas Lingkungan Hidup Pemkot Balikpapan, sekaligus penanggung jawab pengelolaan sampah TPA Manggar kepada SINDOnews beberapa waktu lalu.

Sampah-sampah itu diolah di Sanitary Land Fill Zona 6. Dari TPA Manggar, masyarakat sekitar bisa memanfaatkan gas metana dengan volume 820.800 meter kubik setiap tahun yang disalurkan secara swadaya.Suyono, yang bekerja di Pemkot Balikpapan sejak 1997 itu mengatakan, secara ekonomi, penggunaan gas metana dari TPA Manggar lebih menguntungkan bagi masyarakat.

“Sebab masyarakat tak lagi menggunakan gas LPG untuk memenuhi kebutuhan energinya. Kalaupun masih ada, itu hanya sebagai cadangan saja jika terjadi kendala di aliran gas. Tetapi, sangat jarang terjadi,” tuturnya.

Dengan mengelola sampah menjadi gas metana, penghematan penggunaan elpiji 3 kg dari sekitar 400 kepala keluarga (kk) di sekitar TPA Manggar diperkirakan 16.800 tabung per tahun. Dengan subsidi sebesar Rp33.000 per tabung, maka penghematan mencapai Rp554,4 juta per tahun. “Dari sisi masyarakat, ada penghematan juga dari biaya pembelian LPG,” tuturnya.

Suyono, yang akan pensiun pada 2026 itu bercerita, sejatinya gas metana dari TPA Manggar sudah ada sejak 2012 silam. Namun, karena teknologi pengelolaannya seadanya, penggunaan gas metana sebagai pengganti LPG masih terbatas. Saat itu, hanya 12 KK yang memanfaatkan gas metana yang dialirkan dari TPA Manggar.

“Tahun 2018 mulai dikembangkan lagi, dan 2019 sudah banyak masyarakat yang menggunakan gas metana. Sekarang sudah dialirkan ke empat rukun tetangga (RT). Saya sendiri sudah berhenti menggunakan LPG karena gas mengalir 24 jam,” paparnya.

Infrastruktur untuk mengalirkan gas ke masyarakat pun sangat sederhana. Hanya membutuhkan pipa paralon/PVC berdiameter 1/2 inci. “Sangat efektif untuk memasak dan tidak membahayakan. Perbedaan waktu pembakaran maksimum hanya 5 menit dibandingkan dengan LPG,” tuturnya. Suyono pun menilai, gas metana cocok dikembangkan di kota-kota lainnya dengan volume sampah yang tinggi, karena akan memberikan nilai ekonomis bagi negara dan masyarat.

Pendapat Suyono bukanlah sekadar klaim. Rasum Setiawan warga RT97 Desa Manggar juga merasakan manfaat dari adanya gas metana. Pria kelahiran 1976 yang bermukim di desa Manggar sejak 1997 itu mengungkapkan, saat ini biaya yang harus dia keluarkan untuk membayar gas hanya Rp10.000 per bulan. “Dulu saat menggunakan elpiji, sebulan 4 tabung, total Rp120.000,” sebutnya.

baca juga: Habiskan Subsidi Rp45 T dari APBN, Program Gas Murah Industri Tertentu Dievaluasi

Untuk biaya instalasi, Rasum hanya mengeluarkan Rp100.000 dengan rincian, paralon 1/2 inci Rp80.000 plus keran sebesar Rp20.000. “Jadi saya hanya butuh Rp100.000 saja untuk pasang instalasinya,” ungkap pria asal Purwokerto, Jawa Tengah itu.

Menurut dia, dengan menggunakan gas metana, pengeluaran bulanannya menjadi lebih hemat. “Saya sehari-hari berjualan sayuran. Menggunakan gas metana ini pada 2022, ongkos bulanan menjadi sangat murah,” paparnya.

Selain rumah tangga, gas metana yang berasal dari TPA Manggar juga dinikmati oleh pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Jika pada 2018 silam hanya 1 UMKM yang teraliri gas, saat ini sudah mencapai 28 UMKM. “Keberadaan jaringan gas metana untuk masyarakat ini mampu memangkas biaya. Sekarang cukup membayar Rp 10.000 saja per bulan untuk biaya gas,” kata Ketua UMKM Manggar Norma Septiati.

TPA Manggar diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada Desember 2019 silam. Saat itu, kepala negara menyampaikan, TPA Manggar merupakan tempat pemrosesan akhir sampah yang paling baik di Indonesia. TPA Manggar menggunakan teknologi sanitary landfill dalam pemrosesan. Saat ini, pemerintah tengah memberikan prioritas kepada 10 kota dalam menyelesaikan persoalan sampah. Rata-rata semua kota tersebut ingin mengolah sampah untuk dijadikan energi listrik.

TPA Manggar adalah salah satu bukti bahwa menghadirkan energi murah dan ramah bukanlah hal yang mustahil dilakukan. Program kolaboratif antara pemangku kepentingan dalam mengelola sampah yang dilaksanakan dengan tepat akan menciptakan ekonomi sirkular yang tak hanya mengurangi beban subsidi negara, tetapi juga mengurangi biaya energi dan menggerakkan perekonomian masyarakat.
(hdr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1944 seconds (0.1#10.140)