Perbaiki UU Keterbukaan Informasi Publik, Pemerintah Kumpulkan Aspirasi

Rabu, 14 Agustus 2024 - 15:31 WIB
loading...
Perbaiki UU Keterbukaan...
Forum Koordinasi PPID: Konsultasi Publik Revisi Undang-Undang No 14 Tahun 2008 untuk K/L/D, di Jakarta, Selasa 13 Agustus 2024. Foto/Ist
A A A
JAKARTA - Seiring dengan dinamika dan perkembangan yang makin mutakhir, aturan dan kebijakan pemerintah perlu disesuaikan agar relevan. Salah satunya, Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang telah berusia lebih dari satu dekade sejak diterbitkan.

Hal ini dikatakan oleh Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Usman Kansong dalam Forum Koordinasi PPID: Konsultasi Publik Revisi Undang-Undang No 14 Tahun 2008 untuk K/L/D, di Jakarta, Selasa 13 Agustus 2024.

Usman Kansong mengatakan, UU KIP merupakan dasar hukum yang kuat untuk membangun saling percaya antara pemerintah dengan masyarakat.

"UU KIP mengatur kewajiban badan publik untuk mempublikasikan informasi publik secara proaktif. Ini adalah langkah yang bijaksana untuk menjaga keseimbangan antara keterbukaan dan kepentingan lain secara sah," kata Usman Kansong dalam keterangannya, Rabu (14/8/2024).



"Regulasi ini juga mengatur mekanisme permintaan informasi publik oleh pemohon informasi sebagai wujud pemenuhan hak konstitusional," tambahnya.

Penyesuaian dan perubahan UU Keterbukaan Informasi atau Freedom of Information Act (FOIA) dijelaskan Usman, telah terjadi di beberapa negara sesuai dengan konteks masing-masing.

"Amerika Serikat misalnya, melakukan perubahan signifikan pada tahun 2016 untuk meningkatkan aksesibilitas digital dan memperkuat kewajiban pemerintah dalam merilis informasi," ungkapnya.

Sejalan dengan itu, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Ditjen IKP) mengadakan diskusi-diskusi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait isu keterbukaan informasi publik.

Lebih lanjut, Ditjen IKP menyusun draf naskah akademik revisi UU KIP, dengan dukungan dari Pusat Studi Kebijakan Negara, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

"Semoga langkah awal ini bisa mewujudkan UU KIP yang bisa mengakomodasi kepentingan setiap pihak yang terlibat di dalamnya, dan tentunya lebih tepat guna untuk memenuhi hak publik mendapatkan informasi publik dan menciptakan meaningful participation," ucap Usman.

Aspirasi yang terkumpul tentang kebutuhan revisi UU KIP, dijelaskan Direktur Tata Kelola dan Kemitraan Komunikasi Publik, Hasyim Gautama, dikelompokkan menjadi beberapa kluster. Temuan-temuan tersebut tentunya menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan draf naskah akademik revisi UU KIP.

"Kami membentuk kluster-kluster temuan masalah untuk revisi UU KIP ini. Seperti terkait dengan pemohon dan badan publik, proses pengelolaan informasi publik, termasuk Komisi Informasi (KI), informasi publik, penyelesaian sengketa, dan pasal-pasal spesifik yang perlu direvisi," jelas Hasyim.

Ia menjelaskan, berbagai aktivitas berupa pengumpulan data dan Focus Group Discussion (FGD) telah dijalankan sejak tahun 2023.

"Hingga pada tanggal 15 Desember 2023, Ketua Komisi Informasi Pusat menyerahkan salinan naskah kajian atas UU KIP yang disusun oleh Komisi Informasi Pusat kepada Menteri Kominfo, untuk disusun menjadi bagian dari usulan pemerintah," tuturnya.

Peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Wicaksana Dramanda menjelaskan, UU KIP memiliki celah dalam hal menjamin hak untuk memperoleh informasi. Salah satu yang fundamental adalah terbatasnya definisi dari badan publik yang terikat dengan UU KIP.

"Seperti perusahaan yang mendapatkan konsesi negara, seharusnya memiliki fungsi layanan publik. Tetapi karena tidak didanai oleh APBN atau APBD maka dikecualikan oleh entitas badan publik yang harus terikat oleh UU KIP," jelas Wicaksana.

Kata dia, celah lainnya yang perlu diperbaiki dari UU KIP adalah ruang lingkup pemohon informasi yang terbatas, adanya Vexatious Request (permintaan yang menyusahkan), waktu penyediaan informasi yang lama, klasifikasi informasi yang kompleks.

"Ketiadaan pengaturan operasionalisasi uji konsekuensi, dan penegakan keterbukaan informasi yang belum efektif dan efisien, karena kelembagaan KI yang belum optimal," tegasnya.

"Arah pengaturan baru tentunya dibutuhkan untuk menjadikan UU KIP lebih relevan dan menekan kendala yang muncul," sambungnya.

Peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran lainnya, Giri Ahmad Taufik menyebut, dibutuhkan perluasan pada ruang lingkup pemohon informasi dan badan publik, serta reklasifikasi informasi publik.

"Soal klasifikasi informasi publik, kami ingin menyederhanakan berdasarkan masukan. Jadi hanya dua kategori informasi, yaitu informasi publik yang wajib diumumkan dan yang wajib disediakan," jelas Giri.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1000 seconds (0.1#10.140)