Pandangan Pusako terkait Polemik Syarat Masa Jabatan Cakada
loading...
A
A
A
JAKARTA - Isu yang tengah ramai dibicarakan terkait Pilkada Serentak 2024 adalah polemik tentang beberapa petahana bupati yang diisukan tidak bisa kembali maju calon kepala daerah (Cakada) , karena aturan masa jabatan. Polemik terjadi di beberapa daerah yang petahananya pernah menggantikan bupati sebelumnya di tengah masa jabatan, karena bupatinya tersangkut kasus korupsi.
Pada PKPU Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota, pada bagian ketiga persyaratan calon, pasal 14, huruf m berbunyi "belum pernah menjabat sebagai gubernur, wakil gubenrnur, bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk calon gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati, calon wakil bupati, calon wali kota dan calon wali kota.
Pada pasal 19 huruf b dijelaskan, satu kali masa jabatan yaitu, selama lima tahun penuh;dan atau paling singkat selama 2,5 (dua setengah) tahun. Pada huruf c tertulis, masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan baik yang menjabat secara definitif maupun penjabat sementara.
Lalu pada huruf e, tertulis, penghitungan masa jabatan dilakukan sejak pelantikan. PKPU tersebut dibuat dengan mempertimbangkan putusan MK nomor 22 tahun 2009.
Baca Juga: Artis di Pilkada Pendulang Suara atau Penggembira
Mengenai polemik tersebut peneliti dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Haykal berpendapat, yang diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22 Tahun 2009, sebenarnya adalah masa jabatan pejabat definitif yang statusnya menggantikan.
"Ketika ada kepala daerah yang terpilih melalui Pilkada berhalangan tetap pada pertengahan masa jabatannya, misalnya setelah satu tahun menjabat, maka dalam empat tahun kebelakang itu akan diganti ya, melalui proses penggantian. Nah, pejabat definitif yang kemudian dilantik sebagai penggantinya melalui proses tersebut, itulah yang dimaksud dalam putusan Nomor 22 itu," kata Haykal, Minggu (4/8/2024).
Haykal memberi contoh misalnya, ada gubernur atau bupati di tengah masa jabatan berhalangan tetap, entah itu karena meninggal dunia atau tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sebagainya, lalu digantikan oleh wakilnya.
Ketika wakilnya menggantikan sebagai pejabat definitif, maka itu dihitung sebagai masa jabatan. Ketika dia menjabat lebih dari dua setengah tahun maka dia dianggap sudah melaksanakan satu periode, dan jika belum mencapai itu dianggap belum mencapai satu periode.
Hitungan dua setengah tahun adalah hitungan secara proporsional. Artinya, Ketika dia belum mencapai dua setengah tahun, dia belum dianggap melewati satu periode.
"Jadi walaupun dia sudah sangat-sangat mendekati, misalnya dua tahun, lima bulan, 10 hari, tapi kan belum genap dua setengah tahun, maka belum bisa juga dia dianggap sebagai satu periode," tegas Haykal.
Karena kata dia, keputusan MK itu sudah jelas, penghitungan secara proporsional. Bagaimana jika pejabat tersebut tidak pernah dilantik, sementara dalam PKPU tertulis penghitungan masa jabatan dilakukan sejak pelantikan.
Menurut Haykal, jika tidak dilantik berarti ada proses administrasi yang disalahi. Seharusnya tetap dilantik, karena ada pengucapan sumpah jabatan yang harus disampaikan, jadi saya rasa tidak mungkin tidak ada pelantikan untuk kepala daerah definitif.
Kata dia, ketentuan yang diatur dalam putusan MK juga tidak mengatur tentang yang menggantikan sementara ketika kepala daerah cuti. Misalnya, Bupati sedang kunjungan ke luar negeri, melakukan studi banding dan sebagainya.
Menurutnya, itu harus ada PLH (Pelaksana Harian), biasanya wakilnya, atau jika tidak ada Sekda. "Nah itu tidak termasuk sebenarnya di dalam ketentuan yang diatur bahwa dia dianggap dua setengah tahun, tidak ada ketentuan dihitung secara komulatif," ujar Haykal.
Jadi misalnya ada wakil bupati atau sekda sudah pernah beberapa kali jadi Plh dalam beberapa kali masa jabatan kepala daerah, yang jika diakumulasi mencapai dua setengah tahun menjabat.
"Apakah dia kemudian dianggap sudah satu periode menjabat, jawabannya tidak, karena kondisi tersebut tidak masuk dalam pengaturan, dan tidak ada hitungan komulatif," tutupnya.
Pada PKPU Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota, pada bagian ketiga persyaratan calon, pasal 14, huruf m berbunyi "belum pernah menjabat sebagai gubernur, wakil gubenrnur, bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk calon gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati, calon wakil bupati, calon wali kota dan calon wali kota.
Pada pasal 19 huruf b dijelaskan, satu kali masa jabatan yaitu, selama lima tahun penuh;dan atau paling singkat selama 2,5 (dua setengah) tahun. Pada huruf c tertulis, masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan baik yang menjabat secara definitif maupun penjabat sementara.
Lalu pada huruf e, tertulis, penghitungan masa jabatan dilakukan sejak pelantikan. PKPU tersebut dibuat dengan mempertimbangkan putusan MK nomor 22 tahun 2009.
Baca Juga: Artis di Pilkada Pendulang Suara atau Penggembira
Mengenai polemik tersebut peneliti dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Haykal berpendapat, yang diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22 Tahun 2009, sebenarnya adalah masa jabatan pejabat definitif yang statusnya menggantikan.
"Ketika ada kepala daerah yang terpilih melalui Pilkada berhalangan tetap pada pertengahan masa jabatannya, misalnya setelah satu tahun menjabat, maka dalam empat tahun kebelakang itu akan diganti ya, melalui proses penggantian. Nah, pejabat definitif yang kemudian dilantik sebagai penggantinya melalui proses tersebut, itulah yang dimaksud dalam putusan Nomor 22 itu," kata Haykal, Minggu (4/8/2024).
Haykal memberi contoh misalnya, ada gubernur atau bupati di tengah masa jabatan berhalangan tetap, entah itu karena meninggal dunia atau tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sebagainya, lalu digantikan oleh wakilnya.
Ketika wakilnya menggantikan sebagai pejabat definitif, maka itu dihitung sebagai masa jabatan. Ketika dia menjabat lebih dari dua setengah tahun maka dia dianggap sudah melaksanakan satu periode, dan jika belum mencapai itu dianggap belum mencapai satu periode.
Hitungan dua setengah tahun adalah hitungan secara proporsional. Artinya, Ketika dia belum mencapai dua setengah tahun, dia belum dianggap melewati satu periode.
"Jadi walaupun dia sudah sangat-sangat mendekati, misalnya dua tahun, lima bulan, 10 hari, tapi kan belum genap dua setengah tahun, maka belum bisa juga dia dianggap sebagai satu periode," tegas Haykal.
Karena kata dia, keputusan MK itu sudah jelas, penghitungan secara proporsional. Bagaimana jika pejabat tersebut tidak pernah dilantik, sementara dalam PKPU tertulis penghitungan masa jabatan dilakukan sejak pelantikan.
Menurut Haykal, jika tidak dilantik berarti ada proses administrasi yang disalahi. Seharusnya tetap dilantik, karena ada pengucapan sumpah jabatan yang harus disampaikan, jadi saya rasa tidak mungkin tidak ada pelantikan untuk kepala daerah definitif.
Kata dia, ketentuan yang diatur dalam putusan MK juga tidak mengatur tentang yang menggantikan sementara ketika kepala daerah cuti. Misalnya, Bupati sedang kunjungan ke luar negeri, melakukan studi banding dan sebagainya.
Menurutnya, itu harus ada PLH (Pelaksana Harian), biasanya wakilnya, atau jika tidak ada Sekda. "Nah itu tidak termasuk sebenarnya di dalam ketentuan yang diatur bahwa dia dianggap dua setengah tahun, tidak ada ketentuan dihitung secara komulatif," ujar Haykal.
Jadi misalnya ada wakil bupati atau sekda sudah pernah beberapa kali jadi Plh dalam beberapa kali masa jabatan kepala daerah, yang jika diakumulasi mencapai dua setengah tahun menjabat.
"Apakah dia kemudian dianggap sudah satu periode menjabat, jawabannya tidak, karena kondisi tersebut tidak masuk dalam pengaturan, dan tidak ada hitungan komulatif," tutupnya.
(maf)