Hukum vs Etik: Menyatu atau Terpisah?

Senin, 24 Agustus 2020 - 21:54 WIB
loading...
A A A
Berdasarkan pada uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa etika dan hukum dapat didikotomikan tetapi sulit untuk dipisahkan. Dalam praktik, hukum peraturan perundang-undangan dapat dibentuk tanpa etika tetapi hukum peraturan perundang-undangan tanpa memperhatikan etika yang masih diakui dan dihormati maka dapat dipastikan hukum tersebut tidak akan efektif berlakunya. Sebaliknya, agar etika dapat diterapkan secara efektif maka banyak yang ditransformasikan ke dalam bentuk hukum positif menjadi rumusan norma dalam peraturan perundang-undangan. Pada masa seperti saat ini, tampaknya agak sulit orang dengan kesadarannya sendiri tanpa upaya paksa untuk tunduk dan taat pada etika yang dibentuk oleh kelompok tertentu tanpa diberikan baju peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam praktik saat ini kebanyakan etika diberikan baju hukum sehingga sulit untuk membedakan apakah itu etika atau hukum.

Dengan demikian, pembentukan hukum tidak dapat begitu saja mengabaikan etika dan etika juga membutuhkan hukum agar mempunyai daya ikat yang kuat. Etika menjadi sumber dari hukum. Orang yang melakukan pelanggaran etika belum tentu melanggar hukum tetapi orang yang melanggar hukum pasti melanggar etika. Hukum yang baik adalah hukum yang tidak mengabaikan etika. Pengabaian etika dalam pembentukan hukum maka potensi untuk timbul masalah menjadi sangat besar. Begitu juga etika, tanpa diberikan baju hukum, etika tersebut bagai macan ompong, daya lakunya sangat terbatas. Dengan demikian, meskipun etika dan hukum tidak bisa disatukan tetapi di antara keduanya saling mengisi dan melengkapi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Berdasarkan pada uraian di atas dan dikaitkan dengan kasus Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik, sebaiknya masalah yang sudah diselesaikan melalui jalur etika melalui Dewan/Majelis Kehormatan Etik jangan diajukan keberatan atau gugatan melalui jalur hukum (PTUN). Idealnya, masalah yang sudah diselesaikan secara etik oleh Dewan/Majelis Kehormatan Etik apabila masih ada keberatan sebaiknya diselesaikan oleh lembaga keberatan/banding etik, bukan ke pengadilan. Jadi, tidak dicampuraduk antara penyelesaian secara etik dan penyelesaian secara hukum (pengadilan), karena pelanggaran etik tidak identik dengan pelanggaran hukum.

Untuk mengakomodasikan gagasan di atas, perlu dibentuk lembaga keberatan/banding etik untuk menampung dan menyelesaikan keberatan atas putusan dari Dewan/Majelis Kehormatan Etik yang dibentuk oleh berbagai profesi seperti dokter, notaris, advokat/penasihat hukum, dan profesi lainnya yang ada di Indonesia. Dalam rangka mempersingkat proses penyelesaian secara etik, dapat dirancang bahwa putusan lembaga keberatan/banding etik profesi merupakan putusan yang final dan mengikat. Tidak perlu dibuka upaya untuk kasasi atau peninjauan kembali seperti penyelesaian masalah melalui jalur hukum. Dengan demikian, lembaga keberatan/banding etik merupakan puncak dari semua putusan yang dikeluarkan oleh Dewan/Majelis Kehormatan Etik dari berbagai profesi yang ada di Indonesia.
(ras)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0883 seconds (0.1#10.140)