Hukum vs Etik: Menyatu atau Terpisah?
loading...
A
A
A
Wicipto Setiadi
Dosen Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta, Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM (2015-2017)
BEBERAPA waktu lalu sempat menjadi pemberitaan di media mengenai pemberhentian Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Evi Novida Ginting Manik. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah memberikan sanksi berupa pemberhentian tetap kepada Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik karena dinilai melanggar kode etik terkait kasus perolehan suara calon legislatif (Caleg) Partai Gerindra Daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Barat 6, Hendri Makaluasc. Untuk melaksanakan putusan tersebut, Presiden Republik Indonesia diberikan waktu oleh DKPP paling lambat tujuh hari sejak putusan tersebut dibacakan.
Atas dasar putusan DKPP tersebut, Presiden Joko Widodo pada tanggal 23 Maret 2020 menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34/P Tahun 2020 terkait pemberhentian Evi Novida Ginting Manik sebagai Komisioner KPU RI. Keppres pemberhentian itu dikeluarkan dengan mempertimbangkan surat dari DKPP. DKPP mengusulkan agar Evi Novida Ginting Manik diberhentikan dengan tidak hormat karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
Namun, Evi Novida Ginting Manik keberatan dengan putusan DKPP tersebut dan mengajukan gugatan atas Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kemudian, PTUN mengabulkan gugatan mantan Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik dan menyatakan batal Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 tertanggal 23 Maret tentang Pemberhentian dengan Tidak Hormat Anggota KPU Masa Jabatan Tahun 2017-2022. Terhadap putusan PTUN mengenai pembatalan Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 tersebut, Presiden Jokowi tidak mengajukan banding sehingga putusan PTUN tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Selanjutnya, untuk menindaklanjuti putusan PTUN tersebut Presiden Jokowi memulihkan nama baik Evi Novida Ginting Manik melalui Keppres Nomor 83/P Tahun 2020 tentang Pencabutan Keppres Nomor 34/P Tahun 2020.
Bertolak dari kasus mengenai pemberhentian dan pengangkatan kembali Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik di atas, maka menjadi menarik untuk menjadi bahan kajian. Ada dua hal yang cukup menarik untuk didiskusikan. Pertamaterkait dengan kasus Evi Novida Ginting Manik sampai ada dua Keppres yang kontradiktif, yang satu memberhentikan sedangkan yang lainnya mengangkat kembali. Sepintas, keppres yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi ini tidak konsisten. Namun, kedua Keppres tersebut semata-mata bukan karena kehendak sendiri dari Presiden Jokowi. Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 yang memberhentikan Evi Novida Ginting Manik didasarkan pada perintah putusan DKPP. Sementara, Keppres Nomor 83/P Tahun 2020 yang membatalkan Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 dan mengangkat kembali Evi Novida Ginting Manik sebagai Komisioner KPU didasarkan pada Putusan PTUN. Jadi, kedua Keppres tersebut tidak ada masalah dan sudah benar karena didasarkan pada perintah dari lembaga yang memang diberikan kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Kemudian masalah kedua yang perlu didiskusikan adalah menyangkut antara hukum dan etika. Memang sangat ideal menempatkan etika secara seiring dengan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun, antara etika dan hukum itu ranahnya berbeda tetapi memang agak sulit untuk memisahkan secara tegas. Memang sebaiknya dan sangat dimungkinkan untuk dilakukan pembatasan yang tegas, meskipun di antara keduanya dapat atau malah sering saling berkaitan. Keterkaitan tersebut tergantung pada perspektif yang digunakan dalam hukum.
Etika secara umum dapat didefinisikan sebagai nilai dan norma moral yang menjadi pedoman bagi seseorang atau kelompok dalam berperilaku. Etika sebetulnya berada di luar hukum bahkan boleh dikatakan terpisah dari hukum, namun dapat menjadi inspirasi atau sumber dalam pembentukan hukum. Oleh karena itu, menempatkan etika sebagai hukum tergantung pada bagaimana memberikan definisi hukum itu. Ketika definisi hukum sebagai perintah, larangan dan sanksi yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang legitimate, maka etika menjadi tidak termasuk dalam definisi hukum tersebut.
Selain itu, hukum juga dapat dibedakan sebagai hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Ketika hukum didefinisikan sebagai hukum yang tertulis dalam arti peraturan perundang-undangan maka etika tidak termasuk di dalamnya. Namun, ketika hukum didefinisikan sebagai hukum yang tidak tertulis, maka etika termasuk di dalamnya.
Pada saat hukum didefinisikan sebagai peraturan perundang-undangan maka etika dapat dijadikan sebagai inspirasi atau sumber dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjelma dalam perintah, larangan dan biasanya disertai dengan sanksi. Dengan demikian, pembentukan norma atau kaidah hukum tersebut bersumberkan pada etika sehingga etika yang pada awalnya hanya menjadi pedoman perilaku oleh individu atau masyarakat ditransformasikan menjadi hukum positif. Transformasi dari etika menjadi hukum positif ini berdampak pada daya laku. Ketika masih menjadi nilai atau etika maka daya lakunya sangat terbatas, yaitu hanya pada individu atau kelompok tertentu saja. Tetapi dengan dijadikan hukum positif dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka jangkauan daya lakunya menjadi lebih luas, berlaku untuk umum tidak hanya untuk individu atau kelompok tertentu saja.
Begitu juga mengenai sanksinya, ketika masih berbentuk etika maka sanksi yang dapat dijatuhkan lebih pada sanksi moral atau sosial dan daya paksanya relatif lebih lemah. Namun, ketika etika sudah ditransformasi menjadi hukum tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka sanksinya dapat lebih tegas dan daya paksanya lebih kuat yang dapat berwujud sanksi pidana baik berupa pidana penjara maupun denda, sanksi perdata atau sanksi administratif. Berdasarkan pada kekuatan daya lakunya maka banyak etika yang diberikan baju hukum (peraturan perundang-undangan). Namun, yang harus diingat adalah ketika etika diberikan baju hukum maka etika tersebut sudah bertransformasi menjadi hukum positif (peraturan perundang-undangan) bukan etika lagi.
Berdasarkan pada uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa etika dan hukum dapat didikotomikan tetapi sulit untuk dipisahkan. Dalam praktik, hukum peraturan perundang-undangan dapat dibentuk tanpa etika tetapi hukum peraturan perundang-undangan tanpa memperhatikan etika yang masih diakui dan dihormati maka dapat dipastikan hukum tersebut tidak akan efektif berlakunya. Sebaliknya, agar etika dapat diterapkan secara efektif maka banyak yang ditransformasikan ke dalam bentuk hukum positif menjadi rumusan norma dalam peraturan perundang-undangan. Pada masa seperti saat ini, tampaknya agak sulit orang dengan kesadarannya sendiri tanpa upaya paksa untuk tunduk dan taat pada etika yang dibentuk oleh kelompok tertentu tanpa diberikan baju peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam praktik saat ini kebanyakan etika diberikan baju hukum sehingga sulit untuk membedakan apakah itu etika atau hukum.
Dengan demikian, pembentukan hukum tidak dapat begitu saja mengabaikan etika dan etika juga membutuhkan hukum agar mempunyai daya ikat yang kuat. Etika menjadi sumber dari hukum. Orang yang melakukan pelanggaran etika belum tentu melanggar hukum tetapi orang yang melanggar hukum pasti melanggar etika. Hukum yang baik adalah hukum yang tidak mengabaikan etika. Pengabaian etika dalam pembentukan hukum maka potensi untuk timbul masalah menjadi sangat besar. Begitu juga etika, tanpa diberikan baju hukum, etika tersebut bagai macan ompong, daya lakunya sangat terbatas. Dengan demikian, meskipun etika dan hukum tidak bisa disatukan tetapi di antara keduanya saling mengisi dan melengkapi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan pada uraian di atas dan dikaitkan dengan kasus Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik, sebaiknya masalah yang sudah diselesaikan melalui jalur etika melalui Dewan/Majelis Kehormatan Etik jangan diajukan keberatan atau gugatan melalui jalur hukum (PTUN). Idealnya, masalah yang sudah diselesaikan secara etik oleh Dewan/Majelis Kehormatan Etik apabila masih ada keberatan sebaiknya diselesaikan oleh lembaga keberatan/banding etik, bukan ke pengadilan. Jadi, tidak dicampuraduk antara penyelesaian secara etik dan penyelesaian secara hukum (pengadilan), karena pelanggaran etik tidak identik dengan pelanggaran hukum.
Untuk mengakomodasikan gagasan di atas, perlu dibentuk lembaga keberatan/banding etik untuk menampung dan menyelesaikan keberatan atas putusan dari Dewan/Majelis Kehormatan Etik yang dibentuk oleh berbagai profesi seperti dokter, notaris, advokat/penasihat hukum, dan profesi lainnya yang ada di Indonesia. Dalam rangka mempersingkat proses penyelesaian secara etik, dapat dirancang bahwa putusan lembaga keberatan/banding etik profesi merupakan putusan yang final dan mengikat. Tidak perlu dibuka upaya untuk kasasi atau peninjauan kembali seperti penyelesaian masalah melalui jalur hukum. Dengan demikian, lembaga keberatan/banding etik merupakan puncak dari semua putusan yang dikeluarkan oleh Dewan/Majelis Kehormatan Etik dari berbagai profesi yang ada di Indonesia.
Dosen Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta, Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM (2015-2017)
BEBERAPA waktu lalu sempat menjadi pemberitaan di media mengenai pemberhentian Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Evi Novida Ginting Manik. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah memberikan sanksi berupa pemberhentian tetap kepada Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik karena dinilai melanggar kode etik terkait kasus perolehan suara calon legislatif (Caleg) Partai Gerindra Daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Barat 6, Hendri Makaluasc. Untuk melaksanakan putusan tersebut, Presiden Republik Indonesia diberikan waktu oleh DKPP paling lambat tujuh hari sejak putusan tersebut dibacakan.
Atas dasar putusan DKPP tersebut, Presiden Joko Widodo pada tanggal 23 Maret 2020 menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34/P Tahun 2020 terkait pemberhentian Evi Novida Ginting Manik sebagai Komisioner KPU RI. Keppres pemberhentian itu dikeluarkan dengan mempertimbangkan surat dari DKPP. DKPP mengusulkan agar Evi Novida Ginting Manik diberhentikan dengan tidak hormat karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
Namun, Evi Novida Ginting Manik keberatan dengan putusan DKPP tersebut dan mengajukan gugatan atas Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kemudian, PTUN mengabulkan gugatan mantan Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik dan menyatakan batal Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 tertanggal 23 Maret tentang Pemberhentian dengan Tidak Hormat Anggota KPU Masa Jabatan Tahun 2017-2022. Terhadap putusan PTUN mengenai pembatalan Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 tersebut, Presiden Jokowi tidak mengajukan banding sehingga putusan PTUN tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Selanjutnya, untuk menindaklanjuti putusan PTUN tersebut Presiden Jokowi memulihkan nama baik Evi Novida Ginting Manik melalui Keppres Nomor 83/P Tahun 2020 tentang Pencabutan Keppres Nomor 34/P Tahun 2020.
Bertolak dari kasus mengenai pemberhentian dan pengangkatan kembali Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik di atas, maka menjadi menarik untuk menjadi bahan kajian. Ada dua hal yang cukup menarik untuk didiskusikan. Pertamaterkait dengan kasus Evi Novida Ginting Manik sampai ada dua Keppres yang kontradiktif, yang satu memberhentikan sedangkan yang lainnya mengangkat kembali. Sepintas, keppres yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi ini tidak konsisten. Namun, kedua Keppres tersebut semata-mata bukan karena kehendak sendiri dari Presiden Jokowi. Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 yang memberhentikan Evi Novida Ginting Manik didasarkan pada perintah putusan DKPP. Sementara, Keppres Nomor 83/P Tahun 2020 yang membatalkan Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 dan mengangkat kembali Evi Novida Ginting Manik sebagai Komisioner KPU didasarkan pada Putusan PTUN. Jadi, kedua Keppres tersebut tidak ada masalah dan sudah benar karena didasarkan pada perintah dari lembaga yang memang diberikan kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Kemudian masalah kedua yang perlu didiskusikan adalah menyangkut antara hukum dan etika. Memang sangat ideal menempatkan etika secara seiring dengan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun, antara etika dan hukum itu ranahnya berbeda tetapi memang agak sulit untuk memisahkan secara tegas. Memang sebaiknya dan sangat dimungkinkan untuk dilakukan pembatasan yang tegas, meskipun di antara keduanya dapat atau malah sering saling berkaitan. Keterkaitan tersebut tergantung pada perspektif yang digunakan dalam hukum.
Etika secara umum dapat didefinisikan sebagai nilai dan norma moral yang menjadi pedoman bagi seseorang atau kelompok dalam berperilaku. Etika sebetulnya berada di luar hukum bahkan boleh dikatakan terpisah dari hukum, namun dapat menjadi inspirasi atau sumber dalam pembentukan hukum. Oleh karena itu, menempatkan etika sebagai hukum tergantung pada bagaimana memberikan definisi hukum itu. Ketika definisi hukum sebagai perintah, larangan dan sanksi yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang legitimate, maka etika menjadi tidak termasuk dalam definisi hukum tersebut.
Selain itu, hukum juga dapat dibedakan sebagai hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Ketika hukum didefinisikan sebagai hukum yang tertulis dalam arti peraturan perundang-undangan maka etika tidak termasuk di dalamnya. Namun, ketika hukum didefinisikan sebagai hukum yang tidak tertulis, maka etika termasuk di dalamnya.
Pada saat hukum didefinisikan sebagai peraturan perundang-undangan maka etika dapat dijadikan sebagai inspirasi atau sumber dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjelma dalam perintah, larangan dan biasanya disertai dengan sanksi. Dengan demikian, pembentukan norma atau kaidah hukum tersebut bersumberkan pada etika sehingga etika yang pada awalnya hanya menjadi pedoman perilaku oleh individu atau masyarakat ditransformasikan menjadi hukum positif. Transformasi dari etika menjadi hukum positif ini berdampak pada daya laku. Ketika masih menjadi nilai atau etika maka daya lakunya sangat terbatas, yaitu hanya pada individu atau kelompok tertentu saja. Tetapi dengan dijadikan hukum positif dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka jangkauan daya lakunya menjadi lebih luas, berlaku untuk umum tidak hanya untuk individu atau kelompok tertentu saja.
Begitu juga mengenai sanksinya, ketika masih berbentuk etika maka sanksi yang dapat dijatuhkan lebih pada sanksi moral atau sosial dan daya paksanya relatif lebih lemah. Namun, ketika etika sudah ditransformasi menjadi hukum tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka sanksinya dapat lebih tegas dan daya paksanya lebih kuat yang dapat berwujud sanksi pidana baik berupa pidana penjara maupun denda, sanksi perdata atau sanksi administratif. Berdasarkan pada kekuatan daya lakunya maka banyak etika yang diberikan baju hukum (peraturan perundang-undangan). Namun, yang harus diingat adalah ketika etika diberikan baju hukum maka etika tersebut sudah bertransformasi menjadi hukum positif (peraturan perundang-undangan) bukan etika lagi.
Berdasarkan pada uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa etika dan hukum dapat didikotomikan tetapi sulit untuk dipisahkan. Dalam praktik, hukum peraturan perundang-undangan dapat dibentuk tanpa etika tetapi hukum peraturan perundang-undangan tanpa memperhatikan etika yang masih diakui dan dihormati maka dapat dipastikan hukum tersebut tidak akan efektif berlakunya. Sebaliknya, agar etika dapat diterapkan secara efektif maka banyak yang ditransformasikan ke dalam bentuk hukum positif menjadi rumusan norma dalam peraturan perundang-undangan. Pada masa seperti saat ini, tampaknya agak sulit orang dengan kesadarannya sendiri tanpa upaya paksa untuk tunduk dan taat pada etika yang dibentuk oleh kelompok tertentu tanpa diberikan baju peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam praktik saat ini kebanyakan etika diberikan baju hukum sehingga sulit untuk membedakan apakah itu etika atau hukum.
Dengan demikian, pembentukan hukum tidak dapat begitu saja mengabaikan etika dan etika juga membutuhkan hukum agar mempunyai daya ikat yang kuat. Etika menjadi sumber dari hukum. Orang yang melakukan pelanggaran etika belum tentu melanggar hukum tetapi orang yang melanggar hukum pasti melanggar etika. Hukum yang baik adalah hukum yang tidak mengabaikan etika. Pengabaian etika dalam pembentukan hukum maka potensi untuk timbul masalah menjadi sangat besar. Begitu juga etika, tanpa diberikan baju hukum, etika tersebut bagai macan ompong, daya lakunya sangat terbatas. Dengan demikian, meskipun etika dan hukum tidak bisa disatukan tetapi di antara keduanya saling mengisi dan melengkapi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan pada uraian di atas dan dikaitkan dengan kasus Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik, sebaiknya masalah yang sudah diselesaikan melalui jalur etika melalui Dewan/Majelis Kehormatan Etik jangan diajukan keberatan atau gugatan melalui jalur hukum (PTUN). Idealnya, masalah yang sudah diselesaikan secara etik oleh Dewan/Majelis Kehormatan Etik apabila masih ada keberatan sebaiknya diselesaikan oleh lembaga keberatan/banding etik, bukan ke pengadilan. Jadi, tidak dicampuraduk antara penyelesaian secara etik dan penyelesaian secara hukum (pengadilan), karena pelanggaran etik tidak identik dengan pelanggaran hukum.
Untuk mengakomodasikan gagasan di atas, perlu dibentuk lembaga keberatan/banding etik untuk menampung dan menyelesaikan keberatan atas putusan dari Dewan/Majelis Kehormatan Etik yang dibentuk oleh berbagai profesi seperti dokter, notaris, advokat/penasihat hukum, dan profesi lainnya yang ada di Indonesia. Dalam rangka mempersingkat proses penyelesaian secara etik, dapat dirancang bahwa putusan lembaga keberatan/banding etik profesi merupakan putusan yang final dan mengikat. Tidak perlu dibuka upaya untuk kasasi atau peninjauan kembali seperti penyelesaian masalah melalui jalur hukum. Dengan demikian, lembaga keberatan/banding etik merupakan puncak dari semua putusan yang dikeluarkan oleh Dewan/Majelis Kehormatan Etik dari berbagai profesi yang ada di Indonesia.
(ras)