Adaptasi Hukum Pilkada Masa Pandemi
loading...
A
A
A
Dayanto
Peneliti Hukum, Tim Asistensi Bawaslu RI
PENULARAN Covid-19 telah menjadi pandemi global yang berdampak radikal terhadap seluruh tatanan dan nasib kehidupan umat manusia saat ini. Tak dapat dihindari, fenomena ini menjadi batu uji terhadap daya tahan dan daya adaptasi sistem bagi setiap negara. Bukan saja terhadap sistem kesehatan sebagai problem primer pandemi Covid-19, tetapi juga ujian terhadap sistem demokrasi yang dianut oleh setiap negara.
Dalam konteks sistem demokrasi, negara-negara yang menjadwalkan penyelenggaraan demokrasi elektoral pada tahun 2020 melakukan respon yang beragam terhadap dampak pandemi global Covid-19, ada yang tetap menyelenggarakan sesuai jadwal, menunda dan menjadwalkan kembali pada tahun yang sama, atau menunda dan menjadwalkan kembali pada tahun berikutnya.
Secara umum, pilihan penundaan Pilkada akibat pandemi Covid-19 oleh KPU sebagai otoritas penyelenggara tahapan mendapatkan dukungan penuh dari publik. Pertimbangan utama penundaan ini berangkat dari asas salus populi seprema lex, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Namun, terhadap pilihan penjadwalan kembali pada tahun yang sama, dalam hal ini tahapan pemungutan suara pada bulan Desember 2020 menimbulkan reaksi pro dan kontra dari berbagai kalangan yang sangat alot.
Terdapat berbagai argumen yang mengedepan dari masing-masing kalangan baik yang pro maupun kontra. Bagi kalangan kontra, penjadwalan kembali Pilkada 2020 di tahun yang sama mengandung risiko di tengah kurva pandemi Covid-19 yang masih terus merangkak naik sehingga berpotensi melanggar jaminan hak konstitusional atas kesehatan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, ketidakpastian jaminan Pilkada demokratis, dan keraguan yang berkaitan dengan derajat partisipasi pemilih.
Sebaliknya, bagi kalangan pro, penjadwalan kembali Pilkada 2020 di tahun yang sama tidak lain untuk tetap memastikan pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk memilih pemimpin (right to be vote) sehingga menghasilkan kepala daerah yang sesuai dengan dengan siklus periodisasi maupun pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk dipilih sebagai kepala daerah (right to be candidate) sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dengan tetap memastikan perlindungan keselamatan dan kesehatan semua pihak dan penyelenggaraan Pilkada demokratis.
Argumen pro dan kontra ini memiliki konsekwensi yang secara diametral berbeda, yakni penyelenggaraan Pilkada 2020 di tahun yang sama versus penundaan di tahun selanjutnya. Namun jika dicermati, keduanya memiliki intensi yang sama yakni perhatian terhadapnasib keselamatan dan kesehatan semua pihak dan jaminan penyelenggaraan Pilkada yang berbasis pada prinsip-prinsip Pilkada demokratis.
Tantangan
Perppu Nomor 2/2020 telah diundangkan dan menjadi basis legalitas penjadwalan kembali penyelenggaraan Pilkada 2020 di tahun yang sama. Kendati demikian, seperti yang telah dikalkulasi sebelumnya, penyelenggaraan Pilkada serentak lanjutan tahun 2020 harus berhadapan dengan dua tantangan sekaligus. Pertama, tantangan untuk memastikan tegaknya prinsip Pilkada demokratis. Tantangan ini merupakan tantangan yang jamak dihadapi dalam setiap momentum penyelenggaraan Pilkada apapun situasinya.
Menurut Ramlan Surbakti (2015), prinsip-prinsip Pemilu demokratis meliputi (a) kesetaraan warga negara; (b) peraturan perundang-undangan yang menjamin hak politik, pemilu berintegritas, pemilu berkeadilan, dan kepastian hukum; (c) persaingan yang bebas dan adil antarpeserta Pemilu; (d) penyelenggaraan Pemilu yang independen, profesional, berintegritas, efektif, dan efisien; (e) partisipasi semua unsur masyarakat dalam proses penyelenggaraan Pemilu; (f) proses pemungutan dan penghitungan suara, rekapitulasi hasil penghitungan suara, penetapan dan pengumuman hasil Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, transparan, dan akuntabel; dan (g) penegakan hukum dan penyelesaian sengketa Pemilu dilakukan dengan adil dan tepat waktu.
Kedua, tantangan untuk memastikan jaminan keselamatan dan kesehatan semua pihak yang terlibat dalam proses Pilkada serentak lanjutan tahun 2020 baik Pemilih, peserta Pilkada, maupun penyelenggara Pilkada. Tantangan ini merupakan tantangan spesifik dalam situasi pandemi Covid-19 yang problem primernya menyangkut sistem kesehatan.
Adaptasi Hukum
UU Pilkada telah mengatur tentang situasi yang diandaikan sebagai force majeureyang menjadi dasar penundaan Pilkada, yaknikerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana nonalam, atau gangguan lainnya.Tetapi jenis situasi force majeure yang diatur belum melingkupi situasi yang rentang kejadiannya dalam waktu panjang atau tidak dapat diprediksi waktu berakhirnya serta daya destruksi yang eksponensial seperti yang secara spesifik ditunjukan oleh karakter pandemi Covid-19 dengan seluruh implikasinya.Demikian pula, kendati Perppu Nomor 2/2020 menjadi basis legalitas penundaan Pilkada akibat pandemi Covid-19, namun belum menjadi kerangka hukum yang memadai untuk menghadapi tantangan penyelenggaraan Pilkada dalam situasi pandemi Covid-19. Padahal, dukungan peraturan perundang-undangan sebagai kerangka hukum untuk memastikan Pilkada demokratis menjadi hal yang prinsipil.
Nampaknya adagium hukum het recht hink achter de feiten aan, hukum terseok-seok mengejar peristiwadi masyarakat, secara tepat menggambarkan dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 terhadap seluruh konteks yang telah diatur oleh hukum termasuk dalam hal penyelenggaraan Pilkada.Dengan membaca filosofi dan substansi PKPU Nomor 6/2020 dan Perbawaslu Nomor 4/2020 sebagai kerangka hukum lex specialis Pilkada masa pandemi Covid-19, maka dapat ditemukan beberapa prinsip dan pokok pengaturan yang mengedepan. Pertama, prinsip Pilkada sehat dan demokratis, yang mana melalui kedua produk regulasi ini maka prinsip-prinsip Pilkada demokratis dan prinsip Pilkada sehat harus diletakkan secara integratif. Pada gilirannya, parameter kualitas Pilkada serentak lanjutan tahun 2020 bukan saja berkaitan dengan terpenuhinya prinsip-prinsip Pilkada demokratis tetapi pada saat yang sama meliputi pula terpenuhinya prinsip Pilkada sehat yang mengarusutamakan perlindungan keselamatan dan kesehatan semua pihak dalam penyelenggaraan Pilkada dari ancaman Covid-19.
Kedua, pengaturan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19 dalam seluruh tahapan dan aktivitas penyelenggaraan Pilkada serentak lanjutan tahun 2020 yang mengharuskan terjadi tatap muka. Hal ini merupakan aktualisasi dari prinsip Pilkada sehat yang mengatur hal-hal antara lain pemakaian Alat Pelindung Diri (APD), penyediaan sarana sanitasi cuci tangan menggunakan sabun dengan air mengalir atau cairan antiseptik berbasis alkohol, pengecekan kondisi/suhu tubuh, pengaturan menjaga jarak aman (phisical distancing), pembatasan jumlah peserta yang mengharuskan kehadiran fisik, penghindaran kontak fisik dengan orang, alat atau benda tertentu, sterilisasi ruangan dan peralatan, serta menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.
Ketiga, pengaturan penggunaan teknologi informasi dalam penyelenggaraan tahapan, pengawasan, penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa Pemilihan terhadap rangkaian tahapan yang memungkinkan untuk dilakukan melalui sarana teknologi informasi. Berdasarkan karakter umumnya, penularan Covid-19 terjadi melalui medium pertemuan orang secara fisik maka penggunaan teknologi informasi untuk mensubtitusi aktivitas pertemuan secara fisik dalam rangkaian tahapan penyelenggaraan Pilkada sangat relevan dengan upaya mencegah atau mengendalikan penularan Covid-19. Berdasarkan pengalaman, penggunaan teknologi informasi dalam penyelenggaraan Pemilu maupun Pilkada bukan hal baru, tetapi melalui PKPU Nomor 6/2020 dan Perbawaslu Nomor 4/2020 ini pengggunaan teknologi informasi lebih diintensifkan dan bahkan menjadi pilihan prosedur dalam penyelenggaraan Pilkada serentak lanjutan dalam situasi pandemi Covid-19.
Dengan adanya PKPU Nomor6/2020 dan Perbawaslu Nomor 4/2020 sebagai wujud adaptasi hukum Pilkada dalam masa pandemi Covid-19 maka Pilkada serentak lanjutan tahun 2020 yang dikuatirkan akan menjadi klaster baru penularan Covid-19 justru dapat dikelola menjadi hal yang sebaliknya, yakni momentum untuk mengkonsolidasikan secara masif dan terus menerus kesadaran semua pihak untuk menjadi agen utama perang melawan Covid-19 melalui ketaatan penggunaan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19 baik dalam proses penyelenggaraan Pilkada maupun dalam rutinitas kerja dan aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, peranan penyelenggara Pemilu dalam setiap tingkatan sebagai model dan motor sosialisasi Pilkada sehat dan demokratis menjadi hal utama.
Peneliti Hukum, Tim Asistensi Bawaslu RI
PENULARAN Covid-19 telah menjadi pandemi global yang berdampak radikal terhadap seluruh tatanan dan nasib kehidupan umat manusia saat ini. Tak dapat dihindari, fenomena ini menjadi batu uji terhadap daya tahan dan daya adaptasi sistem bagi setiap negara. Bukan saja terhadap sistem kesehatan sebagai problem primer pandemi Covid-19, tetapi juga ujian terhadap sistem demokrasi yang dianut oleh setiap negara.
Dalam konteks sistem demokrasi, negara-negara yang menjadwalkan penyelenggaraan demokrasi elektoral pada tahun 2020 melakukan respon yang beragam terhadap dampak pandemi global Covid-19, ada yang tetap menyelenggarakan sesuai jadwal, menunda dan menjadwalkan kembali pada tahun yang sama, atau menunda dan menjadwalkan kembali pada tahun berikutnya.
Secara umum, pilihan penundaan Pilkada akibat pandemi Covid-19 oleh KPU sebagai otoritas penyelenggara tahapan mendapatkan dukungan penuh dari publik. Pertimbangan utama penundaan ini berangkat dari asas salus populi seprema lex, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Namun, terhadap pilihan penjadwalan kembali pada tahun yang sama, dalam hal ini tahapan pemungutan suara pada bulan Desember 2020 menimbulkan reaksi pro dan kontra dari berbagai kalangan yang sangat alot.
Terdapat berbagai argumen yang mengedepan dari masing-masing kalangan baik yang pro maupun kontra. Bagi kalangan kontra, penjadwalan kembali Pilkada 2020 di tahun yang sama mengandung risiko di tengah kurva pandemi Covid-19 yang masih terus merangkak naik sehingga berpotensi melanggar jaminan hak konstitusional atas kesehatan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, ketidakpastian jaminan Pilkada demokratis, dan keraguan yang berkaitan dengan derajat partisipasi pemilih.
Sebaliknya, bagi kalangan pro, penjadwalan kembali Pilkada 2020 di tahun yang sama tidak lain untuk tetap memastikan pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk memilih pemimpin (right to be vote) sehingga menghasilkan kepala daerah yang sesuai dengan dengan siklus periodisasi maupun pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk dipilih sebagai kepala daerah (right to be candidate) sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dengan tetap memastikan perlindungan keselamatan dan kesehatan semua pihak dan penyelenggaraan Pilkada demokratis.
Argumen pro dan kontra ini memiliki konsekwensi yang secara diametral berbeda, yakni penyelenggaraan Pilkada 2020 di tahun yang sama versus penundaan di tahun selanjutnya. Namun jika dicermati, keduanya memiliki intensi yang sama yakni perhatian terhadapnasib keselamatan dan kesehatan semua pihak dan jaminan penyelenggaraan Pilkada yang berbasis pada prinsip-prinsip Pilkada demokratis.
Tantangan
Perppu Nomor 2/2020 telah diundangkan dan menjadi basis legalitas penjadwalan kembali penyelenggaraan Pilkada 2020 di tahun yang sama. Kendati demikian, seperti yang telah dikalkulasi sebelumnya, penyelenggaraan Pilkada serentak lanjutan tahun 2020 harus berhadapan dengan dua tantangan sekaligus. Pertama, tantangan untuk memastikan tegaknya prinsip Pilkada demokratis. Tantangan ini merupakan tantangan yang jamak dihadapi dalam setiap momentum penyelenggaraan Pilkada apapun situasinya.
Menurut Ramlan Surbakti (2015), prinsip-prinsip Pemilu demokratis meliputi (a) kesetaraan warga negara; (b) peraturan perundang-undangan yang menjamin hak politik, pemilu berintegritas, pemilu berkeadilan, dan kepastian hukum; (c) persaingan yang bebas dan adil antarpeserta Pemilu; (d) penyelenggaraan Pemilu yang independen, profesional, berintegritas, efektif, dan efisien; (e) partisipasi semua unsur masyarakat dalam proses penyelenggaraan Pemilu; (f) proses pemungutan dan penghitungan suara, rekapitulasi hasil penghitungan suara, penetapan dan pengumuman hasil Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, transparan, dan akuntabel; dan (g) penegakan hukum dan penyelesaian sengketa Pemilu dilakukan dengan adil dan tepat waktu.
Kedua, tantangan untuk memastikan jaminan keselamatan dan kesehatan semua pihak yang terlibat dalam proses Pilkada serentak lanjutan tahun 2020 baik Pemilih, peserta Pilkada, maupun penyelenggara Pilkada. Tantangan ini merupakan tantangan spesifik dalam situasi pandemi Covid-19 yang problem primernya menyangkut sistem kesehatan.
Adaptasi Hukum
UU Pilkada telah mengatur tentang situasi yang diandaikan sebagai force majeureyang menjadi dasar penundaan Pilkada, yaknikerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana nonalam, atau gangguan lainnya.Tetapi jenis situasi force majeure yang diatur belum melingkupi situasi yang rentang kejadiannya dalam waktu panjang atau tidak dapat diprediksi waktu berakhirnya serta daya destruksi yang eksponensial seperti yang secara spesifik ditunjukan oleh karakter pandemi Covid-19 dengan seluruh implikasinya.Demikian pula, kendati Perppu Nomor 2/2020 menjadi basis legalitas penundaan Pilkada akibat pandemi Covid-19, namun belum menjadi kerangka hukum yang memadai untuk menghadapi tantangan penyelenggaraan Pilkada dalam situasi pandemi Covid-19. Padahal, dukungan peraturan perundang-undangan sebagai kerangka hukum untuk memastikan Pilkada demokratis menjadi hal yang prinsipil.
Nampaknya adagium hukum het recht hink achter de feiten aan, hukum terseok-seok mengejar peristiwadi masyarakat, secara tepat menggambarkan dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 terhadap seluruh konteks yang telah diatur oleh hukum termasuk dalam hal penyelenggaraan Pilkada.Dengan membaca filosofi dan substansi PKPU Nomor 6/2020 dan Perbawaslu Nomor 4/2020 sebagai kerangka hukum lex specialis Pilkada masa pandemi Covid-19, maka dapat ditemukan beberapa prinsip dan pokok pengaturan yang mengedepan. Pertama, prinsip Pilkada sehat dan demokratis, yang mana melalui kedua produk regulasi ini maka prinsip-prinsip Pilkada demokratis dan prinsip Pilkada sehat harus diletakkan secara integratif. Pada gilirannya, parameter kualitas Pilkada serentak lanjutan tahun 2020 bukan saja berkaitan dengan terpenuhinya prinsip-prinsip Pilkada demokratis tetapi pada saat yang sama meliputi pula terpenuhinya prinsip Pilkada sehat yang mengarusutamakan perlindungan keselamatan dan kesehatan semua pihak dalam penyelenggaraan Pilkada dari ancaman Covid-19.
Kedua, pengaturan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19 dalam seluruh tahapan dan aktivitas penyelenggaraan Pilkada serentak lanjutan tahun 2020 yang mengharuskan terjadi tatap muka. Hal ini merupakan aktualisasi dari prinsip Pilkada sehat yang mengatur hal-hal antara lain pemakaian Alat Pelindung Diri (APD), penyediaan sarana sanitasi cuci tangan menggunakan sabun dengan air mengalir atau cairan antiseptik berbasis alkohol, pengecekan kondisi/suhu tubuh, pengaturan menjaga jarak aman (phisical distancing), pembatasan jumlah peserta yang mengharuskan kehadiran fisik, penghindaran kontak fisik dengan orang, alat atau benda tertentu, sterilisasi ruangan dan peralatan, serta menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.
Ketiga, pengaturan penggunaan teknologi informasi dalam penyelenggaraan tahapan, pengawasan, penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa Pemilihan terhadap rangkaian tahapan yang memungkinkan untuk dilakukan melalui sarana teknologi informasi. Berdasarkan karakter umumnya, penularan Covid-19 terjadi melalui medium pertemuan orang secara fisik maka penggunaan teknologi informasi untuk mensubtitusi aktivitas pertemuan secara fisik dalam rangkaian tahapan penyelenggaraan Pilkada sangat relevan dengan upaya mencegah atau mengendalikan penularan Covid-19. Berdasarkan pengalaman, penggunaan teknologi informasi dalam penyelenggaraan Pemilu maupun Pilkada bukan hal baru, tetapi melalui PKPU Nomor 6/2020 dan Perbawaslu Nomor 4/2020 ini pengggunaan teknologi informasi lebih diintensifkan dan bahkan menjadi pilihan prosedur dalam penyelenggaraan Pilkada serentak lanjutan dalam situasi pandemi Covid-19.
Dengan adanya PKPU Nomor6/2020 dan Perbawaslu Nomor 4/2020 sebagai wujud adaptasi hukum Pilkada dalam masa pandemi Covid-19 maka Pilkada serentak lanjutan tahun 2020 yang dikuatirkan akan menjadi klaster baru penularan Covid-19 justru dapat dikelola menjadi hal yang sebaliknya, yakni momentum untuk mengkonsolidasikan secara masif dan terus menerus kesadaran semua pihak untuk menjadi agen utama perang melawan Covid-19 melalui ketaatan penggunaan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19 baik dalam proses penyelenggaraan Pilkada maupun dalam rutinitas kerja dan aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, peranan penyelenggara Pemilu dalam setiap tingkatan sebagai model dan motor sosialisasi Pilkada sehat dan demokratis menjadi hal utama.
(ras)