Pengamat Sebut Buzzer dan Influencer Benalu Demokrasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peretasan akun media sosial (Medsos) sejumlah tokoh yang kritis terhadap pemerintah terus menyita perhatian banyak pihak. Adapun tokoh dimaksud yang mengalami serangan siber itu di antaranya Ahli Epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono dan Deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Din Syamsuddin.
"Sebenarnya kita enggak perlu kaget. Biasa saja yang begini-begini karena sudah biasa yang kritis terhadap pemerintah akan diganggu buzzer yang dipelihara Istana dan Presiden demi menjaga dan meng-counter serangan ke penguasa," ujar Analis Politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago kepada SINDOnews, Minggu (23/8/2020). (Baca juga: Pembajakan Akun Dinilai Pelanggaran HAM)
Dia mengatakan, banyak pihak sudah mengetahui berapa uang negara yang digelontorkan untuk membiayai buzzer tersebut, yakni hampir ratusan miliar rupiah. "Sangat disayangkan kelakuan begini, kenapa enggak perang pikiran dan narasi saja, kenapa harus bunuh karakter orang yang kritis ke pemerintah, kenapa harus dibajak akun media sosial mereka," ungkapnya.
Menurut dia, yang harusnya ditakuti itu pemerintah karena punya polisi, tentara, dan macam-macam kekuasaan dan bisa berbuat semaunnya. "Bukan tokoh oposisi yang harus ditakuti dan dikhawatirkan," katanya. (Baca juga: Usut Kasus Peretasan Media dan Akun Pribadi Tanpa Diskriminasi)
Dia mengatakan, penggunaan buzzer itu membuat bangsa ini belum dewasa. "Masih senang membunuh karakter personal yang berbeda pandangan terhadap pemerintah, belum siap bertarung, berdebat pada gagasan, narasi, pikiran dan kata-kata yang mestinya ada ruang yang besar untuk perbedaan pikiran tersebut," ujarnya. (Baca juga: Politikus Demokrat: Lawan Kita Covid, Bukan Kebebasan Berpendapat)
Dia pun berpendapat, seharusnya tokoh-tokoh yang kritis terhadap pemerintah difasilitasi negara, yakni dibuatkan panggung untuk mereka adu pikiran, adu pendapat dan gagasan. "Kan harusnya begitu, bukan di-down grade karakter mereka dengan fitnah yang macam-macam tersebut. Keberadaan buzzer dan influencer jelas menjadi benalu demokrasi, bukan ciri dari negara demokratis melainkan komunis dimana informasi dicengkeram pemerintah, media sosial dikendalikan pemerintah, seenaknya membajak akun media sosial tokoh oposisi difitnah macam-macam," tambah Pangi.
Lebih lanjut dia mengatakan, memilihara buzzer dan influencer dengan menggunakan uang negara jelas merusak tatanan nilai-nilai hukum dan demokrasi itu sendiri yang dipakai penguasa menjadi alat kekuasaan. "Untuk membunuh dan memfitnah lawan-kawan politik yang selama ini berseberangan dengan pemerintah, dibungkam pakai anggaran buzzer dan influencer tersebut," katanya.
"Sebenarnya kita enggak perlu kaget. Biasa saja yang begini-begini karena sudah biasa yang kritis terhadap pemerintah akan diganggu buzzer yang dipelihara Istana dan Presiden demi menjaga dan meng-counter serangan ke penguasa," ujar Analis Politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago kepada SINDOnews, Minggu (23/8/2020). (Baca juga: Pembajakan Akun Dinilai Pelanggaran HAM)
Dia mengatakan, banyak pihak sudah mengetahui berapa uang negara yang digelontorkan untuk membiayai buzzer tersebut, yakni hampir ratusan miliar rupiah. "Sangat disayangkan kelakuan begini, kenapa enggak perang pikiran dan narasi saja, kenapa harus bunuh karakter orang yang kritis ke pemerintah, kenapa harus dibajak akun media sosial mereka," ungkapnya.
Menurut dia, yang harusnya ditakuti itu pemerintah karena punya polisi, tentara, dan macam-macam kekuasaan dan bisa berbuat semaunnya. "Bukan tokoh oposisi yang harus ditakuti dan dikhawatirkan," katanya. (Baca juga: Usut Kasus Peretasan Media dan Akun Pribadi Tanpa Diskriminasi)
Dia mengatakan, penggunaan buzzer itu membuat bangsa ini belum dewasa. "Masih senang membunuh karakter personal yang berbeda pandangan terhadap pemerintah, belum siap bertarung, berdebat pada gagasan, narasi, pikiran dan kata-kata yang mestinya ada ruang yang besar untuk perbedaan pikiran tersebut," ujarnya. (Baca juga: Politikus Demokrat: Lawan Kita Covid, Bukan Kebebasan Berpendapat)
Dia pun berpendapat, seharusnya tokoh-tokoh yang kritis terhadap pemerintah difasilitasi negara, yakni dibuatkan panggung untuk mereka adu pikiran, adu pendapat dan gagasan. "Kan harusnya begitu, bukan di-down grade karakter mereka dengan fitnah yang macam-macam tersebut. Keberadaan buzzer dan influencer jelas menjadi benalu demokrasi, bukan ciri dari negara demokratis melainkan komunis dimana informasi dicengkeram pemerintah, media sosial dikendalikan pemerintah, seenaknya membajak akun media sosial tokoh oposisi difitnah macam-macam," tambah Pangi.
Lebih lanjut dia mengatakan, memilihara buzzer dan influencer dengan menggunakan uang negara jelas merusak tatanan nilai-nilai hukum dan demokrasi itu sendiri yang dipakai penguasa menjadi alat kekuasaan. "Untuk membunuh dan memfitnah lawan-kawan politik yang selama ini berseberangan dengan pemerintah, dibungkam pakai anggaran buzzer dan influencer tersebut," katanya.
(cip)