Pengacara Nilai Status Tersangka Sjamsul Nursalim Cederai Kesepakatan

Rabu, 12 Juni 2019 - 12:48 WIB
Pengacara Nilai Status Tersangka Sjamsul Nursalim Cederai Kesepakatan
Pengacara Nilai Status Tersangka Sjamsul Nursalim Cederai Kesepakatan
A A A
JAKARTA - Penetapan Sjamsul Nursalim (SN) dan istrinya, Itjih Nursalim (IN) sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai mencederai dan mengingkari perjanjian yang dibuat pemerintah dengan warga negara. Hal itu diungkapkan kuasa hukum Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail, di Jakarta Rabu (12/6/2018).

"SN telah mengikuti permintaan pemerintah untuk menandatangani MSAA pada 21 September 1998 kemudian ditindaklanjuti dengan memberikan surat R&D pada 25 Mei 1999. Dalam agreeement itu pemerintah berjanji untuk melepaskan SN dari segala tuntutan hukum atau segala hak hukum apa pun yang mungkin dimiliki pemerintah," tuturnya.

Berdasarkan prinsip hukum yang tertuang dalam Pasal 1338 KUH Perdata, lanjut dia, suatu perjanjian bersifat mengikat kedua belah pihak yang membuatnya, selayaknya undang-undang.

"Sekarang KPK menjadikan SN dan IN sebagai tersangka,” ujar Maqdir.

Penandatanganan MSSA itu sebagai bagian upaya mendukung pemerintah yang tengah berusaha keras mengatasi kesulitan dalam memulihkan ekonomi akibat krisis.

Menurut Maqdir, KPK tidak bisa mengabaikan perjanjian yang dibuat pemerintah, karena institusi ini adalah bagian dari pemerintah, sebagaimana ditegaskan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 tanggal 3 Februari 2018.

Dia menegaskan KPK harus menghormati seluruh perjanjian yang sudah dibuat oleh pemerintah secara sah dan dilindungi undang-undang maupun Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR).

“Apalagi, KPK menetapkan SN dan IN sebagai tersangka yang merugikan keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Padahal angka sebesar itu muncul dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2017 yang prosesnya sangat aneh dan tidak memenuhi standar pemeriksaan keuangan negara,” tandasnya.

Audit investigasi ini permintaan dan berdasarkan data yang disodorkan KPK. Prosesnya dinilai Maqdir tidak memenuhi standar karena tidak ada partisipasi auditor dan tidak ada konfirmasi ataupun klarifikasi kepada pihak-pihak terkait dalam MSAA.

"Selain tidak lazim, proses audit BPK 2017 itu juga justru bertentangan dengan dua hasil audit sebelumnya oleh BPK," sebut Maqdir.

Saat ini, pihak SN tengah mengajukan gugatan atas hasil dan proses audit BPK 2017 ini Pengadilan Negeri Tangerang, Banten. Kini proses pemeriksaan perkara dan persidangannya masih berlangsung.

SN menandatangani MSAA pada 21 September 1998. Kemudian, pada 25 Mei 1999 Menteri Keuangan dan Ketua BPPN memberikan kepadanya Surat Pembebasan dan Pelepasan (Release and Discharge - R&D). Dokumen negara itu kemudian dipertegas dalam akta Letter ofStatement yang dibuat di hadapan Notaris Merryana Suryana. Isinya, antara lain, menyatakan SN telah memenuhi seluruh kewajiban pembayaran BLBI dan hal terkait lainnya, sehingga pemerintah menerbitkan Release& Discharge kepadanya.

Dengan surat tersebut, pemerintah menjamin dan membebaskan para pemegang saham dari tuntutan hukum apa pun di kemudian hari berkaitan dengan penyelesaian BLBI. Pemerintah berjanji tidak akan melakukan tuntutan hukum, baik secara pidana maupun perdata.

Jaminan kepastian hukum atas penyelesaian BLBI ini kemudian dipayungi Undang-Undang RI Nomor 25/2000 (UU Propenas), Tap MPR Nomor X/2001, Tap MPR Nomor VI/2002 serta Inpres No. 8/2002. Seluruhnya menegaskan bahwa bagi pemegang saham bank yang telah menandatangani MSAA dan telah memenuhi kewajibannyanya wajib diberikan jaminan kepastian hukum.

Hasil audit investigasi BPK pada 31 Mei 2002 mengkonfirmasi seluruh kewajiban SN telah dipenuhi pada tahun 1999. Oleh karena itu, kata Maqdir, Surat Keterangan Lunas (SKL) yang dikeluarkan BPPN pada 26 April 2004 hanya merupakan surat penegasan bahwa kewajiban SN telah dipenuhi pada tahun 1999.

Dengan demikian, sejak tahun 1999 seluruh aset-aset termasuk hutang petambak Dipasena telah menjadi milik dan sepenuhnya dikelola Pemerintah. Apakah hutang Petambak itu akan diberikan keringanan (haircut), dihapuskan, ataupun dijual sudah sepenuhnya kewenangan Pemerintah, sudah bukan urusan SN lagi. Menjadi tidak adil, jika sekarang SN kembali dikait-kaitkan dengan dihapuskannya hutang petambak Dipasena tersebut.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6326 seconds (0.1#10.140)