Perlu Upaya Bersama Lawan Radikalisasi via Media Sosial

Selasa, 11 Juni 2019 - 16:41 WIB
Perlu Upaya Bersama Lawan Radikalisasi via Media Sosial
Perlu Upaya Bersama Lawan Radikalisasi via Media Sosial
A A A
JAKARTA - Media sosial (medsos) dengan berbagai manfaat dan dampaknya memunculkan berbagai fenomena di tengah masyarakat.

Keberadaan medsos juga terasa saat Pilpres 2019. Medsos membuat perhelatan tersebut semakin ramai. Bahkan tidak sedikit beredar konten mengandung hoaks, adu domba, ujaran kebencian.

Terakhir, kasus bom bunuh diri di Pos Polisi Kartasura, Solo, dua hari sebelum Hari Raya Idul Fitri. Pelakunya diketahui teradikalisasi secara online.

“Radikalisasi secara online itu sebenarnya bukan fenomena baru. Dulu ada kasus Alam Sutra dan penyerangan gereja di Medan. Itu termasuk self radicalization,” kata Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Sri Yunanto di Jakarta, Selasa (11/6/2019).

Dalam banyak diskusi publik dan kasus terorisme, kata dia, terungkap juga keberadaan lone wolf atau aksi terorisme yang dilakukan sendirian. Tapi, itu juga sulit dibilang lone wolf karena bisa jadi mereka lebih dulu terkait jaringan terorisme, baru kemudian terjadi radikalisasi melalui online.

Menyikapi radikalisasi via online atau medsos ini, lanjut Yunanto, pemerintah tidak bisa mengatasi sendiri. Perkembangan media online merupakan bagian dari kebebasan media melalui online yang faktanya tidak hanya membawa pengaruh baik, tetapi juga pengaruh buruk seperti pornografi, perjudian, dan terorisme.

“Inilah masalahnya karena yang menanggung beban negatif itu pemerintah, sementara penyedia platform enak-enak saja. Contohnya Youtube, kalau tayangannya banyak dapat iklan, pasti mereka untung, sementara kalau ada konten radikalisasi ini mereka cuci tangan, baru pemerintah yang take down,” tutur pakar politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia ini.

Ke depan, lanjut Yunanto, masalah ini harus menjadi agenda bersama untuk mengatasinya. Salah satunya mencari carta mengatasi kebebasan medsos yang pengawasannya di bawah pemerintah dengan tetap bekerja sama dengan provider penyedia platform.

Di Jerman, kata dia, platform yang memuat konten negatif bisa kena denda sampai Rp6 miliar. Sanksi itu cukup efektif untuk menghilangkan konten-konten negatif, terutama terorisme.

“Artinya, kalau platform tetap seenaknya dengan tidak melakukan screening, mereka pasti akan bangkrut kena denda.Saya rasa cara itu bisa diterapkan di Indonesia,” tuturnya.

Menurut Yunanto, langkah ini harus menjadi agenda bersama. Kisalnya apakah UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang direvisi atau dibuat peraturan pemerintah.

Apabila tidak demikian, sambung dia, medsos akan menjadi tempat penyebaran konten negatif yang provokatif terutama radikalisasi.

Menyikapi langkah pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dengan melakukan banyak take down atau penutupan website, dia menilai sifatnya hanya reaktif.Apalagi banyak bermunculan website dengann konten negatif. Misalnya, yang di-take down 10 website, yang muncul 100 website lagi.
“Kalau terus begini kita pasti keteter. Baiknya masyarakat berani mengeluarkan ide dan mengajak para politikus untuk membuat terobosan. Soalnya kalau yang melakukan pemerintah, pasti dituduh macam-macam. Intinya sekarang penyedia platform harus punya tanggung jawab,” tuturnya.

Dia menegaskan, apabila penyedia platform bersedia melakukan screening terhadap konten-konten websitenya, itu akan lebih memudahkan dalam mewaspadai radikalisasi melalui medsos ini.Dengan demikian, pemerintah sebagai regulator harus bisa memperkuat, apalagi sudah ada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai tata cara bermedsos yang bijak.
“Kalau tiga-tiganya bersinergi insya Allah bisa kita tekan cyber crime termasuk extra ordinary crime berupa ideologisasi, radikalisasi, dan berbagai hal negatif di medsos,” tutur Sri Yunanto.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4603 seconds (0.1#10.140)