Istitha'ah Kesehatan Haji
loading...
A
A
A
Kini saat musim haji sudah memasuki tahap akhir dalam bentuk kepulangan jemaah haji Indonesia dari Arab Saudi ke tanah air, perbandingan angka kematian jemaah haji pasca Armuzna bagi musim haji 1444 H/2023 M dibanding musim haji sebelum-sebelumnya cukup signifikan.
Pada musim haji 1445 H/2024 M, hingga tulisan ini dibuat (02 Juni 2024) tercatat total-kumulatif masih dalam kisaran belasan di atas tiga ratus jemaah haji. Bandingkan dengan musim haji sebelumnya yang total mencapai angka di atas enam ratus.
Data di atas menunjukkan bahwa standar istitha’ah kesehatan melalui kebijakan “Istitha’ah kesehatan dulu, baru pelunasan ongkos haji” di atas sangat efektif. Standar kesehatan itu bisa menekan problem kematian jemaah haji Indonesia selama pelaksanaan haji di Arab Saudi. Jumlah jemaah haji yang masuk kategori kelompok risiko tinggi (risti) kesehatan makin menurun.
Maut memang kuasa Tuhan. Namun promosi kesehatan dan sekaligus pencegahan angka individu yang bermasalah dengan kesehatan harus dilakukan semaksimal mungkin oleh siapapun mereka. Nah, kriteria istitha’ah kesehatan itu instrumen penting untuk melihat suksesnya promosi kesehatan dimaksud.
Tentu jika ada praktik yang tidak benar dalam proses pemenuhan kriteria istitha’ah kesehatan di atas, masalah akan kembali kepada diri jemaah haji sendiri. “Ada seorang lelaki tua menyesal setelah mendapati isterinya meninggal dalam proses menjalani rangkaian ibadah haji di Arab Saudi,” cerita salah seorang pimpinan penyelenggara haji Indonesia siang itu.
Inisialnya JJ. Dia menceritakan kisah itu saat makan siang bersama di ruang makan, di Hotel Assel, Jeddah, Senen (02 Juli 2024), hari terakhir sebelum malamnya rombongan tim Monitoring dan Evaluasi haji 2024 kembali ke tanah air.
Kata “menyesal” dari pernyataan lelaki tua itu membuat pimpinan petugas haji Indonesia yang menceritakan ulang kisah itu semakin terangsang untuk bertanya lebuh jauh. “Lalu, kenapa Bapak menyesal? Bukankah isteri meninggal di Tanah Suci yang banyak dirindukan? Apa yang membuat Bapak menyesal?” Begitu tanya Pak JJ dalam ceritanya kala itu.
Lelaki tua itu menjawab: “Seandainya saya tidak melakukan kekeliruan, mungkin cerita isteri saya tidak seperti ini.” Mendengar pernyataan itu, sang petugas haji Indonesia itu makin tertarik untuk bertanya lebih mendalam. “Apa kekeliruan Bapak?” tanya petugas haji Indonesia itu seakan-akan menginvestigasi.
Lelaki tua itu pun menceritakan lebih detail seperti ini: “Saat mengurus surat kesehatan di Indonesia sebagai persyaratan haji, isteri saya menggunakan air kencing anak saya. Sebelum pergi ke rumah sakit untuk tes urin, isteri saya meminta anak saya untuk mengisi botol plastik kecil dengan urinnya. Lalu dia bawa saat ke rumah sakit. Nah, yang dia isikan ke botol urin untuk tes kesehatan di rumah sakit itu justeru dari urin anaknya yang telah dia simpan dari rumah. Hasil tes urinnya pun memang oke. Tapi justeru karena itu, isteriku di sini saat haji harus menjemput ajalnya karena dia tak kuat lagi bertahan dengan penyakit bawaannya.”
Mungkin lelaki tua itu tak pernah berpikir panjang dengan akibat buruk dari kekeliruan perilakunya dengan tidak jujur dalam uji Kesehatan semasa di Indonesia. Saat kriteria istitha’ah kesehatan waktu itu bisa dipenuhi dalam proses pengurusannya, kala itu mungkin hati senang-senang saja. Bahagia karena akan segera bisa berangkat haji.
Pada musim haji 1445 H/2024 M, hingga tulisan ini dibuat (02 Juni 2024) tercatat total-kumulatif masih dalam kisaran belasan di atas tiga ratus jemaah haji. Bandingkan dengan musim haji sebelumnya yang total mencapai angka di atas enam ratus.
Data di atas menunjukkan bahwa standar istitha’ah kesehatan melalui kebijakan “Istitha’ah kesehatan dulu, baru pelunasan ongkos haji” di atas sangat efektif. Standar kesehatan itu bisa menekan problem kematian jemaah haji Indonesia selama pelaksanaan haji di Arab Saudi. Jumlah jemaah haji yang masuk kategori kelompok risiko tinggi (risti) kesehatan makin menurun.
Maut memang kuasa Tuhan. Namun promosi kesehatan dan sekaligus pencegahan angka individu yang bermasalah dengan kesehatan harus dilakukan semaksimal mungkin oleh siapapun mereka. Nah, kriteria istitha’ah kesehatan itu instrumen penting untuk melihat suksesnya promosi kesehatan dimaksud.
Tentu jika ada praktik yang tidak benar dalam proses pemenuhan kriteria istitha’ah kesehatan di atas, masalah akan kembali kepada diri jemaah haji sendiri. “Ada seorang lelaki tua menyesal setelah mendapati isterinya meninggal dalam proses menjalani rangkaian ibadah haji di Arab Saudi,” cerita salah seorang pimpinan penyelenggara haji Indonesia siang itu.
Inisialnya JJ. Dia menceritakan kisah itu saat makan siang bersama di ruang makan, di Hotel Assel, Jeddah, Senen (02 Juli 2024), hari terakhir sebelum malamnya rombongan tim Monitoring dan Evaluasi haji 2024 kembali ke tanah air.
Kata “menyesal” dari pernyataan lelaki tua itu membuat pimpinan petugas haji Indonesia yang menceritakan ulang kisah itu semakin terangsang untuk bertanya lebuh jauh. “Lalu, kenapa Bapak menyesal? Bukankah isteri meninggal di Tanah Suci yang banyak dirindukan? Apa yang membuat Bapak menyesal?” Begitu tanya Pak JJ dalam ceritanya kala itu.
Lelaki tua itu menjawab: “Seandainya saya tidak melakukan kekeliruan, mungkin cerita isteri saya tidak seperti ini.” Mendengar pernyataan itu, sang petugas haji Indonesia itu makin tertarik untuk bertanya lebih mendalam. “Apa kekeliruan Bapak?” tanya petugas haji Indonesia itu seakan-akan menginvestigasi.
Lelaki tua itu pun menceritakan lebih detail seperti ini: “Saat mengurus surat kesehatan di Indonesia sebagai persyaratan haji, isteri saya menggunakan air kencing anak saya. Sebelum pergi ke rumah sakit untuk tes urin, isteri saya meminta anak saya untuk mengisi botol plastik kecil dengan urinnya. Lalu dia bawa saat ke rumah sakit. Nah, yang dia isikan ke botol urin untuk tes kesehatan di rumah sakit itu justeru dari urin anaknya yang telah dia simpan dari rumah. Hasil tes urinnya pun memang oke. Tapi justeru karena itu, isteriku di sini saat haji harus menjemput ajalnya karena dia tak kuat lagi bertahan dengan penyakit bawaannya.”
Mungkin lelaki tua itu tak pernah berpikir panjang dengan akibat buruk dari kekeliruan perilakunya dengan tidak jujur dalam uji Kesehatan semasa di Indonesia. Saat kriteria istitha’ah kesehatan waktu itu bisa dipenuhi dalam proses pengurusannya, kala itu mungkin hati senang-senang saja. Bahagia karena akan segera bisa berangkat haji.