Tolak Pembahasan RUU POM, Menkes Kena Semprot Anggota DPR
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa substansi materi terkait Rancangan Undang-Undang Pengawasan Obat dan Makanan (RUU POM) secara keseluruhan telah diatur secara komprehensif dalam regulasi lain. Regulasi yang dimaksud adalah Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang disusun dengan metode Omnibus, dan peraturan pelaksanaannya.
"Sehingga pemerintah merasa tidak perlu diatur secara tersendiri," ungkap Menkes dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR, Selasa (2/7/2024).
Sebelumnya, telah terkumpul Daftar Inventaris Masalah (DIM) terkait RUU POM sebanyak 793 DIM. Di kesempatan itu, Menkes merinci sangat detail terkait substansi yang dimaksudnya.
Pernyataannya itu pun secara tidak langsung menjadi alasan pihaknya melakukan penolakan pembahasan terkait RUU POM. Menkes memulai dengan poin bahwa dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan telah diatur substansi mengenai sediaan farmasi, alat kesehatan, perbekalan kesehatan yang memuat ketentuan mengenai penggolongan obat dan obat bahan alam, standar, persyaratan, pembuatan, produksi, dan peredaran.
Demikian juga berkaitan dengan substansi atau materi pengawasan obat dan makanan, kata Menkes, itu telah menjadi bagian yang diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya dalam bab yang mengatur mengenai upaya kesehatan, perbekalan kesehatan, dan ketahanan kefarmasian, serta alat kesehatan.
Dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga telah diatur ketentuan mengenai pangan olahan yang menjadi salah satu subjek dalam pengaturan RUU POM, antara lain mengenai penggolongan pangan olahan, informasi produk, peredaran pangan olahan, serta penelitian dan pengembangan pangan olahan.
"Berkenaan dengan substansi perizinan usaha yang dimuat dalam RUU POM, itu telah diatur juga dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang disusun dengan metode Omnibus secara komprehensif termasuk perizinan sektor obat dan makanan, serta ketentuan mengenai pengawasan dan sanksi," papar Menkes.
Selain itu, berkaitan dengan tanggung jawab dan tanggung gugat pelaku usaha terkait kegiatan usaha obat dan makanan, juga telah diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berkaitan kelembagaan, Badan Pengawas Obat dan Makanan saat ini sebagai pengejawantahan dari hak prerogatif presiden dalam menjalankan pemerintahan telah dibentuk BPOM sebagai lembaga pemerintah non-kementerian melalui peraturan presiden Nomor 80 Tahun 2017 yang dilengkapi dengan desain organisasi untuk penguatan dan akselerasi pengawasan obat dan makanan secara optimal.
Berdasarkan hal tersebut, lanjut Menkes, maka keberadaan BPOM akan mampu mendorong penguatan dan akselerasi pengawasan obat dan makanan secara optimal dan paripurna, serta menjadi bukti bahwa pemerintah sangat concern untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat terhadap kualitas, mutu, dan keterjangkauan obat dan makanan.
Selain itu, bidang tugas pengawasan obat dan makanan yang bersifat lintas sektor, yang membutuhkan adanya kolaborasi dan sinergi juga telah diterbitkan instruksi presiden Nomor 3 Tahun 2017 tentang Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan.
"Instruksi ini merupakan pengungkit dalam mewujudkan kolaborasi dan sinergitas peran antarkementerian/lembaga untuk mendukung optimalisasi pelaksanaan pengawasan obat dan makanan sesuai bidangnya," terang Menkes.
Beranjak dari berbagai pengaturan di atas, kata Menkes, itu menjadi bukti nyata, komitmen, dan keseriusan pemerintah dalam memperkuat kinerja pelaksanaan pengawasan agar memastikan obat dan makanan sampai ke masyarakat terjamin aman, berkhasiat, dan bermutu. "Hal itu menjadi salah satu upaya perlindungan bagi masyarakat dari peredaran obat dan makanan yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu," ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga mendorong akselerasi penataan pengawasan obat dan makanan dengan penyempurnaan pengaturan teknis dan peningkatan sumber daya pengawasan obat dan makanan, sehingga dapat memberikan perlindungan yang lebih optimal kepada masyarakat.
"Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, maka kami berkesimpulan bahwa substansi materi terkait pengawasan obat dan makanan yang meliputi penggolongan, penetapan standar dan persyaratan, produksi, peredaran, pelayanan, serta pengawasannya sudah diatur secara komprehensif dalam beberapa UU yang kami telah disebutkan tadi serta peraturan pelaksanaannya," ungkapnya.
Mendengar pernyataan tersebut, Anggota Komisi IX DPR Irma Suryani Chaniago menilai Menkes Budi terlalu arogan. Sebab, DIM yang diajukan DPR dinyatakan dihapus, tanpa ada diskusi sebelumnya.
"Bahwa tidak boleh pemerintah semena-mena menghapus DIM-DIM yang sudah kami ajukan. Ini belum dibahas sudah main hapus. Ini arogansi yang luar biasa menurut saya dan ini enggak boleh dilakukan di forum terhormat. Ini penghinaan terhadap DPR," tegas Irma.
"Sehingga pemerintah merasa tidak perlu diatur secara tersendiri," ungkap Menkes dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR, Selasa (2/7/2024).
Sebelumnya, telah terkumpul Daftar Inventaris Masalah (DIM) terkait RUU POM sebanyak 793 DIM. Di kesempatan itu, Menkes merinci sangat detail terkait substansi yang dimaksudnya.
Pernyataannya itu pun secara tidak langsung menjadi alasan pihaknya melakukan penolakan pembahasan terkait RUU POM. Menkes memulai dengan poin bahwa dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan telah diatur substansi mengenai sediaan farmasi, alat kesehatan, perbekalan kesehatan yang memuat ketentuan mengenai penggolongan obat dan obat bahan alam, standar, persyaratan, pembuatan, produksi, dan peredaran.
Demikian juga berkaitan dengan substansi atau materi pengawasan obat dan makanan, kata Menkes, itu telah menjadi bagian yang diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya dalam bab yang mengatur mengenai upaya kesehatan, perbekalan kesehatan, dan ketahanan kefarmasian, serta alat kesehatan.
Dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga telah diatur ketentuan mengenai pangan olahan yang menjadi salah satu subjek dalam pengaturan RUU POM, antara lain mengenai penggolongan pangan olahan, informasi produk, peredaran pangan olahan, serta penelitian dan pengembangan pangan olahan.
"Berkenaan dengan substansi perizinan usaha yang dimuat dalam RUU POM, itu telah diatur juga dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang disusun dengan metode Omnibus secara komprehensif termasuk perizinan sektor obat dan makanan, serta ketentuan mengenai pengawasan dan sanksi," papar Menkes.
Selain itu, berkaitan dengan tanggung jawab dan tanggung gugat pelaku usaha terkait kegiatan usaha obat dan makanan, juga telah diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berkaitan kelembagaan, Badan Pengawas Obat dan Makanan saat ini sebagai pengejawantahan dari hak prerogatif presiden dalam menjalankan pemerintahan telah dibentuk BPOM sebagai lembaga pemerintah non-kementerian melalui peraturan presiden Nomor 80 Tahun 2017 yang dilengkapi dengan desain organisasi untuk penguatan dan akselerasi pengawasan obat dan makanan secara optimal.
Berdasarkan hal tersebut, lanjut Menkes, maka keberadaan BPOM akan mampu mendorong penguatan dan akselerasi pengawasan obat dan makanan secara optimal dan paripurna, serta menjadi bukti bahwa pemerintah sangat concern untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat terhadap kualitas, mutu, dan keterjangkauan obat dan makanan.
Selain itu, bidang tugas pengawasan obat dan makanan yang bersifat lintas sektor, yang membutuhkan adanya kolaborasi dan sinergi juga telah diterbitkan instruksi presiden Nomor 3 Tahun 2017 tentang Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan.
"Instruksi ini merupakan pengungkit dalam mewujudkan kolaborasi dan sinergitas peran antarkementerian/lembaga untuk mendukung optimalisasi pelaksanaan pengawasan obat dan makanan sesuai bidangnya," terang Menkes.
Beranjak dari berbagai pengaturan di atas, kata Menkes, itu menjadi bukti nyata, komitmen, dan keseriusan pemerintah dalam memperkuat kinerja pelaksanaan pengawasan agar memastikan obat dan makanan sampai ke masyarakat terjamin aman, berkhasiat, dan bermutu. "Hal itu menjadi salah satu upaya perlindungan bagi masyarakat dari peredaran obat dan makanan yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu," ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga mendorong akselerasi penataan pengawasan obat dan makanan dengan penyempurnaan pengaturan teknis dan peningkatan sumber daya pengawasan obat dan makanan, sehingga dapat memberikan perlindungan yang lebih optimal kepada masyarakat.
"Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, maka kami berkesimpulan bahwa substansi materi terkait pengawasan obat dan makanan yang meliputi penggolongan, penetapan standar dan persyaratan, produksi, peredaran, pelayanan, serta pengawasannya sudah diatur secara komprehensif dalam beberapa UU yang kami telah disebutkan tadi serta peraturan pelaksanaannya," ungkapnya.
Mendengar pernyataan tersebut, Anggota Komisi IX DPR Irma Suryani Chaniago menilai Menkes Budi terlalu arogan. Sebab, DIM yang diajukan DPR dinyatakan dihapus, tanpa ada diskusi sebelumnya.
"Bahwa tidak boleh pemerintah semena-mena menghapus DIM-DIM yang sudah kami ajukan. Ini belum dibahas sudah main hapus. Ini arogansi yang luar biasa menurut saya dan ini enggak boleh dilakukan di forum terhormat. Ini penghinaan terhadap DPR," tegas Irma.
(rca)