Setara Institute: Aturan Main Pemilu Tidak Menyediakan Prosedur Jalanan

Selasa, 21 Mei 2019 - 16:34 WIB
Setara Institute: Aturan Main Pemilu Tidak Menyediakan Prosedur Jalanan
Setara Institute: Aturan Main Pemilu Tidak Menyediakan Prosedur Jalanan
A A A
JAKARTA - Ketua Setara Institute, Hendardi menegaskan penetapan hasil rekapitulasi suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019 sudah dilakukan oleh Komisi pemilihan Umum (KPU) pada dini hari tadi.

Penetapan tersebut merupakan momentum penting bagi seluruh elemen demokrasi Indonesia untuk mencermati artikulasi mandat rakyat kepada penyelenggara negara.

"Penetapan KPU merupakan satu-satunya rujukan yang legitimate mengenai hasil pemilu. Jika kontestan pemilu tidak puas dengan hasil pilpres yang ditetapkan oleh KPU, maka para kontestan dapat menggunakan satu-satunya saluran memperjuangkan keadilan elektoral dan mempersoalkan ketidakadilan—termasuk dugaan kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif dengan mengajukan sengketa hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi (MK)," tutur Hendardi, Selasa (21/5/2019).

Menurut Hendardi, sengketa hasil pemilu merupakan aturan main demokratis yang sudah disepakati oleh para kontestan pemilu, jauh sebelum tahapan pemilu dilaksanakan.

Oleh karena itu, kata dia, setiap upaya untuk menggunakan cara-cara di luar mekanisme konstitusional yang disepakati pada dasarnya merupakan tindakan pengkhianatan atas kesepakatan kolektif yang sudah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan."Aksi massa yang akan dilakukan oleh salah satu kontestan pilpres pada 22 Mei melalui mobilisasi pendukungnya merupakan tindakan yang secara konstitusional cacat prosedural," ujarnya.

Menurut dia, aturan main pemilu tidak menyediakan prosedur jalanan untuk mempersoalkan hasil pemilu. Dalam konteks itu, unjuk rasa yang didorong oleh kekecewaan atas proses dan hasil pemilu hanya perlu dibaca sebagai hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, bukan mekanisme demokratis tambahan untuk mengartikulasikan kedaulatan rakyat setelah pemungutan suara pada 17 April lalu.

"Dengan perspektif tersebut maka pemerintah dan aparat keamanan seharusnya menjamin hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku," katanya.

Untuk itu, aksi demonstrasi mesti dilakukan secara damai, tidak merusak, tertib sosial, politik, dan hukum yang berlaku. Dengan demikian, setiap tindak pidana dan melawan hukum dalam aksi unjuk rasa tersebut harus direspons dengan penegakan hukum yang tegas, adil, dan memberikan efek jera.

Hendardi meminta, publik semestinya tidak menjadikan aksi dari sekelompok kecil warga pendukung (voters) itu sebagai aspirasi demo secara keseluruhan. Dia juga mengajak publik untuk tenang dan tidak terprovokasi dengan berita-berita bohong dan provokatif di media sosial, terutama dari mereka yang mengatasnamakan tokoh-tokoh yang sesungguhnya bukan kontestan dalam perhelatan pemilu.

"Lebih-lebih mereka yang sejak awal memang nyata-nyata menjadi penumpang gelap pemilu dengan menjadikan dukungan politik yang diberikan kepada kontestan sebagai alat bargaining dan negosiasi demi kepentingan politik dan ideologis kelompok dan jaringannya semata," ucapnya.

Hendardi juga mengingatkan aparat keamanan untuk memperlakukan provokator sebelum dan pada saat aksi unjuk rasa 22 Mei sebagaimana provokator-provokator pada aksi demonstrasi pada umumnya. Penegakan hukum harus dilakukan terhadap mereka, terlebih jika provokasi tersebut mengancam keselamatan pejabat negara seperti Presiden, membahayakan keamanan negara, mendelegitimasi pemerintahan negara, dan menghasut agar terjadi kerusuhan.

"Namun begitu, tindakan penegakan hukum atas mereka seperti dalam bentuk penangkapan dan penahanan harus dilakukan secara presisi berdasarkan atas bukti permulaan yang memadai," katanya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4423 seconds (0.1#10.140)