Sempat Jadi Berandalan, Surat Yasin Ubah Kehidupan Kelam Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto
loading...
A
A
A
JAKARTA - Siapa yang tidak kenal Jenderal TNI Agus Subiyanto . Saat ini, dia menduduki jabatan sebagai Panglima TNI, sebuah posisi yang selalu diimpikan oleh siapa pun yang memilih jalan hidup sebagai seorang prajurit atau tentara.
Namun, di balik keberhasilannya menggapai puncak karier militer sebagai Panglima TNI, pria kelahiran Cimahi, Bandung, Jawa Barat pada 5 Agustus 1967 ini harus melewati pahit getirnya kehidupan sejak masih kecil hingga masa remaja.
Saat usianya baru lima tahun, Agus ditinggal pergi oleh ibunda tercintanya entah kemana. Kasih sayang ibu yang terenggut saat usia dini membuat Agus frustasi dan marah. Usianya yang masih belia membuatnya tidak memiliki keberanian untuk bertanya kepada ayahnya.
Sepeninggal ibunya, Agus bersama kakak, dan adik-adiknya hidup bersama ayahnya yang merupakan prajurit Tamtama TNI Angkatan Darat (AD). Penghasilan ayahnya yang pas-pasan membuat Agus hidup sederhana dengan segala keterbatasan.
Belum hilang rasa sedih ditinggal ibu yang melahirkan, Agus kembali mendapat ujian. Puncaknya, saat Agus naik kelas 2 SMA, ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan ditabrak mobil boks di Jalan Pramuka, Bandung saat mengendarai sepeda motor menuju tempat kerjanya di Jalan Halmahera.
“Duniaku rasanya berantakan. Satu-satunya pilarku yang tersisa runtuh,” kenang Agus dalam buku biografinya berjudul “Believe” yang dikutip SINDOnews, Jumat (28/6/2024).
Sepeninggal kedua orang tuanya, kehidupan Agus semakin tidak terarah. Setelah lulus SMA pada 1986, hampir setiap hari Agus menghabiskan waktunya bersama dengan teman-temannya naik motor dan nongkrong tanpa tujuan.
Panglima TNI tanda (x) saat mengikuti pelatihan di Pussenif Bandung.
”Kami suka keliling daerah Baros dan Cimahi. Pastinya sambil cari tempat yang enak buat ngobrol. Kadang juga bahas geng lain, siapa saja yang perlu dimusuhi. Mabuk-mabukan pun sudah biasa. Sering sampai larut atau menjelang pagi,” katanya.
Ditendang Polisi Militer
Hingga suatu ketika di penghujung bulan Februari, Agus bersama teman-temannya tanpa mengenakan helm mengendarai sepeda motor bertiga. Mereka berencana jalan-jalan keliling Cimahi. Namun, saat melintas di pertigaan Leuwigajah, Baros, kendaraan yang dinaikinya dihentikan oleh seorang Polisi Militer.
Agus bersama teman-temannya kemudian dibawa ke Kantor Denpom, Jalan Gatot Soebroto. Di sana, Agus mendapatkan tendangan dan pukulan bertubi-tubi di bagian perut, punggung, dan tulang kering oleh tentara berpangkat Kopral yang di dada kananya tertulis nama “Harahap” dan tulisan “PM” besar yang melingkar di lengan atas.
Namun bukannya takut, Agus yang memang gemar berkelahi justru menatap lekat tentara yang sedang menuntaskan emosinya tersebut. "Lihat saja nanti, kalau aku jadi tentara," gumamnya dalam hatinya.
Peristiwa itulah yang akhirnya mendorong dan merombak jalan hidup Agus untuk menjadi seorang tentara. Sebuah cita-cita yang memang diinginkan oleh ayahanda tercintanya Serka Deddy Unadi. Agus kemudian memutuskan untuk masuk Sekolah Calon Bintara (Secaba).
Dipilihnya Secaba sebagai pintu gerbang menjadi tentara karena Agus menyadari dirinya harus berjuang sendiri tanpa bimbingan seorang ayah. Apalagi masuk Secaba tidak dikenakan biaya sama sekali dan lama pendidikan di Secaba cukup singkat yakni lima bulan.
Agus kemudian mendatangi rumah temannya bernama Iwa, yang merupakan anak seorang Kepala Ajudan Jenderal Daerah Militer (Ajendam) III/Siliwangi untuk mendapatkan informasi masuk tentara. Tahap demi tahap tes dijalani, hasilnya Agus dinyatakan tidak lulus. Namun dia direkomendasikan untuk mengikuti Sekolah Calon Tamtama (Secata) tanpa perlu mengikuti tes lagi.
Buku Lusuh Surat Yasin
Gagal masuk Secaba di tahap akhir (pantukhir), Agus kecewa dan frustasi. Harapan untuk menjadi abdi negara dan mewujudkan keinginan orang tua pun pupus. Di tengah kekecewaan itu, Agus kembali mendatangi rumah Iwa, temannya yang dikenalnya saat nongkrong bareng dan menjadi anak motor yang kalau zaman sekarang disebut geng motor. Geng Baros yang cukup disegani.
Ketika itu, Iwa menyodorkan sebuah buku kecil berwarna merah yang diambil dari dalam tasnya. Warna buku berukuran 15x10 cm dengan judul “Surat Yasin dan Tahlil” itu tampak mulai memudar. Beberapa lembaran kertasnya sudah berwarna cokelat dan robek. Namun siapa sangka, buku itulah yang pada akhirnya menguatkan Agus untuk bangkit dari keterpurukan meraih kesuksesan yang gilang gemilang.
”Aku pamit, tetap tak ada pesan tertentu, hanya buku tadi. Yasin lusuh itu pun aku bawa pulang dalam genggaman,” ucapnya.
Panglima TNI tanda (x) saat menjadi taruna Akademi Militer (Akmil).
Pulang dari rumah temannya, Agus mencoba mengadu nasib dengan melamar kerja sebagai petugas keamanan (satpam) di Mal Internusa Bogor namun tak diterima. Agus pun berusaha melamar ke sejumlah pertokoan sebagai petugas keamanan tapi lagi-lagi ditolak. Bahkan, Agus juga sempat mengikuti tes di Perusahaan Gas Negara (PGN) tapi upayanya tidak membuahkan hasil.
Meski gagal, Agus tak menyerah. Buku kecil pemberian temannya kemudian dibuka dan dibacanya setiap habis Salat Subuh dan Salat Maghrib. Kebiasaannya membaca Surat Yasin membuat Agus semakin tenang. Hati dan pikirannya semakin jernih bahkan semakin sabar dan ikhlas. Agus juga mempersiapkan diri untuk mengikuti tes masuk tentara.
Memasuki 1988, Agus memutuskan untuk mendaftar di Akademi Militer (Akmil). Opsi yang terbilang nekat karena dari segi level Akmil lebih tinggi dari Secaba. Tahap demi tahap seleksi dijalaninya. Dibarengi dengan membaca Surat Yasin setiap selesai Salat Subuh dan Salat Maghrib dan puasa Senin-Kamis. Tak disangka, hasilnya Agus lulus dengan nilai memuaskan. Bahkan Agus menempati peringkat kedua se-Jawa Barat.
“Aku jadi semakin sadar dan meyakini inilah buah manis rutin membaca Yasin setiap hari. Allah tidak akan melupakan hamba yang mendekatkan diri kepada-Nya,” tuturnya.
“Tiba-tiba dadaku serasa sesak oleh haru,seorang Agus, anak yatim, anak berandal yang bukan siapa-siapa pun tak punya harta akhirnya bisa menginjakkan kaki di Akademi Militer,” sambungnya.
Jenderal TNI Agus Subiyanto tanda (x) saat diterjunkan dalam Operasi Seroja, Timtim.
Lulus Akmil 1991, Agus menyandang pangkat Letnan Dua (Letda). Pada 1995, Agus diterjunkan dalam Operasi Seroja di Timor-Timur (Timtim) sekarang bernama Timor Leste untuk melumpuhkan tokoh Fretilin. Keberhasilan itu membawanya untuk mengikuti pendidikan Parako/Kopassus lalu dipromosikan menjadi Danyon 22 Grup 2 Parako Kopassus.
Ketika Joko Widodo (Jokowi) menjadi Wali Kota Solo, Agus menjabat sebagai Dandim 0735/Surakarta. Tidak hanya itu, kebersamaannya dengan Jokowi juga kembali terjalin ketika Agus menjabat sebagai Danrem 061/Suryakancana, Bogor. Apalagi Jokowi bersama keluarga memilih untuk tinggal di Wisma Bayurini yang berada di lingkkungan Istana Bogor.
Kebersamaannya dengan Jokowi selama di Solo dan di Bogor tidak dipungkiri berdampak pada karier militer Agus. Karier militernya terus menanjak, Agus kemudian dipercaya menjabat Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres) sebagai perisai hidup Presiden Jokowi.
“Pak Agus, bagaimana kalau jadi Danpaspampres?” kata Agus menirukan ucapan Jokowi.
Pada pertengahan November 2020, Surat Keputusan Panglima Tentara Nasional Indonesia Nomor Kep/911/XI/2020 yang ditetapkan pada 18 November 2020, Agus dimutasi menjadi Danpaspampres menggantikan Mayjen TNI Maruli Simanjuntak yang dimutasi menjadi Pangdam IX/Udayana.
Karier Agus pun semakin moncer, dia kemudian dipercaya menduduki jabatan sebagai Pangdam III/Siliwangi periode 2021-2022, hanya dalam kurun setahun Agus diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad), kemudian Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) sebelum akhirnya menjadi orang nomor satu di TNI yakni sebagai Panglima TNI.
Namun, di balik keberhasilannya menggapai puncak karier militer sebagai Panglima TNI, pria kelahiran Cimahi, Bandung, Jawa Barat pada 5 Agustus 1967 ini harus melewati pahit getirnya kehidupan sejak masih kecil hingga masa remaja.
Saat usianya baru lima tahun, Agus ditinggal pergi oleh ibunda tercintanya entah kemana. Kasih sayang ibu yang terenggut saat usia dini membuat Agus frustasi dan marah. Usianya yang masih belia membuatnya tidak memiliki keberanian untuk bertanya kepada ayahnya.
Sepeninggal ibunya, Agus bersama kakak, dan adik-adiknya hidup bersama ayahnya yang merupakan prajurit Tamtama TNI Angkatan Darat (AD). Penghasilan ayahnya yang pas-pasan membuat Agus hidup sederhana dengan segala keterbatasan.
Belum hilang rasa sedih ditinggal ibu yang melahirkan, Agus kembali mendapat ujian. Puncaknya, saat Agus naik kelas 2 SMA, ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan ditabrak mobil boks di Jalan Pramuka, Bandung saat mengendarai sepeda motor menuju tempat kerjanya di Jalan Halmahera.
“Duniaku rasanya berantakan. Satu-satunya pilarku yang tersisa runtuh,” kenang Agus dalam buku biografinya berjudul “Believe” yang dikutip SINDOnews, Jumat (28/6/2024).
Sepeninggal kedua orang tuanya, kehidupan Agus semakin tidak terarah. Setelah lulus SMA pada 1986, hampir setiap hari Agus menghabiskan waktunya bersama dengan teman-temannya naik motor dan nongkrong tanpa tujuan.
Panglima TNI tanda (x) saat mengikuti pelatihan di Pussenif Bandung.
”Kami suka keliling daerah Baros dan Cimahi. Pastinya sambil cari tempat yang enak buat ngobrol. Kadang juga bahas geng lain, siapa saja yang perlu dimusuhi. Mabuk-mabukan pun sudah biasa. Sering sampai larut atau menjelang pagi,” katanya.
Ditendang Polisi Militer
Hingga suatu ketika di penghujung bulan Februari, Agus bersama teman-temannya tanpa mengenakan helm mengendarai sepeda motor bertiga. Mereka berencana jalan-jalan keliling Cimahi. Namun, saat melintas di pertigaan Leuwigajah, Baros, kendaraan yang dinaikinya dihentikan oleh seorang Polisi Militer.
Agus bersama teman-temannya kemudian dibawa ke Kantor Denpom, Jalan Gatot Soebroto. Di sana, Agus mendapatkan tendangan dan pukulan bertubi-tubi di bagian perut, punggung, dan tulang kering oleh tentara berpangkat Kopral yang di dada kananya tertulis nama “Harahap” dan tulisan “PM” besar yang melingkar di lengan atas.
Namun bukannya takut, Agus yang memang gemar berkelahi justru menatap lekat tentara yang sedang menuntaskan emosinya tersebut. "Lihat saja nanti, kalau aku jadi tentara," gumamnya dalam hatinya.
Peristiwa itulah yang akhirnya mendorong dan merombak jalan hidup Agus untuk menjadi seorang tentara. Sebuah cita-cita yang memang diinginkan oleh ayahanda tercintanya Serka Deddy Unadi. Agus kemudian memutuskan untuk masuk Sekolah Calon Bintara (Secaba).
Dipilihnya Secaba sebagai pintu gerbang menjadi tentara karena Agus menyadari dirinya harus berjuang sendiri tanpa bimbingan seorang ayah. Apalagi masuk Secaba tidak dikenakan biaya sama sekali dan lama pendidikan di Secaba cukup singkat yakni lima bulan.
Agus kemudian mendatangi rumah temannya bernama Iwa, yang merupakan anak seorang Kepala Ajudan Jenderal Daerah Militer (Ajendam) III/Siliwangi untuk mendapatkan informasi masuk tentara. Tahap demi tahap tes dijalani, hasilnya Agus dinyatakan tidak lulus. Namun dia direkomendasikan untuk mengikuti Sekolah Calon Tamtama (Secata) tanpa perlu mengikuti tes lagi.
Buku Lusuh Surat Yasin
Gagal masuk Secaba di tahap akhir (pantukhir), Agus kecewa dan frustasi. Harapan untuk menjadi abdi negara dan mewujudkan keinginan orang tua pun pupus. Di tengah kekecewaan itu, Agus kembali mendatangi rumah Iwa, temannya yang dikenalnya saat nongkrong bareng dan menjadi anak motor yang kalau zaman sekarang disebut geng motor. Geng Baros yang cukup disegani.
Ketika itu, Iwa menyodorkan sebuah buku kecil berwarna merah yang diambil dari dalam tasnya. Warna buku berukuran 15x10 cm dengan judul “Surat Yasin dan Tahlil” itu tampak mulai memudar. Beberapa lembaran kertasnya sudah berwarna cokelat dan robek. Namun siapa sangka, buku itulah yang pada akhirnya menguatkan Agus untuk bangkit dari keterpurukan meraih kesuksesan yang gilang gemilang.
”Aku pamit, tetap tak ada pesan tertentu, hanya buku tadi. Yasin lusuh itu pun aku bawa pulang dalam genggaman,” ucapnya.
Panglima TNI tanda (x) saat menjadi taruna Akademi Militer (Akmil).
Pulang dari rumah temannya, Agus mencoba mengadu nasib dengan melamar kerja sebagai petugas keamanan (satpam) di Mal Internusa Bogor namun tak diterima. Agus pun berusaha melamar ke sejumlah pertokoan sebagai petugas keamanan tapi lagi-lagi ditolak. Bahkan, Agus juga sempat mengikuti tes di Perusahaan Gas Negara (PGN) tapi upayanya tidak membuahkan hasil.
Meski gagal, Agus tak menyerah. Buku kecil pemberian temannya kemudian dibuka dan dibacanya setiap habis Salat Subuh dan Salat Maghrib. Kebiasaannya membaca Surat Yasin membuat Agus semakin tenang. Hati dan pikirannya semakin jernih bahkan semakin sabar dan ikhlas. Agus juga mempersiapkan diri untuk mengikuti tes masuk tentara.
Memasuki 1988, Agus memutuskan untuk mendaftar di Akademi Militer (Akmil). Opsi yang terbilang nekat karena dari segi level Akmil lebih tinggi dari Secaba. Tahap demi tahap seleksi dijalaninya. Dibarengi dengan membaca Surat Yasin setiap selesai Salat Subuh dan Salat Maghrib dan puasa Senin-Kamis. Tak disangka, hasilnya Agus lulus dengan nilai memuaskan. Bahkan Agus menempati peringkat kedua se-Jawa Barat.
“Aku jadi semakin sadar dan meyakini inilah buah manis rutin membaca Yasin setiap hari. Allah tidak akan melupakan hamba yang mendekatkan diri kepada-Nya,” tuturnya.
“Tiba-tiba dadaku serasa sesak oleh haru,seorang Agus, anak yatim, anak berandal yang bukan siapa-siapa pun tak punya harta akhirnya bisa menginjakkan kaki di Akademi Militer,” sambungnya.
Jenderal TNI Agus Subiyanto tanda (x) saat diterjunkan dalam Operasi Seroja, Timtim.
Lulus Akmil 1991, Agus menyandang pangkat Letnan Dua (Letda). Pada 1995, Agus diterjunkan dalam Operasi Seroja di Timor-Timur (Timtim) sekarang bernama Timor Leste untuk melumpuhkan tokoh Fretilin. Keberhasilan itu membawanya untuk mengikuti pendidikan Parako/Kopassus lalu dipromosikan menjadi Danyon 22 Grup 2 Parako Kopassus.
Ketika Joko Widodo (Jokowi) menjadi Wali Kota Solo, Agus menjabat sebagai Dandim 0735/Surakarta. Tidak hanya itu, kebersamaannya dengan Jokowi juga kembali terjalin ketika Agus menjabat sebagai Danrem 061/Suryakancana, Bogor. Apalagi Jokowi bersama keluarga memilih untuk tinggal di Wisma Bayurini yang berada di lingkkungan Istana Bogor.
Kebersamaannya dengan Jokowi selama di Solo dan di Bogor tidak dipungkiri berdampak pada karier militer Agus. Karier militernya terus menanjak, Agus kemudian dipercaya menjabat Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres) sebagai perisai hidup Presiden Jokowi.
“Pak Agus, bagaimana kalau jadi Danpaspampres?” kata Agus menirukan ucapan Jokowi.
Pada pertengahan November 2020, Surat Keputusan Panglima Tentara Nasional Indonesia Nomor Kep/911/XI/2020 yang ditetapkan pada 18 November 2020, Agus dimutasi menjadi Danpaspampres menggantikan Mayjen TNI Maruli Simanjuntak yang dimutasi menjadi Pangdam IX/Udayana.
Karier Agus pun semakin moncer, dia kemudian dipercaya menduduki jabatan sebagai Pangdam III/Siliwangi periode 2021-2022, hanya dalam kurun setahun Agus diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad), kemudian Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) sebelum akhirnya menjadi orang nomor satu di TNI yakni sebagai Panglima TNI.
(cip)