Mantan Dirut Garuda Emirsyah Satar Dituntut Hukuman 8 Tahun dan Denda Rp1 Miliar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar dituntut hukuman pidana selama 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Satar diyakini bersalah melakukan tindak pidana korupsi dari pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600.
Tuntutan dilayangkan Jaksa apenuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Agung (Kejagung) saat membacakan surat tuntutan Satar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (27/6/2024).
"Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Emirsyah Satar oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 tahun. Menjatuhkan pidana denda terhadap Terdakwa Emirsyah Satar sejumlah Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan," kata JPU saat membacakan surat tuntutan.
Selain itu, JPU juga meminta majelis hakim untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar USD86.367.019. JPU meminta, uang pengganti itu harus dibayar maksimal 1 bulan pasca mendapat putusan inkrah. Bila tidak, JPU bisa menyita harta Satar untuk dilelang guna menutupi uang pengganti tersebut.
"Dalam hal jika terdakwa tidak mempunyai harta benda yang tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun," kata JPU.
"Apabila terdakwa membayar uang pengganti yang jumlahnya kurang dari kewajiban pembayaran dari uang pengganti, maka jumlah uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan diperhitungkan dengan lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai pengganti kewajiban membayar uang pengganti," imbuhnya.
Dalam menyusun tuntutan itu, JPU mempertimbangkan sejumlah hal yang memberatkan hukuman yakni, perbuatan Satar dianggap tidak mendukung pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi dan pemberantasan korupsi.
"Perbuatan Terdakwa menyebabkan kerugian keuangan negara yang cukup besar. Terdakwa tidak merasa bersalah dam tidak menyesali perbuatannya," kata JPU.
"Hal-hal yang meringankan, terdakwa bersikap sopan dalam persidangan," imbuhnya.
JPU meyakini Satar telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan melanggar Pasal 2 ayat (1) Pasal 18 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dalam dakwaan primer JPU.
Sebelumnya, mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar didakwa terkait kasus korupsi pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600 yang merugikan uang negara hingga lebih dari USD 600. Jika dirupiahkan, jumlah tersebut mencapai Rp9,3 triliun.
Dari proyek itu, Satar didakwa telah memperkaya diri sendiri bersama Agus Wahjudo Hadinoto Soedigno, Soetikno Sedarjo hingga perusahaan Bombardier, ATR, EDC/Alberta sas dan Nordic Aviation Capital Pte, Ltd (NAC). Dari tindakan mereka, jaksa meyakini ada kerugian keuangan negara atau perekonomian negara sebesar USD609.814.504.
Satar dianggap telah menyalahi hukum karena sudah tanpa hak menyerahkan rencana pengadaan armada (fleet plan) PT Garuda Indonesia ke Soetikno Soedarjo. Rencana itu merupakan rahasia perusahaan.
Satar kemudian mengubah rencana kebutuhan pesawat sub 100 seater. Padahal, rencana kebutuhan pesawat kapasitas 70 seats tipe jet yang berdasarkan hasil kajian Feasibility Study Additional Small Jet Aircraft pada Juli 2010.
Satar juga didakwa telah memanipulasi data analisa tentang kelebihan pesawat Bombardier CRJ-1 000 dibandingkan dengan Embraer E-190 berdasarkan perhitungan Net Present Value (NPV) dan Route Result pada kiteria economic.
Hal tersebut Emirsyah kerjakan bekerja sama dengan Hadinoto Soedigno, Agus Wahyudo yang bersepakat dengan Soetikno Soedarjo, Bernard Duc, dan Trung Ngo. Manipulasi data tersebut sebagai dasar memenangkan pesawat Bombardier dalam pemilihan armada di PT Garuda Indonesia.
Tuntutan dilayangkan Jaksa apenuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Agung (Kejagung) saat membacakan surat tuntutan Satar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (27/6/2024).
"Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Emirsyah Satar oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 tahun. Menjatuhkan pidana denda terhadap Terdakwa Emirsyah Satar sejumlah Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan," kata JPU saat membacakan surat tuntutan.
Selain itu, JPU juga meminta majelis hakim untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar USD86.367.019. JPU meminta, uang pengganti itu harus dibayar maksimal 1 bulan pasca mendapat putusan inkrah. Bila tidak, JPU bisa menyita harta Satar untuk dilelang guna menutupi uang pengganti tersebut.
"Dalam hal jika terdakwa tidak mempunyai harta benda yang tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun," kata JPU.
"Apabila terdakwa membayar uang pengganti yang jumlahnya kurang dari kewajiban pembayaran dari uang pengganti, maka jumlah uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan diperhitungkan dengan lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai pengganti kewajiban membayar uang pengganti," imbuhnya.
Dalam menyusun tuntutan itu, JPU mempertimbangkan sejumlah hal yang memberatkan hukuman yakni, perbuatan Satar dianggap tidak mendukung pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi dan pemberantasan korupsi.
"Perbuatan Terdakwa menyebabkan kerugian keuangan negara yang cukup besar. Terdakwa tidak merasa bersalah dam tidak menyesali perbuatannya," kata JPU.
"Hal-hal yang meringankan, terdakwa bersikap sopan dalam persidangan," imbuhnya.
JPU meyakini Satar telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan melanggar Pasal 2 ayat (1) Pasal 18 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dalam dakwaan primer JPU.
Sebelumnya, mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar didakwa terkait kasus korupsi pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600 yang merugikan uang negara hingga lebih dari USD 600. Jika dirupiahkan, jumlah tersebut mencapai Rp9,3 triliun.
Dari proyek itu, Satar didakwa telah memperkaya diri sendiri bersama Agus Wahjudo Hadinoto Soedigno, Soetikno Sedarjo hingga perusahaan Bombardier, ATR, EDC/Alberta sas dan Nordic Aviation Capital Pte, Ltd (NAC). Dari tindakan mereka, jaksa meyakini ada kerugian keuangan negara atau perekonomian negara sebesar USD609.814.504.
Satar dianggap telah menyalahi hukum karena sudah tanpa hak menyerahkan rencana pengadaan armada (fleet plan) PT Garuda Indonesia ke Soetikno Soedarjo. Rencana itu merupakan rahasia perusahaan.
Satar kemudian mengubah rencana kebutuhan pesawat sub 100 seater. Padahal, rencana kebutuhan pesawat kapasitas 70 seats tipe jet yang berdasarkan hasil kajian Feasibility Study Additional Small Jet Aircraft pada Juli 2010.
Satar juga didakwa telah memanipulasi data analisa tentang kelebihan pesawat Bombardier CRJ-1 000 dibandingkan dengan Embraer E-190 berdasarkan perhitungan Net Present Value (NPV) dan Route Result pada kiteria economic.
Hal tersebut Emirsyah kerjakan bekerja sama dengan Hadinoto Soedigno, Agus Wahyudo yang bersepakat dengan Soetikno Soedarjo, Bernard Duc, dan Trung Ngo. Manipulasi data tersebut sebagai dasar memenangkan pesawat Bombardier dalam pemilihan armada di PT Garuda Indonesia.
(abd)