Buang Egosentris KY dan MA

Sabtu, 22 Agustus 2020 - 07:17 WIB
loading...
Buang Egosentris KY...
Foto/dok
A A A
JAKARTA - Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Kewenangan dan tugas keduanya saling beririsan. Tertaut pada sosok hakim yang menjadi tumpuan masyarakat pencari keadilan.

Seyogyanya dua lembaga ini saling bergandengan tangan agar hakim tidak melakukan penyimpangan dan menyeleweng dari kode etik dan pedoman perilaku yang telah digariskan. Jika ada sejumlah hakim yang terbukti melakukan pelanggaran mestinya diberi sanksi sesuai perbuatannya.

Berbagai putusan dan rekomendasi sanksi yang disodorkan KY mestinya tidak diabaikan tapi dilaksanakan MA. Data KY sepanjang 2015 hingga 2019 menunjukkan betapa tumpul dan tidak efektifnya putusan dan rekomendasi tersebut. Komunikasi antardua lembaga dan pimpinan masing-masing perlu diperbaiki secara berlanjut. Egosentris dua lembaga harus disisihkan, bukan malah menyeruak di ruang publik.

Kinerja MA dan KY pernah disinggung Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menyampaikan Pidato Kenegaraan dalam sidang tahunan MPR. Presiden mengapresiasi kinerja MA dan KY. Berikutnya Presiden menyoroti penanganan KY atas laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

"Sepanjang tahun 2019 hingga Juni 2020, KY telah menangani 1.584 laporan masyarakat dan merekomendasikan 225 penjatuhan sanksi," ujar Presiden saat menyampaikan Pidato Kenegaraan, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8) lalu. (Baca: Kasus Virus Corona Global Tembus 23 Juta)

Jika angka 225 penjatuhan sanksi seperti disebutkan Presiden itu dikurangkan dengan angka 130 sanksi yang dijatuhkan KY pada 2019 (lihat grafis), maka sepanjang Januari hingga Juni 2020 KY telah memutus pemberian sanksi terhadap 90 orang hakim dan merekomendasikannya ke MA.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian untuk Independensi Peradilan (LeIP) Liza Farihah menyatakan, yang harus diingat bersama bahwa rekomendasi merupakan hal yang bersifat tidak final dan tidak mengikat. Sifat yang sama berlaku bagi rekomendas terkait putusan penjatuhan sanksi etik bagi para hakim yang disampaikan KY ke MA. Liza menggariskan, harus diakui bahwa berbagai rekomendasi yang disampaikan KY ke MA selalu didasarkan pada hasil pemeriksaan yang telah dilakukan.

"Memang kalau dilihat data, ada cukup banyak rekomendasi KY yang tidak ditindaklanjuti MA atau tidak dijalankan. MA sendiri sebagai lembaga punya kewenangan. Hakim itu kan di bawah MA. Nah, Ketua MA itu adalah puncak tertinggi atau orang yang berwenang menjatuhkan hukuman disiplin atau sanksi kepada hakim maupun pegawai," tegas Liza.

Menurut dia, ada tiga masalah mendasar dan serius dalam aspek pengawasan hakim yang belum mampu diselesaikan MA dan KY. Pertama, pemahaman dan tafsir berbeda tentang teknis yudisial pada pelanggaran etik hakim. Masing-masing lembaga memiliki definisi sendiri-sendiri. Secara umum, kata dia, teknis yudisial terkait dengan legal error, pelanggaran hukum acara, dan lain-lain.

Atas pelanggaran teknis yudisial dan sanksi yang direkomendasikan KY, sering kali MA menyatakan bahwa untuk teknis yudisial baik MA maupun KY tidak ada yang bisa ikut campur. MA selalu menyampaikan harusnya kalau para pihak dalam perkara tidak sepakat atau misalanya terdakwa merasa haknya diciderai, maka silakan mengajukan upaya hukum lain. (Baca juga: Setelah 25 Agustus Segera Cek Saldo Anda, Pastikan Itu Gaji atau BLT yang Masuk)
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1161 seconds (0.1#10.140)