Revisi UU Pemilu Jadi Tugas Utama Presiden dan DPR Terpilih

Sabtu, 27 April 2019 - 06:53 WIB
Revisi UU Pemilu Jadi Tugas Utama Presiden dan DPR Terpilih
Revisi UU Pemilu Jadi Tugas Utama Presiden dan DPR Terpilih
A A A
JAKARTA - Banyaknya insiden dalam Pemilu Serentak 2019 menjadi pelajaran berharga bagi perumusan penyelenggaraan pesta demokrasi yang lebih berkualitas di masa depan. Presiden dan anggota DPR terpilih wajib memperbaiki regulasi penyelenggaraan pemilu sehingga tak lagi memicu ratusan korban jiwa.

Pemilu 2019 merupakan pengalaman perdana bangsa Indonesia melaksanakan pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) di waktu yang bersamaan. Hal ini merupakan imbas dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2014 yang dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu (UU Pemilu).

Namun banyaknya insiden yang terjadi dalam pelaksanaan pemilu 17 April lalu menunjukkan banyaknya kelemahan dalam UU yang harus diperbaiki. “Jadi memang dari perjalanan UU Nomor 7/2017, kami melihat banyak hal yang masih harus diperbaiki. Dan ini pengalaman pertama buat kita sebagai bangsa Indonesia melaksanakan pemilu bersamaan antara pilpres dan pileg,” kata Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, kemarin.

Menurut Zainudin, sesuatu yang wajar jika ada kekuarangan karena kita melaksanakan hal yang baru dengan dasar UU baru, dalam perjalanan dari tahapan verifikasi parpol, kemudian pencalonan dan sebagainya, banyak catatan untuk diperbaiki. "Saya setuju setelah terbentuknya pemerintahan baru, DPR yang baru segera maju dengan revisi UU 7/2017," tambahnya.

Amali melihat banyak hal yang tidak diperhitungkan saat merumuskan UU 7/2017 itu. Panjangnya masa kampanye misalnya yang menghabiskan energi luar biasa dan memicu pembelahan di masyarakat serta banyaknya kertas suara yang mencapai 5 buah itu menjadikan PPS (panitia pemungutan suara) kelelahan atau bahkan ratusan petugas meninggal dunia karena bekerja dari pagi sampai dini hari.

Belum lagi soal kotak suara yang rentan rusak dan masih banyak lagi masalah lainnya. “Kalau ditanya apakah ada upaya revisi, menurut saya harus dan itu menjadi tugas pemerintah baru sama DPR yang baru. Kalau kita (DPR periode sekarang) kan nggak mungkin lagi. Sekarang ini perjalanan, tahapan sampai dengan proses-proses di tingkat DPRD ini sampai Oktober, nggak mungkin,” ujarnya.

Meski demikian, menurut politikus Partai Golkar itu, apa yang menjadi bahan revisi, semua pihak terkait mulai dari penyelenggara pemilu, pemerintah, partai politik hingga aparat keamanan dan penegak hukum harus duduk bersama. Sejauh ini, lanjut Amali, sudah banyak usulan dari berbagai pihak.

Misalnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengusulkan agar keserentakannya dipisah antara pemilu lokal dan nasional. Hal itu menurutnya dimungkinkan karena putusan MK hanya menyebutkan keserentakan pileg dan pilpres saja. Pilkada serentak dengan pemilu itu pada dasarnya hanya usulan saja. Kalau demikian, ada UU lain juga yang harus diubah.

“Kan itu harus kita lihat, apa yang harus kita perbaiki lagi itu bersentuhan dengan Undang-Undang Otonomi Daerah dan sebagainya. Jadi ada banyak hal,” ucap Amali. Karena itu dia kembali menyarankan agar saat pemerintahan yang baru terbentuk, pemerintah harus segera duduk dan merumuskan RUU Pemilu supaya ada waktu.

Jangan seperti kemarin dengan waktu pembahasan mepet, sebab idealnya buat penyelenggara pemilu itu mereka sudah punya pegangan UU apa yang menjadi patokan sekitar 24 bulan sebelum pelaksanaan tahapan awal.

“Kemarin sudah di ujung-ujung kita baru jadi bulan Agustus atau Juli 2017, sementara 2018 sudah mulai tahapan pemilu. Cuma memang kita menghitungnya ke hari H. Saya lebih berpikir menghitungnya ke tahapan awal, dimulai berapa jangka waktu yang diberikan. Kalau dihitung misalnya tanggal 17 mundur kemarin, cuma dapat nggak sampai 2 tahun,” paparnya.

Meski demikian Amali mengapresiasi bahwa pemilu serentak ini benar-benar terlaksana. Meskipun ini kali pertama bagi Indonesia, pemilu bisa berjalan dengan baik. Walaupun masih ada kekurangan di sana-sini, tentu kekurangan itu harus diperbaiki. Terlebih secara berturut-turut sejak 2017 hingga 2019 ini Indonesia melakukan pilkada dan pemilu serentak.

Ada luka yang belum sembuh di masyarakat, lalu ditambah luka baru. Jadi bisa dibayangkan bagaimana grand design pemilu dan pilkada serentak di 2024 nanti, akan ada berapa anggota masyarakat dan petugas yang jatuh pingsan.

“Semua pengalaman kita, semua perjalanan Pemilu Serentak 2019 ini harus kita catat dengan baik sehingga perubahan nanti jangan memunculkan lagi hal yang menyulitkan. Banyaklah yang harus kita revisi, tapi kita harus sabar, kita tunggu penyelenggara menyelesaikan tugasnya,” sebut Amali.

Senada, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo berpandangan, harus ada perubahan pada mekanisme pemilu di Tanah Air. Menurutnya banyaknya petugas KPPS Pemilu 2019 yang sakit dan meninggal dunia adalah akibat sistem rekapitulasi suara manual yang melelahkan. Selain itu panjangnya waktu kampanye juga tak efektif.

Belum lagi penggunaan paku untuk mencoblos terkesan sangat primitif di zaman teknologi canggih era digital 4.0. “Saya mendorong pemerintah, KPU, dan DPR untuk mengevaluasi pelaksanaan Pemilu 2019 dan mengkaji Undang-Undang Pemilu yang ada,” kata Bambang dalam siaran pers yang diterima KORAN SINDO di Jakarta kemarin.

Menurut Bambang, bukan hanya e-counting atau rekap elektronik (rekap-el) sebagaimana yang diusulkan KPU. Tapi perubahan secara menyeluruh, yaitu dengan menerapkan sistem e-voting yang bisa dimulai uji cobanya pada pilkada serentak mendatang karena dapat menghemat waktu, tenaga, dan biaya hingga triliunan rupiah.

“Kita prihatin korban yang meninggal terus bertambah. Tidak saja dari KPPS, tapi juga dari panwas dan aparat keamanan. Untuk itu ada beberapa langkah yang harus segera dilakukan,” ujar Bambang.

Karena itu, kata Bambang, DPR melalui Komisi II mengajak pemerintah dan KPU untuk secara bersama-sama pascareses nanti melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Pemilu 2019 serta mengkaji UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu, terutama terhadap perlunya segera diterapkan sistem pemilu yang murah, efisien, dan tidak rumit serta tidak memakan banyak korban, baik terhadap penyelenggara pemilu, pengawas maupun pihak keamanan.

Bukan sekadar e-counting atau rekap-el, tapi e-voting yang dapat menghemat tenaga dan biaya hingga triliunan rupiah. Dengan ini tidak diperlukan lagi panitia penyelenggara, pengawas, saksi maupun keamanan yang banyak. Termasuk tidak dibutuhkan lagi pengadaan bilik suara, kotak suara, surat suara, dan tinta.

“Untuk itu seusai penetapan hasil pemilu pada 22 Mei mendatang, saya mendorong KPU untuk mempersiapkan sarana maupun prasarana dan melakukan kajian secara matang terhadap rencana pelaksanaan Pilkada dan Pemilu jika menggunakan sistem e-voting, agar dapat menjamin azas jujur, adil dan rahasia tetap terjamin, kelancaran, keamanan, dan ketertiban pada pelaksanaan pilkada dan pemilu mendatang serta selalu mengedepankan prinsip bekerja dengan transparan, berintegritas, profesional, dan independen,” dia memberikan usulan.

Selain itu, dia menambahkan, DPR juga akan meminta MK agar memahami dampak dari keputusan pilpres dan pileg serentak yang telah memakan banyak korban anak-anak bangsa serta mendorong fraksi-fraksi yang ada di DPR sebagai perpanjangan tangan partai politik yang ada untuk mengembalikan lagi penyelenggaraan pilpres dan pileg seperti pemilu yang lalu.

“Yakni sistem pemilu terpisah antara pilpres dan pileg (DPR RI, DPD, dan DPRD) dengan masa kampanye maksimal 3 bulan agar energi bangsa ini tidak habis terkuras pada hanya pusaran kompetisi pemilu,” tandasnya.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3995 seconds (0.1#10.140)