Angka Pernikahan Dini Jumlahnya Meningkat

Selasa, 16 April 2019 - 08:20 WIB
Angka Pernikahan Dini Jumlahnya Meningkat
Angka Pernikahan Dini Jumlahnya Meningkat
A A A
JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka persentase pernikahan dini di Tanah Air meningkat menjadi 15,66% pada 2018, dibanding tahun sebelumnya 14,18%. Kenaikan persentase pernikahan dini tersebut merupakan catatan tersendiri bagi pemerintah yang sedang terus berusaha memperbaiki Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Berdasarkan data BPS, mereka yang digolongkan pernikahan dini adalah perempuan yang menikah pertama di usia 16 tahun atau kurang. Dari catatan BPS, provinsi dengan jumlah persentase pernikahan muda tertinggi adalah Kalimantan Selatan sebanyak 22,77%, Jawa Barat (20,93%), dan Jawa Timur (20,73%).

Sebagai perbandingan, pada 2017 persentase pernikahan dini di Jawa Barat mencapai 17,28%.‎ Angka itu lebih rendah dari Jawa Timur (18,44%) dan Kalimantan Selata‎n (21,53%). Dengan demikian, peningkatan persentase pernikahan muda pada 2018 di Jawa Barat jauh lebih signifikan dibandingkan provinsi lainnya.

Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, pernikahan di usia muda berpengaruh signifikan pada tingkat kematian bayi dan angka harapan hidup. Menurutnya, seorang ibu yang siap secara fisik dan mental akan menekan tingkat kematian bayi.

"Bayangkan jika seseorang menikah secara dini, psikologi dan kesehatan ibu akan buruk. Ketika buruk, dia berpengaruh pada tingkat kematian bayi sehingga angka harapan hidup berkurang‎," tutur pria yang akrab dipanggil Kecuk itu saat konferensi pers di Jakarta kemarin.

Hanya saja, ujar Kecuk, BPS tidak mengetahui detail apa saja yang menyebabkan angka pernikahan muda meningkat. "Saya kira perlu dilakukan sosialisasi terutama mengenai program keluarga berencana. Sebab saat ini, jumlah anak pun mengalami peningkatan, sudah bukan dua anak lagi," katanya.

Pada kesempatan itu, BPS juga merilis angka IPM Indonesia pada 2018 yang mencapai 71,39. Angka ini meningkat 0,58 poin atau tumbuh 0,82% dibandingkan 2017.

Meski begitu, angka ini lebih rendah dari target Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar 71,5. BPS menyatakan, meningkatnya angka pernikahan muda menjadi salah satu penghambat laju IPM nasional 2018.

"Secara keseluruhan, IPM terus mengalami peningkatan sejak tahun 2010. Tapi jika dibandingkan dengan target APBN, memang lebih rendah. Namun selisihnya cukup tipis," ujar Kecuk.

Peningkatan IPM 2018 didorong pertumbuhan di semua komponen, yaitu umur harapan hidup saat lahir (tumbuh 0,19 %), harapan lama sekolah (tumbuh 0,47 %), rata-rata lama sekolah (tumbuh 0,86 %), pengeluaran per kapita per tahun (tumbuh 3,7 %). Selain itu, disparitas status pembangunan manusia di provinsi pun mengecil.

“Hal ini terlihat dari Provinsi Papua yang naik statusnya menjadi sedang atau 60,06. Ini menyebabkan Papua menjadi provinsi dengan pertumbuhan IPM tertinggi yaitu 1,64 %," kata Kecuk.

Sementara itu, Pengamat Sosial Universitas Gadjah Mada (UGM) Hempri Suyatna mengatakan, ada beberapa penyebab terjadinya pernikahan dini di Indonesia. Di antaranya perkembangan teknologi dan pergaulan.

“Nikah dini sebenarnya hasil dari pola pikir yang kurang rasional. Nikah dini dianggap sebagai jalan keluar dari persolan hidup dan jalan keluar pergaulan bebas, tetapi kenyaraannnya justru sebaliknya," papar dosen Fisipol UGM ini.

Hempri menambahkan, pernikahan dini akan memunculkan sejumlah risiko antara lain menurunnya kesehatan reproduksi, beban ekonomi yang makin bertambah berat, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian dan bunuh diri.

Untuk itu pernikahan dini harus dicegah dengan meningkatkan kesadaraan laki-laki dan perempuan sejak masih remaja. Sebab, usia remaja merupakan masa transisi di mana anak masih suka meniru dan suka mencoba hal-hal yang baru.

“Umumnya, anak remaja masih tergantung pada lingkungan sosial dan belum mampu mandiri, tetapi sudah ingin dilepas oleh orang tuanya untuk belajar mandiri," katanya.

Menurutnya, pesatnya kemajuan teknologi selain membawa dampak positif berupa kemudahan dalam mengakses informasi, juga berdampak negatif.

Hempri menambahkan, dengan berbagai kemudahan tersebut tentunya berbagai informasi dapat dengan cepat didapatkan. Hanya saja jika salah dalam mengakses informasi tentunya akan akan berdampak kurang baik, terutama konten-konten yang mestinya belum saatnya diaskes oleh anak-anak.

"Karena itu perlu pembatasan dan pengawasaan penggunaan teknologi tersebut," paparnya. (Ichsan Amin/Priyo Setyawan/Sindonews)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5295 seconds (0.1#10.140)