Pidato Kenegaraan Presiden: Jauh Panggang dari Api

Jum'at, 21 Agustus 2020 - 06:14 WIB
loading...
A A A
Langkah sigap pemerintah menggelontorkan sejumlah paket bantuan untuk atasi pandemi cukup banyak menuai apresiasi. Namun, dibalik besarnya kuantitas bantuan tersebut sesungguhnya masih tersimpan banyak masalah, khususnya dalam hal tata kelola dan efektivitas bantuan kepada korban terdampak.

Hasil survei nasional yang dirilis oleh Lembaga Kajian Strategis dan Pembangunan (LKSP) pada Mei 2020 menyebutkan, sebanyak 74,56% masyarakat menunjukan ketidakpuasannya kepada kinerja pemerintah pusat dalam menangani pandemi. Bahkan, ketidakpuasan publik terhadap pemerintah dari level pusat sampai sampai daerah menunjukan angka di atas 50%. Di samping itu, mayoritas alasan publik menyatakan tidak puas dilandasi sejumlah faktor. Misalnya, ketidaktegasan aturan, koordinasi yang kurang antar instansi dan kurang terbukanya informasi.

Sementara itu, dalam survei berbeda yang dilakukan oleh Indikator Politik menunjukan, sebanyak 60,3% masyarakat menganggap bantuan sosial yang diberikan untuk warga kurang mampu dinilai kurang atau tidak tepat sasaran sama sekali. Bahkan sebanyak 48,9% menyatakan tidak setuju sebagian dana di program prakerja digunakan untuk pelatihan online. Mereka menilai pembagian sembako dan bantuan tunai lebih bermanfaat ketimbang pelatihan online pada program prakerja.

Temuan dalam survei tersebut juga semakin dipertajam dengan sejumlah polemik yang kami temui di lapangan. Praktik penyelewengan terhadap bansos cukup marak terjadi di hilir. Penyelewengan tersebut salah satunya dilakukan dalam bentuk penetapan sepihak item sembako oleh oknum pejabat di daerah sehingga menyalahi ketentuan dari Pedoman Umum Program Sembako yang telah disusun oleh pemerintah pusat. Selain itu, Polri setidaknya menemukan 102 kasus penyelewengan dana bansos di 20 daerah di seluruh Indonesia. Kasus penyelewengan tersebut dilakukan dengan berbagai motif seperti pemotongan dana oleh oknum perangkat desa, pengurangan timbangan paket sembako, sampai pembagian yang tidak merata.

Masalah lain yang cukup krusial adalah penyerapan anggaran oleh sejumlah kementerian yang masih minim. Pada 3 Agutus silam Presiden sendiri menyampaikan secara terbuka bahwa dari anggaran stimulus penanganan Covid-19 sebesar Rp695 triliun, baru 20% saja yang terserap. Penyerapan anggaran yang diklaim tertinggi sampai saat itu baru pada aspek perlindungan sosial (38%) dan UMKM (25%) semata. Sedangkan di luar itu, realisasi anggarannya sangat kecil sekali, sambungnya. Ironisnya, sektor kesehatan yang menjadi domain krusial dalam situasi pandemi ini baru menyerap anggaran sebesar 5,12% dari total alokasi sebesar Rp87,75 triliun.

Artinya, sejumlah kebijakan Presiden di tengah pandemi masih menyisakan lubang besar yang harus segera diperbaiki. Pemerintah tidak boleh berbangga diri dengan kuantitas program yang telah dicanangkan berikut triliunan rupiah yang telah dikucurkan selama ini. Tata kelola dan efektivitas bantuan di akar rumput masih menjadi rapor merah pada tataran implimentasi. Oleh sebab itu, pemerintah harus berhenti membohongi publik melalui narasi yang didramatisir. Sebab, apa yang disampaikan dalam pidato kenegaraan tersebut tidak sepenuhnya merepresentasikan kondisi faktual di lapangan, khususnya selama penanganan pandemi. Atau dalam peribahasa; Jauh Panggang Dari Api!

Catatan selanjutnya adalah terkait statement berikut: “Penegakan nilai-nilai demokrasi juga tidak bisa ditawar. Demokrasi harus tetap berjalan dengan baik, tanpa mengganggu kecepatan kerja dan kepastian hukum, serta budaya adiluhung bangsa Indonesia..”

Saya justru melihat kalimat ini sebagai sebuah paradoks jika dibandingkan dengan kondisi penyelenggaraan negara di periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi. Kontrol terhadap pemerintah semakin melemah semenjak mayoritas partai politik merapat ke kubu kekuasaan. Hal ini semakin diperparah dengan fenomena pelemahan kewenangan legislatif melalui sejumlah kebijakan anyar pemerintah seperti Omnibus Law RUU Cipta Kerja maupun Perppu Nomor 1/ 2020 (yang kini sudah menjadi UU Nomor 2/2020).

Tidak berhenti disitu, social control oleh masyarakat pun acapkali menerima represi melalui tindakan teror, peretasan, sampai pembubaran acara diskusi. Padahal, dalam penyelenggaraan negara dibutuhkan partisipasi yang proporsional dari segala pihak untuk mendukung kondisi check and balance yang memadai terhadap penyelenggaraan negara, baik oleh parpol di parlemen maupun social control dari masyarakat. Namun, fakta yang terjadi justru sebaliknya, yakni sebuah kemunduran. Kemunduran demokrasi ini semakin diperparah dengan fenomena dinasti politik yang semakin menguat, bahkan ditunjukan secara vulgar. Kasus Gibran (putra Presiden) dan Bobby Nasution (menantu Presiden) yang maju pada pilwalkot Solo dan Medan sebagai contohnya.

Mark Bovens dan Anchrit Wille dalam Diploma Democracy: The Rise of Political Meritocracy (2017) menjelaskan bahwa sistem pemerintahan demokrasi sesungguhnya diciptakan untuk menentang sistem politik turun temurun (dinasti politik). Kelompok terdidik yang berasal dari kelas menengah mengambil alih posisi golongan tua yang memperoleh posisi elit secara pewarisan sepanjang abad ke-20. Pergeseran model pewarisan ke arah model meritokrasi akhirnya menciptakan gerakan emansipasi pada masa itu.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1410 seconds (0.1#10.140)