Kampanye Pragmatis Ditampilkan, Politik Gagasan Semakin Jauh
A
A
A
JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebut ada empat tantangan yang kemungkinan akan dihadapi menjelang proses pencoblosan 17 April mendatang.
Pertama munculnya pragmatisme untuk menang. Jelas hal ini dapat merusak politik gagasan karena masyarakat lebih membutuhkan terobosan dari caleg dibanding politik citra.
“Kampanye pragmatis mengedepankan citra, simbol. Akhirnya, politik gagasan semakin jauh," ujar Direktur Perludem Titi Anggraini dalam diskusi bertajuk Konfigurasi Caleg Nasionalis 80 Dapil di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, kemarin. Titi menyebut, menjelang pencoblosan akan semakin marak penyebaran berita hoaks dan fitnah.
Dia bahkan menduga penyebaran hoaks akan lebih masif pada masa kampanye terbuka. "Kami menduga penyebaran ini punya potensi meningkat di masa kampanye rapat umum dari masa tenang. Ini kesempatan terakhir untuk membangun afeksi dukungan pemilih," tutur Titi.
Dia mengungkapkan penyebaran berita hoaks tentang penyelenggaraan pemilu menyasar peserta hingga penyelenggara. Selain penyebaran berita hoaks, hal yang perlu di waspadai adalah politik uang. Tantangan terakhir, kata Titi, adalah potensi munculnya ke ke rasan dalam penyelenggaraan pemilu.
Hal tersebut harus sangat diantisipasi oleh seluruh elemen, termasuk aparat pe negak hukum. "Kekerasan pemilu dibagi tiga, fisik atau luka, serangan milik negara atau pribadi, ancaman untuk melakukan kekerasan dan penyerangan terhadap fasili tas properti," ucapnya.
Lebih jauh Titi menilai, pada Pemilu 2019 ini pilpres lebih men dominasi dibandingkan legislatif. Titi menjelaskan, aturan yang dibuat KPU dalam penyelenggaraan pemilu lebih condong memprioritaskan pelaksanaan pemilihan calon orang nomor satu di Indonesia.
Salah satu contohnya penentuan jadwal pelaksanaan kampanye pileg yang mengikuti jadwal kampanye pilpres. “Artinya, desain pemilu serentak membuat penyelenggara pemilu didominasi dan berada di bawah bayang-bayang pemilu presiden,” tandasnya.
Dia mengakui KPU terlalu terbawa arus dengan lebih memprioritaskan pilpres. Padahal, menurutnya, pemilih harus diberikan sosialisasi pula terkait pelaksanaan pileg serta caleg yang berkontestasi. "Padahal, tidak semua partai mengusung capres-cawapres, contohnya saja Partai Garuda," tambahnya.
Lembaga riset Indomedia Poll menyatakan banyak caleg dari petahana dan kalangan artis kurang memberikan pendidikan politik ke masyarakat pada pemilu kali ini. Hal itu diketahui dari survei yang dilakukan terhadap beberapa caleg dari parpol berbasis ideologi nasionalis.
Riset tersebut di lakukan di 80 daerah pemilihan (dapil) para caleg. "Banyak caleg petahana dan yang populer seperti artis kurang terdengar menawarkan platform kebangsaan," kata Direktur Media dan Riset Indomedia Poll Hamzah Fansuri di acara yang sama.
Menurut dia, keadaan berbalik justru ditunjukkan oleh caleg yang baru muncul. Caleg baru itu justru lebih berani tampil agresif dengan menawarkan konsep yang sejalan dengan visi nasionalis. "Caleg baru justru lebih agresif dan berani dalam menawarkan konsep-konsep nasionalis," tutur Hamzah.
Padahal, lanjut dia, pendidikan politik merupakan hal yang ha rus dilakukan para caleg kepada masyarakat. Tujuan nya agar proses demokrasi dapat berjalan dengan sehat. "Hanya beberapa caleg yang menaruh perhatian pada pentingnya mengedukasi publik lewat visi-misi dan tawaran program yang mendapat apresiasi dari publik," ucap Hamzah.
Analis politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menyatakan, kampanye pilpres hanya berpusat pada diksi yang sensasional untuk didengar masyarakat. Diksi dan frasa tersebut pada akhirnya hanya membuat bising dan memekakkan ruang opini publik.
"Narasi kampanye Pilpres 2019 masih jauh dari substansi, sangat dangkal gagasan, berkutat pada perang diksi yang mini misi,” katanya. Narasi kampanye yang dang kal justru mengalihkan perbincangan publik untuk tidak terlalu dalam masuk menyentuh persoalan yang lebih substantif. Narasi kampanye negatif ini, menurut Pangi, dilontarkan karena ada pihak-pihak yang merasa khawatir bisa berpotensi merugikan kepentingan politiknya. (M Ridwan/Okezone)
Pertama munculnya pragmatisme untuk menang. Jelas hal ini dapat merusak politik gagasan karena masyarakat lebih membutuhkan terobosan dari caleg dibanding politik citra.
“Kampanye pragmatis mengedepankan citra, simbol. Akhirnya, politik gagasan semakin jauh," ujar Direktur Perludem Titi Anggraini dalam diskusi bertajuk Konfigurasi Caleg Nasionalis 80 Dapil di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, kemarin. Titi menyebut, menjelang pencoblosan akan semakin marak penyebaran berita hoaks dan fitnah.
Dia bahkan menduga penyebaran hoaks akan lebih masif pada masa kampanye terbuka. "Kami menduga penyebaran ini punya potensi meningkat di masa kampanye rapat umum dari masa tenang. Ini kesempatan terakhir untuk membangun afeksi dukungan pemilih," tutur Titi.
Dia mengungkapkan penyebaran berita hoaks tentang penyelenggaraan pemilu menyasar peserta hingga penyelenggara. Selain penyebaran berita hoaks, hal yang perlu di waspadai adalah politik uang. Tantangan terakhir, kata Titi, adalah potensi munculnya ke ke rasan dalam penyelenggaraan pemilu.
Hal tersebut harus sangat diantisipasi oleh seluruh elemen, termasuk aparat pe negak hukum. "Kekerasan pemilu dibagi tiga, fisik atau luka, serangan milik negara atau pribadi, ancaman untuk melakukan kekerasan dan penyerangan terhadap fasili tas properti," ucapnya.
Lebih jauh Titi menilai, pada Pemilu 2019 ini pilpres lebih men dominasi dibandingkan legislatif. Titi menjelaskan, aturan yang dibuat KPU dalam penyelenggaraan pemilu lebih condong memprioritaskan pelaksanaan pemilihan calon orang nomor satu di Indonesia.
Salah satu contohnya penentuan jadwal pelaksanaan kampanye pileg yang mengikuti jadwal kampanye pilpres. “Artinya, desain pemilu serentak membuat penyelenggara pemilu didominasi dan berada di bawah bayang-bayang pemilu presiden,” tandasnya.
Dia mengakui KPU terlalu terbawa arus dengan lebih memprioritaskan pilpres. Padahal, menurutnya, pemilih harus diberikan sosialisasi pula terkait pelaksanaan pileg serta caleg yang berkontestasi. "Padahal, tidak semua partai mengusung capres-cawapres, contohnya saja Partai Garuda," tambahnya.
Lembaga riset Indomedia Poll menyatakan banyak caleg dari petahana dan kalangan artis kurang memberikan pendidikan politik ke masyarakat pada pemilu kali ini. Hal itu diketahui dari survei yang dilakukan terhadap beberapa caleg dari parpol berbasis ideologi nasionalis.
Riset tersebut di lakukan di 80 daerah pemilihan (dapil) para caleg. "Banyak caleg petahana dan yang populer seperti artis kurang terdengar menawarkan platform kebangsaan," kata Direktur Media dan Riset Indomedia Poll Hamzah Fansuri di acara yang sama.
Menurut dia, keadaan berbalik justru ditunjukkan oleh caleg yang baru muncul. Caleg baru itu justru lebih berani tampil agresif dengan menawarkan konsep yang sejalan dengan visi nasionalis. "Caleg baru justru lebih agresif dan berani dalam menawarkan konsep-konsep nasionalis," tutur Hamzah.
Padahal, lanjut dia, pendidikan politik merupakan hal yang ha rus dilakukan para caleg kepada masyarakat. Tujuan nya agar proses demokrasi dapat berjalan dengan sehat. "Hanya beberapa caleg yang menaruh perhatian pada pentingnya mengedukasi publik lewat visi-misi dan tawaran program yang mendapat apresiasi dari publik," ucap Hamzah.
Analis politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menyatakan, kampanye pilpres hanya berpusat pada diksi yang sensasional untuk didengar masyarakat. Diksi dan frasa tersebut pada akhirnya hanya membuat bising dan memekakkan ruang opini publik.
"Narasi kampanye Pilpres 2019 masih jauh dari substansi, sangat dangkal gagasan, berkutat pada perang diksi yang mini misi,” katanya. Narasi kampanye yang dang kal justru mengalihkan perbincangan publik untuk tidak terlalu dalam masuk menyentuh persoalan yang lebih substantif. Narasi kampanye negatif ini, menurut Pangi, dilontarkan karena ada pihak-pihak yang merasa khawatir bisa berpotensi merugikan kepentingan politiknya. (M Ridwan/Okezone)
(nfl)