Fatwa MUI: Salam Lintas Agama Bukanlah Makna Toleransi yang Dibenarkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa mengenai panduan hubungan antarumat beragama, termasuk hukum salam lintas agama. Fatwa itu merupakan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII.
"Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia secara resmi ditutup. Salah satu hasilnya adalah panduan hubungan antarumat beragama," ujar Ketua MUI Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh, Jumat (31/5/2024).
Forum Ijtima Ulama memandang bahwa prinsip dasar hubungan antarumat beragama dalam Islam sebagai berikut:
A. Islam menghormati pemeluk agama lain dan menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ajaran agama sesuai keyakinannya dengan prinsip toleransi (al-tasamuh) sesuai tuntunan Al-Qur’an “lakum dinukum wa liyadin” (untukmu agamamu dan untukku agamaku) tanpa mencampuradukkan ajaran agama (sinkretisme).
B. Dalam masalah muamalah, perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk terus menjalin kerja sama (Al-ta’awun) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara harmonis, rukun, serta damai.
"Umat Islam tidak boleh mengolok-olok, mencela dan/atau merendahkan ajaran agama lain (Al-istihza). Antarumat beragama tidak boleh mencampuri dan/atau mencampuradukkan ajaran agama lain," katanya.
Terkait fikih salam lintas agama, MUI tidak membenarkan pengucapan salam berbagai agama dengan alasan toleransi. Hal tersebut bukanlah makna toleransi.
"Penggabungan ajaran berbagai agama termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama dengan alasan toleransi dan/atau moderasi beragama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan," tegas Asrorun.
Dalam Islam, pengucapan salam merupakan doa yang bersifat ubudiah, karenanya harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam agama lain.
"Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram. Pengucapan salam dengan cara menyertakan salam berbagai agama bukan merupakan implementasi dari toleransi dan/atau moderasi beragama yang dibenarkan," ujarnya.
Dalam forum yang terdiri atas umat Islam dan umat beragama lain, umat Islam dibolehkan mengucapkan salam dengan Assalamu’alaikum dan/atau salam nasional atau salam lainnya yang tidak mencampuradukkan dengan salam doa agama lain seperti selamat pagi.
Adapun terkait fikih toleransi dalam Perayaan Hari Raya Agama Lain, MUI memandang sebagai berikut:
1. Setiap agama memiliki hari raya sebagai hari besar keagamaan yang biasanya disambut dengan perayaan oleh penganutnya.
2. Setiap umat Islam harus menjalankan toleransi dengan memberikan kesempatan kepada umat agama lain yang sedang merayakan ritual ibadah dan perayaan hari besar mereka. Bentuk toleransi beragama adalah:
a. Dalam hal akidah, memberikan kebebasan kepada umat agama lain untuk melaksanakan ibadah hari raya sesuai keyakinannya dan tidak menghalangi pelaksanaannya.
b. Dalam hal muamalah, bekerja sama secara harmonis serta bekerja sama dalam hal urusan sosial bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
3. Toleransi umat beragama harus dilakukan selama tidak masuk ke dalam ranah akidah, ibadah ritual dan upacara-upacara keagamaan seperti mengucapkan selamat hari raya agama lain, menggunakan atribut hari raya agama lain, memaksakan untuk mengucapkan atau melakukan perayaan agama lain atau tindakan yang tidak bisa diterima oleh umat beragama secara umum.
4. Beberapa tindakan sebagaimana yang dimaksud dalam angka nomor 3 dianggap sebagai mencampuradukkan ajaran agama.
Ijtima Ulama ini diikuti 654 peserta dari unsur pimpinan lembaga fatwa ormas Islam tingkat pusat, pimpinan Komisi Fatwa MUI se-Indonesia, pimpinan pesantren tinggi ilmu-ilmu fikih, pimpinan fakultas syariah perguruan tinggi ke-Islaman, perwakilan lembaga fatwa negara ASEAN dan Timur Tengah seperti Malaysia dan Qatar, individu cendekiawan muslim dan ahli hukum Islam, serta para peneliti sebagai peninjau.
Acara ini dibuka Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin. Hadir memberikan materi pengayaan terkait tema pembahasan Ijtima antara lain Ketua Baznas Prof Noor Ahmad, Kepala BPKH Fadlul Imansyah, Dirjen Pengelolaan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama Prof Hilman Latief, Staf Ahli Menteri Luar Negeri Bidang Hubungan Antar Lembaga Muhsin Syihab, mantan Wapres Jusuf Kalla (JK), serta Ketua Umum Kadin Arsjad Rasjid.
"Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia secara resmi ditutup. Salah satu hasilnya adalah panduan hubungan antarumat beragama," ujar Ketua MUI Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh, Jumat (31/5/2024).
Forum Ijtima Ulama memandang bahwa prinsip dasar hubungan antarumat beragama dalam Islam sebagai berikut:
A. Islam menghormati pemeluk agama lain dan menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ajaran agama sesuai keyakinannya dengan prinsip toleransi (al-tasamuh) sesuai tuntunan Al-Qur’an “lakum dinukum wa liyadin” (untukmu agamamu dan untukku agamaku) tanpa mencampuradukkan ajaran agama (sinkretisme).
B. Dalam masalah muamalah, perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk terus menjalin kerja sama (Al-ta’awun) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara harmonis, rukun, serta damai.
"Umat Islam tidak boleh mengolok-olok, mencela dan/atau merendahkan ajaran agama lain (Al-istihza). Antarumat beragama tidak boleh mencampuri dan/atau mencampuradukkan ajaran agama lain," katanya.
Terkait fikih salam lintas agama, MUI tidak membenarkan pengucapan salam berbagai agama dengan alasan toleransi. Hal tersebut bukanlah makna toleransi.
"Penggabungan ajaran berbagai agama termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama dengan alasan toleransi dan/atau moderasi beragama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan," tegas Asrorun.
Dalam Islam, pengucapan salam merupakan doa yang bersifat ubudiah, karenanya harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam agama lain.
"Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram. Pengucapan salam dengan cara menyertakan salam berbagai agama bukan merupakan implementasi dari toleransi dan/atau moderasi beragama yang dibenarkan," ujarnya.
Dalam forum yang terdiri atas umat Islam dan umat beragama lain, umat Islam dibolehkan mengucapkan salam dengan Assalamu’alaikum dan/atau salam nasional atau salam lainnya yang tidak mencampuradukkan dengan salam doa agama lain seperti selamat pagi.
Adapun terkait fikih toleransi dalam Perayaan Hari Raya Agama Lain, MUI memandang sebagai berikut:
1. Setiap agama memiliki hari raya sebagai hari besar keagamaan yang biasanya disambut dengan perayaan oleh penganutnya.
2. Setiap umat Islam harus menjalankan toleransi dengan memberikan kesempatan kepada umat agama lain yang sedang merayakan ritual ibadah dan perayaan hari besar mereka. Bentuk toleransi beragama adalah:
a. Dalam hal akidah, memberikan kebebasan kepada umat agama lain untuk melaksanakan ibadah hari raya sesuai keyakinannya dan tidak menghalangi pelaksanaannya.
b. Dalam hal muamalah, bekerja sama secara harmonis serta bekerja sama dalam hal urusan sosial bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
3. Toleransi umat beragama harus dilakukan selama tidak masuk ke dalam ranah akidah, ibadah ritual dan upacara-upacara keagamaan seperti mengucapkan selamat hari raya agama lain, menggunakan atribut hari raya agama lain, memaksakan untuk mengucapkan atau melakukan perayaan agama lain atau tindakan yang tidak bisa diterima oleh umat beragama secara umum.
4. Beberapa tindakan sebagaimana yang dimaksud dalam angka nomor 3 dianggap sebagai mencampuradukkan ajaran agama.
Ijtima Ulama ini diikuti 654 peserta dari unsur pimpinan lembaga fatwa ormas Islam tingkat pusat, pimpinan Komisi Fatwa MUI se-Indonesia, pimpinan pesantren tinggi ilmu-ilmu fikih, pimpinan fakultas syariah perguruan tinggi ke-Islaman, perwakilan lembaga fatwa negara ASEAN dan Timur Tengah seperti Malaysia dan Qatar, individu cendekiawan muslim dan ahli hukum Islam, serta para peneliti sebagai peninjau.
Acara ini dibuka Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin. Hadir memberikan materi pengayaan terkait tema pembahasan Ijtima antara lain Ketua Baznas Prof Noor Ahmad, Kepala BPKH Fadlul Imansyah, Dirjen Pengelolaan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama Prof Hilman Latief, Staf Ahli Menteri Luar Negeri Bidang Hubungan Antar Lembaga Muhsin Syihab, mantan Wapres Jusuf Kalla (JK), serta Ketua Umum Kadin Arsjad Rasjid.
(jon)