Pendokumentasian Kisah Keluarga Tionghoa di Pedesaan/Kota Kecil
loading...
A
A
A
GIOK Sin adalah sebuah novel yang diinspirasi dari kisah nyata. Seperti dijelaskan oleh Tisnawati Simowibowo di bagian prakata, ia menulis novel ini berbasis kisah yang diceritakan oleh sang mertua. Jadi, sesungguhnya cerita ini adalah kisah nyata perjuangan seorang perempuan yang dinovelkan. Kisah tentang ibu mertua sang penulis. Tisnawati mengisahkan perjuangan seorang perempuan bernama Giok Sin dari sejak remaja sampai dengan meninggal di usia 90 tahun.
baca juga: Memupus Bias Tionghoa
Novel karya Tisnawati ini berhasil menggambarkan bagaimana pandangan perempuan Tionghoa tentang kemapanan hidup. Secara kontras Tisnawati membandingkan Giok Sin yang memilih menikah dengan pertimbangan kemapanan ekonomi dengan Gwat Mey yang menikah dengan pertimbangan cinta dan kesenangan. Tentu kedua tokoh ini dilengkapi dengan karakter yang berbeda sehingga kehidupan keluarganya juga berbeda. Giok Sin hidup dengan penuh perhitungan dan kehati-hatian. Sementara Gwat Mey sangat manja dan hanya mengejar kesenangan.
Selain berhasil menggambarkan pandangan perempuan Tionghoa dalam pernikahan, Tisnawati juga sangat berhasil menggambarkan kehidupan budaya orang Tionghoa kota kecil. Tisnawati menyisipkan dua kegiatan budaya, yaitu Imlek dan Peh Cun untuk menggambarkan keterikatan keluarga Tionghoa di kota kecil dengan budaya leluhur.
Tisnawati juga menguraikan bagaimana keluarga Tionghoa berjumpa dengan kekristenan. Pada umumnya keluarga Tionghoa di kota kecil seperti Juwana masih menjalankan budaya Tionghoa, meski sudah mengenal agama baru, yaitu Kristen/Katolik. Perjumpaan budaya Tionghoa dengan Kekristenan tidaklah menimbulkan gejolak yang besar bagi keluarga Tionghoa di kota kecil. Mereka mampu mengadaptasi dua budaya yang berbeda ini dalam kehidupan sehari-hari.
Giok Sin adalah seorang pemudi dari keluarga miskin. Itulah sebabnya saat remaja, selain bersekolah Giok Sin juga bekerja sebagai pemain sandiwara (tonil). Menyadari bahwa beban hidup keluarganya cukup besar, Giok Sin memilih untuk menerima pinangan King Goan, pemuda yang tidak tampan tetapi dari keluarga kaya di Juwana. Giok Sin menolak pinangan Wie Eng, gurunya yang sangat tampan. Kemapanan ekonomi King Goan menjadi pertimbangan utama Giok Sin.
Karena Giok Sin sangat cekatan dan tekun dalam bekerja, ia disukai oleh mertua perempuannya. Man Lie, menyukai Giok Sin karena Man Lie melihat bahwa Giok Sin adalah seorang perempuan yang bisa menjadi soko guru keluarga. Man Lie sendiri adalah seorang perempuan yang tidak cantik yang dinikahkan dengan pemuda yang tak suka bekerja. Man Lie lah yang menjadi penopang ekonomi keluarganya. Sementara suaminya yang menganggur lebih suka bermain judi.
baca juga: Tionghoa dalam Pendidikan Sejarah di Indonesia
Giok Sin berhasil mengelola toko keluarga mertuanya dan bahkan membesarkannya. Giok Sin juga diwarisi usaha terasi oleh mertuanya. Bahkan Man Lie mewanti-wanti agar usaha terasi tersebut tidak ditutup karena usaha terasi tersebut memberi hidup banyak keluarga. Usaha terasi ini berhasil direvitalisasi sehingga menjadi sebuah toko ikonik bagi para pelancong yang berwisata di Kota Juwana. Giok Sin berhasil mengemban amanah dari sang mertua.
Novel ini menggambarkan konflik antara keluarga Giok Sin dengan keluarga Gwat Mey. Sepertinya konflik yang dituliskan oleh Tisnawati di novel ini adalah sebuah kisah nyata. Sebuah konflik yang benar-benar terjadi. Anak-anak Gion Sin yang dididik dengan disiplin, menjadi anak-anak yang tumbuh penuh tanggungjawab. Sementara anak-anak Gwat Mey tumbuh menjadi anak-anak manja.
Kemerosotan ekonomi Gwat Mey membuat mereka kembali tinggal bersama dengan Giok Sin di Juwana. Karena merasa menjadi pewaris usaha keluarga, Gwat Mey merongrong Giok Sin untuk membiayai gaya hidupnya yang boros. Sampai suatu hari, Gwat Mey menuntut supaya kekayaan keluarga tersebut dibagi dua. Giok Sin yang tangguh berhasil membayar separuh hak yang dituntut oleh Gwat Mey, sehingga usaha keluarga tersebut sepenuhnya menjadi milik keluarga Giok Sin.
Pendokumentasian kisah keluarga Tionghoa di pedesaan atau kota kecil seperti kisah Giok Sin ini mempunyai nilai yang tinggi, kentai kisah mereka kurang menarik untuk ditulis sebagai karya sejarah murni. Di satu sisi, kisah-kisah seperti ini sangat sayang kalau hilang ditelan kala. Pilihan untuk menuangkan dalam bentuk karya fiksi adalah strategi yang jitu. Melalui karya fiksi, dokumentasi tentang kehidupan keluarga Tionghoa di pedesaan dan di kota-kota kecil bisa diabadikan dan tetap menarik untuk dibaca. Terima kasih Tisnawati Simowibowo.
Judul : Giok Sin
Penulis : Tisnawati Simowibowo
Terbit : 2024
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tebal : xiv + 274
ISBN : 978-623-160-332-6
baca juga: Memupus Bias Tionghoa
Novel karya Tisnawati ini berhasil menggambarkan bagaimana pandangan perempuan Tionghoa tentang kemapanan hidup. Secara kontras Tisnawati membandingkan Giok Sin yang memilih menikah dengan pertimbangan kemapanan ekonomi dengan Gwat Mey yang menikah dengan pertimbangan cinta dan kesenangan. Tentu kedua tokoh ini dilengkapi dengan karakter yang berbeda sehingga kehidupan keluarganya juga berbeda. Giok Sin hidup dengan penuh perhitungan dan kehati-hatian. Sementara Gwat Mey sangat manja dan hanya mengejar kesenangan.
Selain berhasil menggambarkan pandangan perempuan Tionghoa dalam pernikahan, Tisnawati juga sangat berhasil menggambarkan kehidupan budaya orang Tionghoa kota kecil. Tisnawati menyisipkan dua kegiatan budaya, yaitu Imlek dan Peh Cun untuk menggambarkan keterikatan keluarga Tionghoa di kota kecil dengan budaya leluhur.
Tisnawati juga menguraikan bagaimana keluarga Tionghoa berjumpa dengan kekristenan. Pada umumnya keluarga Tionghoa di kota kecil seperti Juwana masih menjalankan budaya Tionghoa, meski sudah mengenal agama baru, yaitu Kristen/Katolik. Perjumpaan budaya Tionghoa dengan Kekristenan tidaklah menimbulkan gejolak yang besar bagi keluarga Tionghoa di kota kecil. Mereka mampu mengadaptasi dua budaya yang berbeda ini dalam kehidupan sehari-hari.
Giok Sin adalah seorang pemudi dari keluarga miskin. Itulah sebabnya saat remaja, selain bersekolah Giok Sin juga bekerja sebagai pemain sandiwara (tonil). Menyadari bahwa beban hidup keluarganya cukup besar, Giok Sin memilih untuk menerima pinangan King Goan, pemuda yang tidak tampan tetapi dari keluarga kaya di Juwana. Giok Sin menolak pinangan Wie Eng, gurunya yang sangat tampan. Kemapanan ekonomi King Goan menjadi pertimbangan utama Giok Sin.
Karena Giok Sin sangat cekatan dan tekun dalam bekerja, ia disukai oleh mertua perempuannya. Man Lie, menyukai Giok Sin karena Man Lie melihat bahwa Giok Sin adalah seorang perempuan yang bisa menjadi soko guru keluarga. Man Lie sendiri adalah seorang perempuan yang tidak cantik yang dinikahkan dengan pemuda yang tak suka bekerja. Man Lie lah yang menjadi penopang ekonomi keluarganya. Sementara suaminya yang menganggur lebih suka bermain judi.
baca juga: Tionghoa dalam Pendidikan Sejarah di Indonesia
Giok Sin berhasil mengelola toko keluarga mertuanya dan bahkan membesarkannya. Giok Sin juga diwarisi usaha terasi oleh mertuanya. Bahkan Man Lie mewanti-wanti agar usaha terasi tersebut tidak ditutup karena usaha terasi tersebut memberi hidup banyak keluarga. Usaha terasi ini berhasil direvitalisasi sehingga menjadi sebuah toko ikonik bagi para pelancong yang berwisata di Kota Juwana. Giok Sin berhasil mengemban amanah dari sang mertua.
Novel ini menggambarkan konflik antara keluarga Giok Sin dengan keluarga Gwat Mey. Sepertinya konflik yang dituliskan oleh Tisnawati di novel ini adalah sebuah kisah nyata. Sebuah konflik yang benar-benar terjadi. Anak-anak Gion Sin yang dididik dengan disiplin, menjadi anak-anak yang tumbuh penuh tanggungjawab. Sementara anak-anak Gwat Mey tumbuh menjadi anak-anak manja.
Kemerosotan ekonomi Gwat Mey membuat mereka kembali tinggal bersama dengan Giok Sin di Juwana. Karena merasa menjadi pewaris usaha keluarga, Gwat Mey merongrong Giok Sin untuk membiayai gaya hidupnya yang boros. Sampai suatu hari, Gwat Mey menuntut supaya kekayaan keluarga tersebut dibagi dua. Giok Sin yang tangguh berhasil membayar separuh hak yang dituntut oleh Gwat Mey, sehingga usaha keluarga tersebut sepenuhnya menjadi milik keluarga Giok Sin.
Pendokumentasian kisah keluarga Tionghoa di pedesaan atau kota kecil seperti kisah Giok Sin ini mempunyai nilai yang tinggi, kentai kisah mereka kurang menarik untuk ditulis sebagai karya sejarah murni. Di satu sisi, kisah-kisah seperti ini sangat sayang kalau hilang ditelan kala. Pilihan untuk menuangkan dalam bentuk karya fiksi adalah strategi yang jitu. Melalui karya fiksi, dokumentasi tentang kehidupan keluarga Tionghoa di pedesaan dan di kota-kota kecil bisa diabadikan dan tetap menarik untuk dibaca. Terima kasih Tisnawati Simowibowo.
Judul : Giok Sin
Penulis : Tisnawati Simowibowo
Terbit : 2024
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tebal : xiv + 274
ISBN : 978-623-160-332-6
(hdr)