Doa Neno Warisman, TKN Anggap Menggiring Opini Publik

Sabtu, 23 Februari 2019 - 21:50 WIB
Doa Neno Warisman, TKN Anggap Menggiring Opini Publik
Doa Neno Warisman, TKN Anggap Menggiring Opini Publik
A A A
JAKARTA - Pengandaikan pemilihan presiden (Pilpres) sebagai perang adalah kekeliruan. Pilpres hanya kontestasi lima tahunan. Proses demokrasi biasa. Tentu akan ada yang dinyatakan terpilih dan tidak terpilih. Itulah mengapa konstitusi maupun regulasi lain tidak menggunakan istilah "menang" dan 'kalah".

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas mengatakan, Capres Joko Widodo (Jokowi) beragama Islam, Kiai Ma'ruf Amin Islam, Prabowo Islam, Sandiaga Uno Islam. Pasangan Capres-Cawapres semuanya beragama Islam.

"Lalu atas dasar apa kekuatiran Tuhan tidak ada yang menyembah kalau capres-cawapres yang didukung kalah? Apa selain capres-cawapres yang didukung bukan menyembah Tuhan, Allah SWT?" tanyanya.

Kata dia, tidak usah berusaha mengukur kadar keimanan orang. Apalagi masih terbiasa ukur baju orang lain dengan yang dikenakan sendiri. Berdoa merupakan bagian dari cara membangun hubungan baik dengan Allah SWT. Itulah mengapa Islam memberi guidance tata cara berdoa, yang antara lain dengan adab yang baik, dengan penuh sopan santun. Tentu juga tidak memanipulasi fakta.

"Ingat, Tuhan yang kita sembah adalah Allah SWT. Bukan Pilpres. Bahkan bukan agama itu sendiri," tegasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-KH Ma’ruf Amin, Abdul Kadir Karding mengatakan, ucapan Ustazah Neno Warisman dalam acara Munajat 212 di Monas pada Kamis 21 Februari 2019 malam tidak pantas disebut sebagai doa. Melainkan cuma orasi politik yang bersifat pragmatis berkedok agama.

"Pilihan diksi dalam ucapannya tampak sekali dibuat untuk menggiring opini publik. Seolah-olah hanya merekalah kelompok yang menyembah Allah. Sedangkan kelompok lain yang berseberangan bukan penyembah Allah. Pertanyaan saya dari mana Neno bisa mengambil kesimpulan itu? Apa ukurannya sampai ia bisa mengatakan jika pihaknya kalah maka tak akan ada lagi yang meyembah Allah?" kata Karding.

Menurut dia, Neno adalah contoh paling gamblang bagaimana agama dijadikan kedok untuk tujuan politik. Ia menafikan kenyataan bahwa Pak Jokowi-Maruf didukung oleh begitu banyak kiai, santri pondok pesantren, umat Islam yang juga menjalankan shalat, zakat, haji, dan berbagai kelompok lintas agama. Apa Neno merasa cuma dia dan kelompoknya yang menjalankan ibadah?

"Saya mengerti seorang umat beragama tidak bisa melepaskan ketentuan-ketentuan yang telah diatur Tuhan dalam menjalankan aktivitasnya, termasuk saat berpolitik. Da Tapi menjadikan nama Tuhan untuk tujuan politik seraya menggiring opini seolah lawan politiknya tidak menyembah Tuhan jelas merupakan hal mengggelikan. Apa Neno mengira bahwa surga dan Tuhan hanya untuk kelompok mereka?" tanyanya.

Kalau ada yang menganggap Neno terlalu fanatik agama, dia menilai, itu sebuah keliru. Karena orang yang fanatik agama berarti ia mengerti betul tentang nilai-nilai esensial yang diajarkan agama, seperti menghargai, menghormati, dan menjaga perasaan sesama manusia. "Bukan mengklaim seolah kelompoknya yang paling benar dan yang lain salah," katanya.

Menurut dia, Neno sedang terjerat dalam fanatisme politik. "Ucapannya bukan saja mendiskreditkan kelompok yang berlainan politik dengannya tapi bahkan juga berani mendikte dan mengancam Tuhan," kata Karding.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5110 seconds (0.1#10.140)