UU Pemilu Disebut Punya Kelemahan untuk Jerat Money Politics

Senin, 28 Januari 2019 - 17:31 WIB
UU Pemilu Disebut Punya Kelemahan untuk Jerat Money Politics
UU Pemilu Disebut Punya Kelemahan untuk Jerat Money Politics
A A A
JAKARTA - Badan pengawas pemilu (Bawaslu) menyoalkan Undang-Undang (UU) Pemilu yang masih memiliki kelemahan dalam menjerat perilaku money politics bila dibandingkan dengan UU Pilkada.

Aturan pilkada 2018 menyebutkan bahwa pemberi dan penerima bila terbukti melakukan money politics dikenakan sanksi pidana. Biaya transpor peserta kampanye pun harus dalam bentuk voucer tidak boleh dalam bentuk uang.

Hal itu berbeda dari UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam UU Pemilu tersebut, untuk kasus money politics, Pasal 284 menyebutkan, "Dalam hal terbukti pelaksana dan tim kampanye pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung atau tidak langsung untuk tidak menggunakan hak pilihnya,"

"Menggunakan hak pilihnya dengan memilih peserta pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, memilih Pasangan Calon tertentu, memilih Partai Politik Peserta pemilu tertentu dan/atau memilih calon anggota DPD tertentu, sesuai dengan Pasal 286 hanya dijatuhkan sanksi administrasi."

Di samping itu, UU Pemilu ini membolehkan pemberian biaya uang makan/minum, biaya uang/transport, biaya/uang pengadaan bahan kampanye kepada peserta kampanye pada pertemuan terbatas dan tatap muka peserta pemilu. Hal ini berdasarkan pada lampiran Pasal 286 UU Pemilu tidak termasuk pada kategori materi lainnya.

Selanjutnya, pada aturan bahan kampanye tercantum pada Peraturan KPU 23 Tahun 2018 Pasal 30, nilai setiap bahan kampanye apabila dikonversikan dalam bentuk uang nilainya paling tinggi Rp60.000. Padahal, ketika Pilkada 2018, nilai bahan kampanye apabila dikonversikan paling tinggi Rp25.000.

(Baca juga: Kubu 02 Yakin Pendukung PBB Pilih Prabowo-Sandi)

Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar menyebut, belum adanya peraturan yang jelas mengenai uang transport dan pengganti uang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini sangat berpotensi untuk melegalisasi politik uang.

"Karena apabila kita mengacu kepada misalnya dasar apa yang dipakai untuk menentukan adanya uang transport dan uang makan kalau kita mengacu pada PMK Menteri keuangan nomor 49 tahun 2017 maka itu besaranya tinggi sekali satu daerah dengan daerah lain," ujar Fritz dalam diskusi di kawasan Jl KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Senin (28/1/2019).

Fritz mencontohkan perbedaan uang transport disetiap daerah, misal di Papua itu 450 ribu, berbeda di Jakarta hanya 230 ribu. Kata Fritz itu baru uang transport, belum uang untuk makan yang pastinya berbeda.

"Seandainya orang itu datang dalam sebuah kampanye dia dapat uang pengganti makan, pengganti uang transport, maka jumlahnya akan luarbiasa Dan itu secara enggak langsung itu memperbolehkan adanya politik uang dalam proses kampanye," jelasnya.

Bawaslu pun bertindak tegas dengan mengirim surat peringatan kepada KPU karena kurang jelasnya peraturan terkait uang transport dan makan untuk peserta kampanye.

"Kami juga sudah kirim surat ke KPU, kemudian kami sudah kirim Surat peringatan ke KPU terkait bahwa sampai dengan kelalaian KPU untuk tidak membuat peraturan KPU terhadap nilai kewajaran pengganti uang transport dan uang makan," tutur Fritz.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 3.3017 seconds (0.1#10.140)