Kemenhub Diminta Tinjau Ulang Penurunan Status Bandara Sultan Iskandar Muda
loading...
A
A
A
JAKARTA - Keputusan untuk mengurangi jumlah bandara internasional di Indonesia dinilai tepat. Namun, seharusnya penentuan status bandara internasional itu dilakukan melalui kajian atas potensi yang bisa diraih di wilayah sekitarnya atau kepentingan ekonomi negara.
Pengamat Transportasi, Bambang Haryo Soekartono (BHS) menyatakan Indonesia menganut sistem cabotage, sesuai UU Nomor 1 Tahun 2009 untuk melindungi kedaulatan negara.
“Namun, penetapan status bandara tersebut harusnya melalui kajian. Misalnya untuk penurunan status Bandara Sultan Iskandar Muda di Aceh. Itu kan sayang sekali. Karena Aceh itu merupakan titik strategis, baik untuk bandara maupun pelabuhan,” ujar Anggota DPR RI Periode 2014-2019, Rabu (1/5/2024).
Aceh merupakan titik strategis transit perjalanan udara maupun laut skala internasional, baik dari Australia ke Eropa maupun Asia Timur ke Eropa dan sebaliknya.
“Harusnya, Aceh ini didorong menjadi lokasi dari bandara dan pelabuhan terbesar di dunia. Selama ini, peran itu kan diambil oleh Singapura, Malaysia, dan Thailand,” tandasnya.
Saat ini, Singapura mampu melayani hingga 30 juta lebih kontainer per tahun yang transit dan transhipment. Sementara, Malaysia mampu melayani 35 juta kontainer. Sangat jauh dibandingkan Jakarta yang mencatat sekitar 5 juta kontainer dan Surabaya sekitar 2 juta kontainer.
Menurut BHS, perlu dipertimbangkan juga terkait dibukanya pelabuhan di Channel atau Terusan Kra yang berlokasi di Tanah Genting Kra. Yang ke depannya, akan menjadi titik transit untuk sekitar 100 juta TEUs per tahun.
“Jika bandara dan pelabuhan di Aceh dikembangkan dalam skala internasional maka tidak akan tertutup kemungkinan Aceh akan mengambil kue dari layanan jasa transportasi itu, baik transit maupun transhipment. Kenapa Aceh bisa? Karena Aceh itu sejajar dengan Terusan Kra itu,” jelasnya.
BHS mengingatkan Aceh mempunyai sejarah panjang tentang pelabuhan skala internasional sejak zaman dahulu. “Dulu, sebelum zaman Belanda, Aceh sudah dikenal dengan nama Samudera Pasai, di mana pedagang dari seluruh penjuru dunia, mulai rempah hingga bahan mineral di masa setelahnya,” papar alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya ini.
Ditambah lagi, Aceh juga berpotensi menjadi titik keberangkatan haji dalam skala besar. Mengingat, wilayah Aceh dan Sumatera memiliki jumlah muslim mayoritas.
Untuk itu, BHS meminta kepada Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk mempertimbangkan dan mengkaji ulang penetapan bandara internasional.
“Seharusnya, pihak Litbang Kemenhub dapat mengkaji ulang terkait dampak keberadaan Bandara Sultan Iskandar Muda, pada daerah sekitarnya dan pendapatan pemerintah pusat. Jangan hanya mempertimbangkan untung rugi untuk bandaranya tapi harus mempertimbangkan dalam spek yang lebih luas," ucap Politikus Gerindra asal Jawa Timur ini.
Lihat Juga: Mantan Dirjen Perkeretaapian Kemenhub Jadi Tersangka Dugaan Korupsi Proyek Jalur KA Besitang-Langsa
Pengamat Transportasi, Bambang Haryo Soekartono (BHS) menyatakan Indonesia menganut sistem cabotage, sesuai UU Nomor 1 Tahun 2009 untuk melindungi kedaulatan negara.
“Namun, penetapan status bandara tersebut harusnya melalui kajian. Misalnya untuk penurunan status Bandara Sultan Iskandar Muda di Aceh. Itu kan sayang sekali. Karena Aceh itu merupakan titik strategis, baik untuk bandara maupun pelabuhan,” ujar Anggota DPR RI Periode 2014-2019, Rabu (1/5/2024).
Aceh merupakan titik strategis transit perjalanan udara maupun laut skala internasional, baik dari Australia ke Eropa maupun Asia Timur ke Eropa dan sebaliknya.
“Harusnya, Aceh ini didorong menjadi lokasi dari bandara dan pelabuhan terbesar di dunia. Selama ini, peran itu kan diambil oleh Singapura, Malaysia, dan Thailand,” tandasnya.
Saat ini, Singapura mampu melayani hingga 30 juta lebih kontainer per tahun yang transit dan transhipment. Sementara, Malaysia mampu melayani 35 juta kontainer. Sangat jauh dibandingkan Jakarta yang mencatat sekitar 5 juta kontainer dan Surabaya sekitar 2 juta kontainer.
Menurut BHS, perlu dipertimbangkan juga terkait dibukanya pelabuhan di Channel atau Terusan Kra yang berlokasi di Tanah Genting Kra. Yang ke depannya, akan menjadi titik transit untuk sekitar 100 juta TEUs per tahun.
“Jika bandara dan pelabuhan di Aceh dikembangkan dalam skala internasional maka tidak akan tertutup kemungkinan Aceh akan mengambil kue dari layanan jasa transportasi itu, baik transit maupun transhipment. Kenapa Aceh bisa? Karena Aceh itu sejajar dengan Terusan Kra itu,” jelasnya.
BHS mengingatkan Aceh mempunyai sejarah panjang tentang pelabuhan skala internasional sejak zaman dahulu. “Dulu, sebelum zaman Belanda, Aceh sudah dikenal dengan nama Samudera Pasai, di mana pedagang dari seluruh penjuru dunia, mulai rempah hingga bahan mineral di masa setelahnya,” papar alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya ini.
Ditambah lagi, Aceh juga berpotensi menjadi titik keberangkatan haji dalam skala besar. Mengingat, wilayah Aceh dan Sumatera memiliki jumlah muslim mayoritas.
Untuk itu, BHS meminta kepada Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk mempertimbangkan dan mengkaji ulang penetapan bandara internasional.
“Seharusnya, pihak Litbang Kemenhub dapat mengkaji ulang terkait dampak keberadaan Bandara Sultan Iskandar Muda, pada daerah sekitarnya dan pendapatan pemerintah pusat. Jangan hanya mempertimbangkan untung rugi untuk bandaranya tapi harus mempertimbangkan dalam spek yang lebih luas," ucap Politikus Gerindra asal Jawa Timur ini.
Lihat Juga: Mantan Dirjen Perkeretaapian Kemenhub Jadi Tersangka Dugaan Korupsi Proyek Jalur KA Besitang-Langsa
(kri)