Denny JA Sebut Sastra Bisa Jadi Medium Diplomasi yang Efektif
loading...
A
A
A
Dia mencontohkan kisah Margaret Atwood penulis lulusan Harvard University, yang telah menghasilkan 33 buku dan dua kali menerima penghargaan Booker Prize.
Semua buku Atwood telah dimasukkan dalam program AI. Sehingga semua orang bisa memerintahkan AI untuk menulis karya seperti karakter tulisan Atwood, dari segi filosofi, gaya kalimat, diksi, dan sebagainya. Sehingga tulisan baru yang dihasilkan AI benar-benar mirip dengan karya Atwood.
“Saya meyakini tidak lama lagi semakin banyak orang menulis memanfaatkan AI,” papar Denny yang sering menggunakan AI untuk menulis dan melukis.
Penulis pun bisa menulis dengan gaya Margaret Atwood, Ernest Hemingway, TS Eliot, Jalaluddin Rumi, dan gaya penulis lain yang sudah disuntikkan ke aplikasi AI.
Lalu bagaimana perkembangan puisi esai setelah ada AI? Menurut Denny, berdasarkan Discover Media, mereka yang membaca sastra akan memiliki rasa empati yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak membaca karya sastra.
Yang membaca sastra lebih bersedia menjadi sukarelawan, lebih lebih terbuka untuk solidaritas sosial. Jadi ada efek yang besar dari sastra kepada budi pekerti kepada moralitas manusia.
Di saat yang sama, puisi makin tidak dibaca. Sebab inovasi dalam puisi sudah sangat jarang terjadi. Karena itu, itu Puisi Esai datang sebagai ikhtiar inovasi, membawa pesan isu-isu yang berhubungan dengan hak asasi manusia, disampaikan dalam bahasa yang mudah.
"Kita menginginkan puisi esai membawa sastra ke tengah gelanggang. Sekarang ini, sudah ada 150 buku puisi esai, sudah banyak sekali, sebagian dari teman-teman Malaysia dan teman-teman Brunei, Singapura," jelasnya.
Kata Denny, sebuah tim sedang menyusun empat buku angkatan puisi esai. Selanjutnya tahun ini puisi esai akan goes to campus dan goes to school.
Menurut Denny, di Indonesia saat ini menjadi perhatian bahwa anak-anak di sekolah semakin jauh dari budi pekerti, semakin jauh dari nilai-nilai moralitas.
Semua buku Atwood telah dimasukkan dalam program AI. Sehingga semua orang bisa memerintahkan AI untuk menulis karya seperti karakter tulisan Atwood, dari segi filosofi, gaya kalimat, diksi, dan sebagainya. Sehingga tulisan baru yang dihasilkan AI benar-benar mirip dengan karya Atwood.
“Saya meyakini tidak lama lagi semakin banyak orang menulis memanfaatkan AI,” papar Denny yang sering menggunakan AI untuk menulis dan melukis.
Penulis pun bisa menulis dengan gaya Margaret Atwood, Ernest Hemingway, TS Eliot, Jalaluddin Rumi, dan gaya penulis lain yang sudah disuntikkan ke aplikasi AI.
Lalu bagaimana perkembangan puisi esai setelah ada AI? Menurut Denny, berdasarkan Discover Media, mereka yang membaca sastra akan memiliki rasa empati yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak membaca karya sastra.
Yang membaca sastra lebih bersedia menjadi sukarelawan, lebih lebih terbuka untuk solidaritas sosial. Jadi ada efek yang besar dari sastra kepada budi pekerti kepada moralitas manusia.
Di saat yang sama, puisi makin tidak dibaca. Sebab inovasi dalam puisi sudah sangat jarang terjadi. Karena itu, itu Puisi Esai datang sebagai ikhtiar inovasi, membawa pesan isu-isu yang berhubungan dengan hak asasi manusia, disampaikan dalam bahasa yang mudah.
"Kita menginginkan puisi esai membawa sastra ke tengah gelanggang. Sekarang ini, sudah ada 150 buku puisi esai, sudah banyak sekali, sebagian dari teman-teman Malaysia dan teman-teman Brunei, Singapura," jelasnya.
Kata Denny, sebuah tim sedang menyusun empat buku angkatan puisi esai. Selanjutnya tahun ini puisi esai akan goes to campus dan goes to school.
Menurut Denny, di Indonesia saat ini menjadi perhatian bahwa anak-anak di sekolah semakin jauh dari budi pekerti, semakin jauh dari nilai-nilai moralitas.